Dua tahun Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf di bidang riset dan inovasi ditandai dengan maraknya pembubaran kelembagaan Iptek Nasional. Beberapa lembaga Iptek strategis seperti Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek), Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) dan Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) dibubarkan.
semarak.co-Anggota DPR RI dari Fraksi PKS Mulyanto menangkap kesan selama Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkuasa sedang melakukan proyek dehabibienisasi, yakni menghapus jejak, karya, jasa dan kelembagaan teknologi yang hasilkan begawan Iptek Prof. Dr. BJ Habibie.
Mulyanto menilai sikap politik ini salah. Harusnya Pemerintah menjaga dan meneruskan hal baik yang sudah dibangun Prof. Dr. BJ Habibie. Bukan malah menghapus dan membongkar bangunan Iptek Nasional yang susah payah didirikan selama ini.
Pemerintah harusnya mengakui bahwa jasa Prof. BJ Habibie dalam pengembangan Iptek Nasional sangat besar. Habibie secara massif berhasil membangun struktur teknologi (techno-structure) Iptek nasional, baik berupa pengembangan sumber daya manusia (human ware), peralatan (technoware), kelembagaan (orgaware) maupun jaringan (infoware).
Semua itu, lanjut Mulyanto, berujung pada beroperasinya BUMN Industri Strategis (BUMNIS) sebagai wahana kekuatan anak bangsa untuk memproduksi peralatan hankam dan sipil canggih mulai dari pesawat, kapal, tank, senjata, peledak, baja, industri berat sampai elektronik.
“Jauh-jauh hari Habibie sudah membangun landasan bagi keunggulan bersaing atau competitive advantage bangsa, di samping terus mendayagunakan keunggulan SDA atau comparative advantage yang ada,” terang Mulyanto dilansir akuratnews.com.
Ketimbang terlena pada kelimpahan SDA, lanjut dia, sesuatu yang akan habis pada waktunya dan kita terperangkap pada kutukan SDA, Habibie telah meletakkan dasar bagi ekonomi berbasis Iptek (knowledge-based economy) agar Indonesia menjadi negara yang ekonominya digerakkan oleh inovasi (Innovation Driven Country).
Mulyanto menyebut kebijakan Jokowi yang paling fenomenal adalah membubarkan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dan Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT). Kedua lembaga bergengsi yang selama ini menjadi poros pembangunan Iptek nasional yang lekat dengan sosok BJ Habibie.
Sebelumnya dihapus Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS), Dewan Standarisasi Nasional (DSN) dan dimuseumkannya pesawat N-250 si Gatot Kaca, karya besar anak bangsa, yang terbang fly by wire. Anehnya Dewan Riset Nasional (DRN) yang anggotanya terdiri dari para ahli Iptek berkaliber internasional dibubarkan.
“Itu semua diganti dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional aau BRIN yang Ketua Dewan Pengarahnya Megawati, yang merupakan ketua umum parpol dan tidak memiliki reputasi di dunia Iptek,” imbuh Mulyanto.
Selain itu Mulyanto mempermasalahkan Pemerintah yang membubarkan Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), yang dilebur kedalam BRIN. Kebijakan ini melanggar UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran dan UU No. 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan.
Dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, berbunyi: “Pemerintah membentuk Badan Pelaksana yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, yang bertugas melaksanakan pemanfaatan tenaga nuklir.”
BATAN dan LAPAN, menurut Mulyanto bukan sekedar lembaga penelitian dan pengembangan. Keduanya masing-masing adalah Badan Pelaksana tugas pokok ketenaganukliran dan Badan Penyelenggara keantariksaan dan penerbangan.
Sehingga ketika kedua lembaga ini dibubarkan, maka terjadi kekosongan pelaksanaan tugas atas amanat UU. Kalau pun tugas itu masuk dalam BRIN, maka terjadi pembonsaian amanat UU. Dari sisi kinerja capaian riset dan inovasi kita terus menurun. Peringkat inovasi Indonesia dalam laporan Global Innovation Index (GII) tahun 2021 semakin merosot. Indonesia bertengger pada peringkat ke-87 dari 132 negara.
Yang paling lemah adalah aspek kelembagaan (peringkat ke-107). Inovasi kita jauh tertinggal dibanding Brunei (ranking 82), Filipina (ranking 51) dan Vietnam (ranking 44). Apalagi dibanding Thailand (ranking 43), Malaysia (ranking 36) dan Singapura (ranking 8).
