Semenjak 1946, tahun pertama berdirinya Kementerian Agama (Kemenag) telah diterbitkan regulasi tentang kewenangan menetapkan hari raya yang terkait dengan peribadatan sebagai Hari Libur. Regulasi dimaksud adalah Penetapan Pemerintah tahun 1946 Nomor 2/Um.
semarak.co-Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang M. Fuad Nasar mengatakan, menurut konsiderans Penetapan Pemerintah tersebut, perlu diadakan aturan tentang hari raya setelah mendengar Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, untuk seterusnya tiap-tiap tahun hari raya tersebut ditetapkan oleh Menteri Agama.
Dilanjutkan Fuad bahwa penetapan Pemerintah Nomor 2/Um ditetapkan di Yogyakarta pada 18 Juni 1946 oleh Presiden Soekarno dan Menteri Agama H. Rasjidi serta diumumkan oleh Sekretaris Negara A.G. Pringgodigdo.
Penetapan Pemerintah dalam konteks masa itu menyebut hari raya terdiri dari Hari Raya Umum, Hari Raya Islam, Hari Raya Kristen dan Hari Raya Tiong Hwa. Sejak dekade 1950-an, sebagian sumber menyebut tahun 1962, pertama kali diadakan Sidang Isbat dalam rangka penetapan tanggal 1 Ramadan dan Idul Fitri.
“Sidang Isbat diisi dengan paparan ulama/ahli dan pendapat organisasi-organisasi Islam sebelum pengambilan putusan tentang awal Ramadan dan Idul Fitri yang diumumkan kepada masyarakat,” tulis Fuad dalam opini di laman kemenag.go.id/ Rabu, 22 Maret 2023 12:43 WIB yang dilansir melalui WAGroup Jurnalis Kemenag, Rabu sore ini.
Ditambakan Fuad, adapun Sidang Isbat awal Ramadan diadakan setiap 29 Sya’ban. “Pengumuman Menteri Agama tentang 1 Ramadan dan Idul Fitri adalah momen yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat di seluruh Tanah Air,” terang Fuad yang mantan Sesditjen Bimas Islam Kemenag.
Dalam buku Agenda Kementerian Agama 1950 -1952 diterbitkan Bagian Publikasi dan Redaksi Djawatan Penerangan Jalan Pertjetakan Negara – Jakarta, Bab Keputusan Kementerian Agama Tentang Hari-Hari Besar terdapat penjelasan,
“Penetapan Hari Raya Islam, terutama permulaan Puasa Ramadan, selain dengan memperhitungkan peredaran bulan, juga berdasarkan rukyat maka oleh karena itu penetapan tanggal 1 Ramadan dan Idul Fitri pada pokoknya harus menunggu rukyatul hilal yang kelak akan diumumkan pada waktunya.”
Di masa Menteri Agama K.H. Saifuddin Zuhri, terbit Keputusan Menteri Agama Nomor 47 Tahun 1963 tentang Perincian Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama, sebagai penyempurnaan regulasi sebelumnya.
Pada pasal 26, Keputusan Menteri Agama Nomor 47 Tahun 1963 diuraikan 47 tugas Departemen Agama, di antaranya ialah “menetapkan tanggal-tanggal hari raya yang ditetapkan sebagai hari libur.”
Mekanisme penetapan awal Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha kemudian dilembagakan menjadi Sidang Isbat di Kementerian Agama. Salah satu langkah monumental Kementerian Agama tahun 1970-an ialah membentuk Badan Hisab dan Rukyat (BHR).
Badan Hisab dan Rukyat dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 76 Tahun 1972 dan pertama kali diketuai oleh Sa’adoeddin Djambek, seorang pakar ilmu falak terkemuka Muhammadiyah. Keanggotaan Badan Hisab dan Rukyat terdiri dari para ulama/ahli yang berkompeten dari berbagai unsur organisasi dan instansi terkait.
Menteri Agama periode 1971 – 1978 Prof. H.A. Mukti Ali sewaktu melantik anggota Badan Hisab dan Rukyat, Agustus 1972, menyampaikan tiga hal berkenaan dengan peran dan tugas Badan Hisab dan Rukyat, sebagai berikut:
Pertama, menentukan hari-hari besar Islam dan hari libur nasional yang berlaku seluruh Indonesia.
Kedua, menyatukan penentuan awal bulan Islam yang berkaitan dengan ibadah umat Islam, seperti 1 Ramadan, 1 Syawal (Idul Fitri), 10 Zulhijjah (Idul Adha).
