Forum Jurnalis Online (FJO) menyelenggarakan Diskusi Publik bertajuk Solusi Pengurangan Sampah Plastik di Indonesia, Cukai Plastik atau Pengelolaan Sampah yang Optimal, Selasa pagi (21/11/2023) secara Hybrid atau offline dan online dari Hotel Santika Premiere Hayam Wuruk Jakarta Pusat.
semarak.co-Permasalahan pengurangan sampah plastik di Indonesia dalam kaitannya dengan wacana pemerintah terhadap rencana pengenaan cukai plastik sebagai salah satu alternatif solusinya sudah dibahas Menteri Keuangan (Menkeu) dan masuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Wacana kebijakan pengenaan cukai plastik yang digagas pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sejak 2016 ini dilatarbelakangi kekhawatiran akan dampak permasalahan sampah plastik yang makin mencemari lingkungan dan mengganggu keseimbangan lingkungan.
Melalui pengenaan cukai, pemerintah berharap sampah plastik dapat dikurangi atau dikendalikan. Wacana ini menimbulkan pro dan kontra. Pihak yang setuju, melihat dengan pengenaan cukai maka masyarakat akan lebih bijaksana dalam penggunaan plastic.
Tapi sebagian lain menilai permasalahan sampah plastik bukan semata-mata disebabkan volume penggunaan plastik yang bertambah di masyarakat, tapi lebih pada pengelolaan sampahnya. Dalam urusan persampahan, Indonesia sudah mempunyai UU No. 18 Tahun 2008.
Yaitu tentang Pengelolaan Sampah di Pasal 4 yang mengatakan bahwa pemerintah, dalam hal ini pemerintah pusat dan pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk melaksanakan penyelenggaraan pengelolaan sampah di Indonesia.
Tidak hanya pemerintah, tapi pelaku industri dan produsen pun juga memiliki tanggung jawab dan peran yang proporsional terkait masalah sampah di Indonesia. Selain itu Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri KLHK No 75/Tahun 2019 Tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen atau yang lebih dikenal dengan Extended Producer Responsibility (EPR).
Diketahui Kemenkeu akan memberlakukan cukai plastik dan cukai minuman berpemanis pada 2024. Pemberlakuan cukai ini akan berdampak pada produk fast-moving customer goods (FMCG) seperti minuman ringan, kosmetik perawatan tubuh, dan barang kelontongan
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus mengatakan, dalam jangka pendek tentu ini akan meningkatkan biaya produksi pengusaha produk FMCG karena kemasan harus segera shifting ke nonplastik yang selama ini didominasi kemasan dari plastik.
Ujungnya, lanjut Heri, konsumen memang bisa terdampak oleh kenaikan harga akibat beban kemasan dialihkan ke harga produk yang naik. Jadi industri FMCG harus mampu beradaptasi. Salah satunya mencari alternatif kemasan yang ramah lingkungan.
“Karena kalau dari industri tidak mulai mencari alternatif kemasan yang ramah lingkungan maka seiring makin meningkatnya kesadaran generasi millenial dan gen Z ke isu lingkungan, produk mereka lama-lama bisa ditinggalkan,” ujar Heri dalam paparannya.
Disamping itu juga, lanjut Heri, perlu juga sosialisasi dan edukasi masif ke konsumen agar semakin sadar lingkungan. Edukasi yang dilakukan yaitu memilih produk-produk yang kemasannya bisa di daur ulang maupun bisa digunakan ulang. Dia optimistis jika dilakukan upaya dua arah, baik produsen dan konsumen, maka efektifitas kebijakan tersebut akan optimal.
Kalau cukai pada plastik dipaksakan, pesan Heri, pemerintah akan mengalami tekor dalam jangka panjang. “Memang rasanya cukai pada plastik ini untuk mengejar pendapatan, tapi akan terjadi penurunan pendapatan negara. Pertumbuhan ekonomi turun, tenaga kerja hilang, dan lainnya,” ulasnya.