Ketiga, menjaga persatuan umat Islam, mengatasi pertentangan dan perbedaan dalam pandangan ahli hisab dan rukyat dan meminimalisir adanya perbedaan dalam partisipasi untuk membangun bangsa dan negara.
Badan Hisab dan Rukyat yang berada di bawah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam sejak dekade terakhir diubah menjadi Tim Hisab dan Rukyat, dan belakangan Tim Unifikasi Kalender Hijriyah. Ke depan, sejalan dengan peningkatan kinerja Kementerian Agama mungkin perlu dirumuskan kembali pelembagaan badan hisab dan rukyat.
Dalam konteks ini, negara tidak mencampuri substansi ibadah, tetapi negara menyediakan pelayanan dan pedoman bagi kelancaran pelaksanaan ibadah sepanjang dibutuhkan. Peran pemerintah melalui Kementerian Agama adalah memfasilitasi kepastian waktu pelaksanaan ibadah yang membutuhkan keterlibatan negara sejalan dengan amanat konstitusi UUD 1945 pasal 29.
Sejauh ini terdapat beberapa perubahan regulasi tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama, seperti PMA No 72 Tahun 2022, PMA No 42 Tahun 2016, dan PMA No 10 Tahun 2010, PMA No 3 Tahun 2006, atau KMA No 1 Tahun 2001.
Kewenangan Menteri Agama untuk menetapkan tanggal-tanggal hari raya ataupun awal puasa melalui Sidang Isbat belakangan tidak dinormakan secara eksplisit. Dalam hubungan ini Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pada pasal 52 A menegaskan bahwa pengadilan agama memberikan isbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun hijriyah.
Menurut Penjelasan pasal 52 A undang-undang tersebut, “Selama ini pengadilan agama diminta oleh Menteri Agama untuk memberikan penetapan (itsbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadan dan awal bulan Syawal tahun Hijriyah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara nasional untuk penetapan 1 (satu) Ramadan dan 1 (satu) Syawal.
Pengadilan agama dapat memberikan keterangan atau nasihat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat.” Penentuan awal bulan Qamariah yang lazim dilakukan di negara kita menggunakan kriteria wujudul hilal dan imkanur rukyat, yakni ketinggian hilal yang diakui.
Umat Islam di Indonesia memulai ibadah puasa Ramadan dan Idul Fitri mengikuti dua metode, yaitu hisab (hitungan astronomi atau peredaran bulan) atau metode rukyat (pemantauan bulan). Kedua metode itu telah melembaga di masyarakat dan saling berdampingan.
Penetapan tanggal 1 Ramadan, 1 Syawal dan 10 Zulhijjah sejatinya berada di ranah dialektika sains, bukan masalah akidah dan hukum ibadah. Masalah hisab rukyat di Indonesia sering menjadi persoalan nasional, khususnya di kalangan umat Islam dalam kaitan dengan masalah ibadah dan hari-hari besar Islam.
Hisab rukyat tidak hanya berhubungan dengan masalah ibadah dan hari-hari besar saja, namun kajiannya lebih luas, seperti penyusunan almanak atau kalender, perkiraan akan terjadi gerhana dan sebagainya,” terang Wahyu Widiana (2003), mantan Direktur Pembinaan Peradilan Agama Kementerian Agama dan Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung dalam sambutan buku Kalender Urfi karya K.H. Banadji Aqil.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Keputusan Fatwa Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramadan, Syawal dan Zulhijjah menetapkan:
Pertama, penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah dilakukan berdasarkan metode rukyah dan hisab oleh Pemerintah RI c.q. Menteri Agama dan berlaku secara nasional.
Kedua, seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah.
Ketiga, dalam menetapkan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah, Menteri Agama wajib berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam dan Instansi terkait.
Keempat, hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal dirukyat walaupun di luar wilayah Indonesia yang mathla’-nya sama dengan Indonesia dapat dijadikan pedoman oleh Menteri Agama RI.
Pertemuan Teknis MABIMS (Menteri-Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura) tahun 2016 menghasilkan butir-butir kesepakatan mengenai kriteria baru tinggi bulan 3 derajat dan elongasi bulan (jarak bulan-matahari) 6,4 derajat. Kriteria MABIMS mulai digunakan oleh Kementerian Agama dalam Sidang Isbat penetapan 1 Ramadhan 1443 H/2022 M.
Sebelumnya, beberapa tahun berturut-turut, tidak terdapat potensi perbedaan perhitungan hisab dan hasil rukyat dalam penetapan 1 Ramadan dan 1 Idul Fitri di negara kita. Ibadah puasa Ramadan dan Idul Fitri dapat dilaksanakan serentak baik menurut versi hisab maupun rukyat karena faktor alam yang mempersatukan.
Kemenag bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan ormas-ormas Islam pernah membahas Penyatuan Kalender Hijriyah atau Kalender Islam Global. Sejumlah pakar yang dihadirkan berasal dari perwakilan Mahkamah Agung RI, Pengadilan Tinggi Agama, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Badan Informasi Geospasial (BIG), Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Al-Washliyah, dan Persis. Juga hadir waktu itu para ahli hisab-rukyat perorangan, astronom, dan akademisi dari berbagai perguruan tinggi.
Langkah strategis dan transformatif Kementerian Agama untuk mematangkan unifikasi Kalender Islam perlu dilanjutkan. Penyatuan Kalender Islam memerlukan cara pandang baru dan pemanfaatan sains secara optimal. Jika ada cara untuk mempersatukan umat dalam memulai ibadah puasa Ramadan dan serentak berhari raya Idul Fitri dan Idul Adha, akan lebih baik.
Terbaru diberitakan, pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) menetapkan 1 Ramadan 1444 hijriah/2023 masehi jatuh besok pada Kamis, 23 Maret 2023 melalui sidang isbat. Ketetapan ini telah dipertimbangkan berdasarkan hasil hisab dan rukyatul hilal.
Ketetapan ini disampaikan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas sebagai hasil Sidang Isbat Awal Ramadan 1444 H. Sidang isbat digelar di Auditorium HM Rasjidi, Kantor Kemenag diikuti perwakilan ormas Islam, Duta Besar Negara Sahabat, dan Tim Hisab Rukyat Kementerian Agama.
“Hasil dari sidang isbat kami memutuskan Awal Ramadan jatih pada Kamis, 23 Maret 2023,” ucap Menag Yaqut Cholil Qoumas membacakan putusan 1 Ramadan, di Auditorium HM Rasjidi, Jakarta Pusat, Rabu, 22 Maret 2023 dilansir tempo.co, Rabu, 22 Maret 2023 19:11 WIB.
Menag Yaqut menyampaikan dari 124 rukyatul hilal yang tersebar di Indonesia beberapa daerah sudah melewati ufuk sebagaimana yang dijelaskan Bimas Kemenag RI. Menag dalam pembacaan putusan awal Ramadhan 1444 Hijriah ia didamping Wakil Menag RI, Zainut Tauhid Sa’adi, Direktur Jenderal Bimas Islam Kemenag Kamaruddin Amin, Ketua Komisi VIII DPR RI Ashabul Kahfi.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Bimas Islam Kemenag Kamaruddin Amin menjelaskan sidang isbat dilakukan untuk mempertimbangkan informasi awal berdasarkan hasil perhitungan secara astronomis (hisab), dan hasil konfirmasi lapangan melalui mekanisme pemantauan (rukyatul) hilal.
Kemudian Kamaruddin mengatakan secara hisab, sistem sepakat bahwa ijtimak menjelang Ramadan jatuh pada Rabu, 22 Maret 2023 atau bertepatan dengan 29 Syakban 1443 H sekitar pukul 00.23 WIB.
Kamaruddin menambahkan menurut sidang isbat awal Ramadan 1444 H, secara hisab posisi hilal di Indonesia sudah memenuhi kriteria baru yang ditetapkan MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura).
Kata Kamaruddin, pada hari rukyat, 29 Syakban 1444 H, ketinggian hilal di seluruh wilayah Indonesia sudah di atas ufuk, berkisar antara 6 derajat 46,2 menit sampai dengan 8 derajat 43,2 menit, dengan sudut elongasi antara 7,93 derajat sampai dengan 9,54 derajat.
“Artinya, secara hisab, pada hari tersebut posisi hilal awal Ramadan di Indonesia telah masuk dalam kriteria baru MABIMS. Intinya berdasarkan kriteria baru MABIMS, imkanur rukyat dianggap memenuhi syarat apabila posisi hilal mencapai ketinggian 3 derajat dengan sudut elongasi 6,4 derajat,” ujar Kamaruddin, Selasa (21/3/2023).
Kemenag RI menetapkan 124 lokasi titik rukyatul hilal di tersebar di seluruh Indonesia. Selanjutnya hasil Rukyatul hilal tersebut akan dilaporkan sebagai bahan pertimbangan sidang isbat awal Ramadan 1444 Hijriah. Sebelum ditetapkan, Menag terlebih dahulu mendengar laporan dari Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, Adib.
Dilaporkan bahwa secara hisab, semua sistem sepakat bahwa ijtimak menjelang Ramadan jatuh pada Rabu, 22 Maret 2023 atau bertepatan dengan 29 Syakban 1444 H sekitar pukul 00.23 WIB. Secara hisab posisi hilal di Indonesia saat sidang isbat awal Ramadan 1444 H, sudah memenuhi kriteria baru yang ditetapkan MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura).