Sebagai penerimaan negara, Heri mengingatkan, uangnya harus Kembali pada sampah. Utamanya plastic. “Jadi ada anggaran balik ke situ yang digunakan dalam bentuk pembangunan infrastruktur seperti mesin-mesin sampah di tempat-tempat umum. Ini yang dilakukan negara seperti Kanada,” imbuhnya.
Direktur Pengembangan Bisnis Asosiasi Industri Aromatik Olefin dan Plastik (Inaplas), Budi Susanto Sadiman mengatakan, pengenaan tarif cukai plastik tidak mendesak untuk dilakukan. Karena hal yang terpenting adalah memberikan edukasi kepada masyarakat terhadap pengelolaan sampah plastik.
“Kami menolak (pengenaan tarif cukai plastik), karena masalahnya adalah harus ada edukasi dari pengelolaan sampah. Perubahan paradigma tata kelola sampah dari sekedar kumpul, angkut, buang menjadi pilah, angkut, proses harus diupayakan agar pengelolaan limbah plastik yang selama ini merugikan lingkungan hidup dapat lebih terkendali,” tutur Budi.
Ia juga mengingatkan adanya peningkatan fungsi bank sampah agar dapat menjadi industri pengolah sampah serta mendorong perbaikan kualitas sumber daya manusia supaya pengelolaan manajemen sampah dapat menjadi lebih optimal. “Pemberian insentif kepada industri yang mau melakukan daur ulang sampah juga penting,” kata Fajar.
Menurut dia, upaya pengelolaan sampah seperti ini layak untuk dilakukan karena pengenaan tarif cukai plastik bisa memberatkan sektor industri dan belum ada jenis tas belanja lain yang bisa digunakan masyarakat, selain menggunakan plastik.
“Implementasi penerapan cukai plasik bisa lebih rumit untuk dilakukan, terutama pengawasan penggunaan di pasar tradisional. Selain itu, belum ada data produksi plastik yang tepat. Data ini penting agar kebijakan yang dilahirkan tidak salah dosis,” ujarnya.
Sebelumnya, pemerintah sudah berencana untuk menerapkan tarif cukai plastik yang bertujuan untuk mengurangi konsumsi dan melindungi lingkungan hidup dari sampah plastik yang jumlahnya makin meningkat setiap tahunnya.
Meski demikian, masih belum ada titik temu antara pemangku kepentingan terkait termasuk dari pelaku usaha industri plastik sehingga penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) untuk pelaksanaan tarif cukai plastik urung dilaksanakan. Padahal pemerintah sudah menargetkan penerimaan dari cukai plastik sebesar Rp1 triliun pada 2017, sebesar Rp500 miliar pada 2018 dan sebesar Rp500 miliar pada 2019.
Anggota Komite Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Rachmat Hidayat secara tidak langsung juga menolak wacana cukai untuk plastik. Utamanya untuk saat ini belum diperlukan. “Berpikirnya dampak dari pengenaan cukai plastik pada ekonomi secara umum,” tuturnya.
Artinya, konsumsi rumah tangga akan terganggu karena produsen melakukan koreksi sebagai konsekwensi menerima dampak pengenaan cukai plastik. “Misalnya produsen akan menaikkan harga, harga naik berdampak pada konsumen berupa konsumsi yang jadi turun,” ulasnya.
Antara cukai dan sampah bukan masalah dikotomi, terang Rachmat, tapi lebh masalah ekonomi. “Lebih baik ganti pada program pengelolaan sampah. Alhamdulillah dalam RPJM sudah ada alokasi anggaran untuk pengelolaan sampah dari hulu sampai hilir. Dengan budget itu, sampah tidak lagi jadi pencemaran lingkungan karena diolah dengan mendaur ulang seperti bahan baku pakaian dan energi,” paparnya.
Direktur Pengelolaan Sampah, Ditjen PSLB3, Kementerian LHK Novrizal Tahar mengingatkan bahwa wacana pemberlakukan cuti plastic tidak bisa ditawar-tawar apalagi ditolak. Karena sudah masuk level DPR RI dan menteri. “Jadi menurut saya, sebaiknya lebih digagas terjadinya kolaborasi dari semua pihak terkait,” ujar Novrizal secara online melalui aplikasi link zoom. (smr)