Pada hari ini yang bertepatan dengan 29 Syakban 1444 H, ketinggian hilal di seluruh wilayah Indonesia sudah di atas ufuk, berkisar antara 6 derajat 46,2 menit sampai dengan 8 derajat 43,2 menit, dengan sudut elongasi antara 7,93 derajat sampai dengan 9,54 derajat.
Hal ini kemudian diperkuat dengan laporan rukyat. Sejumlah perukyah melaporkan telah melihat hilal. Untuk mengamati hilal awal Ramadan, Tim Kemenag melakukan rukyatul hilal pada 124 titik pada 33 provinsi di seluruh Indonesia.
“Dari 124 titik ada 12 perukyah yang melaporkan telah melihat hilal. Dengan demikian tadi kita bersepakat secara mufakat 1 Ramadan 1444 H jatuh pada Kamis, 23 Maret 2023,” tegas Menag Yaqut, Rabu (22/3/2023) dirilis humas Kemenag usai acara melalui WAGroup Jurnalis Kemenag, Rabu petang (22/3/2023).
Menag Yaqut berharap dengan hasil sidang isbat ini seluruh umat Islam Indonesia dapat menjalankan ibadah puasa Ramadan bersama-sama. “Ini bisa menjadi simbol kebersamaan umat Islam Indonesia,” ucap Menag Yaqut.
Dilanjutkannya, “Kebersamaan ini semoga juga menjadi wujud kita semua sebagai anak bangsa menatap masa depan yang lebib baik. Kita gunakan Ramadan ini, mari kita jadikan momentum untuk memperkuat ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathoniyah, dan ukhuwah basyariyah.”
Adapun nama perukyah yang telah melihat hilal adalah:
1.H Inwanuddin, Umur 55 tahun, Pekerjaan Swasta, Provinsi Jawa Timur
2.Sholahuddin, Umur 55 tahun, Pekerjaan Swasta, Provinsi Jawa Timur
3.Syamsul Fuad, Umur 55, Pekerjaan Swasta, Provinsi Jawa Timur menyatakan menyatakan melihat hilal dan telah disumpah oleh Dr. H. M. Arufin, S.H, M.Hum Hakim Pengadilan Agama Kabupaten Gresik;
- Shofiyul Muhibbin, Umur 38 Tahun, Pekerjaan Guru, Provinsi Jawa Timur menyatakan menyatakan melihat hilal dan telah disumpah oleh Muhammad Anwar Umar Hakim Pengadilan Agama Kota Pasuruan;
5.H. Suudil Azka, Umur 56 Tahun, Pekerjaan Guru Agama, Provinsi Jawa Timur;
6.M. Muzani, Umur 57 Tahun, Pekerjaan Wiraswasta, Provinsi Jawa Timur;
7.H. Banjir Sidomulyo, Umur 48 Tahun, Pekerjaan Kasi Pendma, Provinsi Jawa Timur menyatakan melihat hilal dan telah disumpah oleh Muhammad Fadli, S.H, M.H Hakim Pengadilan Agama Kabupaten Lamongan;
8.Mahmud, Umur 49 Tahun, Pekerjaan Nelayan, Provinsi Jawa Timur;
9.Ilyas, Umur 36 tahun, Pekerjaan Guru, Provinsi Jawa Timur menyatakan melihat hilal dan telah disumpah oleh Drs. Khoiruddin, M.H Hakim Pengadilan Agama Kabupaten Bangkalan;
- Taufik Abdul Aziz, Umur 51 Tahun, Pekerjaan ASN, Provinsi Sulawesi Tengah menyatakan melihat hilal dan telah disumpah oleh Misman Hadi Prayitno, S.Ag, M.H Hakim Pengadilan Agama Kabupaten Donggala;
11.Dr. Arino Bemi Sado, Umur 48 Tahun, Pekerjaan Tim Hisab Rukyat Kanwil Kemenag NTB, Provinsi Nusa Tenggara Barat menyatakan melihat hilal dan telah disumpah oleh Dr. Drs. H. Izzuddin, HM, SH., MH. Hakim Pengadilan Tinggi Agama Mataram;
12.Syamsul Bahri, Umur 38 Tahun, Pekerjaan Pegawa Negeri Sipil menyatakan melihat hilal dan telah disumpah oleh Dr. H. M. Tamrin, M.H Hakim Pengadilan Agama Kota Jakarta Timur. (net/tpc/nag/smr)