Di ASEAN kita hanya berada di atas Laos (ranking 117) dan Kamboja (ranking 109). Secara makro-strategis, pembangunan riset dan inovasi kita di dua tahun Pemerintah Jokowi-Ma’ruf ini semakin terpuruk. Ini cocok dengan pepatah sekaligus petuah dari Buya Hamka, bahwa “Jangan pernah merobohkan pagar tanpa mengetahui mengapa ia didirikan”.
“Kita banyak membubarkan kelembagaan Iptek, tanpa tahu persis pentingnya dulu lembaga itu dibangun. Hari ini, Jumat 25 Juni 2021 merupakan hari kelahiran begawan teknologi Indonesia Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie. Mengenang kelahiran BJ Habibie, Mulyanto mengajak masyarakat meneladani dan meneruskan semangat dan cita-citanya memajukan teknologi nasional.
Mulyanto yang juga sebagai anggota Komisi VII DPR RI ini berpendapat bahwa ini adalah waktu yang tepat untuk merefleksikan kembali capaian riset, teknologi dan inovasi selama ini. Capaian nasional di bidang ini diharapkan bisa semakin meningkat, bukan malah merosot.
“Sebab, politik teknologi Indonesia hari ini semakin kabur. Tidak jelas. Terutama terkait dengan kelembagaan dan kebijakan,” ujar Mulyanto dalam keterangan tertulis diterima SINDOnews, Jumat (25/6/2021).
Dia melihat ada tiga hal yang sangat mengganjal dalam pembahasan pengembangan ristek saat ini. Ketiganya adalah pembubaran Kemenristek; peleburan LPNK ristek seperti LAPAN, BATAN, BPPT dan LIPI ke dalam BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional); serta aturan secara ex-officio bahwa Ketua Dewan Pengarah BRIN dijabat oleh adalah Anggota Dewan Pengarah BPIP.
Ketiga hal itu dinilai terkesan dipaksakan, kurang memiliki dasar akademik yang matang. Sehingga hal tersebut mencerminkan ketidakpedulian Pemerintah terhadap masa depan riset dan inovasi nasional.
“Kemenristek tamat.Lalu menjadi tidak jelas, lembaga mana yang berkewenangan mengkoordinasikan serta merumuskan dan menetapkan kebijakan riset dan teknologi secara nasional. Kemendikbud-Ristek atau BRIN? Dalam UU Nomor 11/2019 tentang Sistem Nasional Iptek juga tidak disebutkan secara definitif Menteri yang bertanggung-jawab terhadap urusan Iptek ini,” kata Mulyanto.
Adapun BRIN berbasis Perpres memiliki fungsi melaksanakan, mengkoordinasikan, serta merumuskan dan menetapkan kebijakan riset dan teknologi. Sementara Kemendikbud-Ristek sesuai dengan Perpres memiliki fungsi yang sama.
“Ini kan seperti dua matahari kembar, dualisme fungsi. Bedanya Kepala BRIN bukan anggota kabinet, seperti Mendikbud-Ristek, sehingga tidak duduk satu meja dengan menteri-menteri lainnya. Pada umumnya badan adalah special agency sebagai vehicle yang fokus untuk menjalankan fungsi pelaksanaan, bukan fungsi koordinasi apalagi perumusan dan penetapan kebijakan (policy),” ujarnya.
Karena, kata dia, BRIN bukanlah lembaga politik yang kepalanya menjadi anggota kabinet. “Kementerianlah yang punya amanah politik untuk menjalankan fungsi koordinasi dan perumusan serta penetapan kebijakan,” kata Mulyanto.
Selanjutnya hal kedua yang tidak kalah hebohnya, menurut Mulyanto, adalah rencana pemerintah melebur LPNK ristek seperti LAPAN, BATAN, BPPT dan LIPI serta Balitbang kementerian teknis ke dalam BRIN. Mulyanto menilai logika pembuatan kebijakan itu terbalik.
Dalam pengembangan kelembagaan Iptek di dunia, kecenderungan yang ada justru spesialisasi kelembagaan yang semakin tajam kompetensinya. Seperti yang dilakukan Jepang, Korea Selatan dan juga di Negara-negara Eropa Barat.
Bukan sebaliknya, penggabungan yang dinilainya lebih bersifat administratif-birokratis dengan alasan efisiensi anggaran riset. “Upaya ini justru akan memunculkan lembaga riset yang sangat gemuk, lamban bergerak, dan birokratis,” tuturnya.
Dia melanjutkan, proses penggabungan itu tidak bisa cepat dilakukan. Menurut dia, banyak hal krusial yang harus dicermati, selain soal susunan organisasi dan tata kerja (SOTK), soal manajemen administrasi, nomenkaltur anggaran, asset dan SDM. Belum lagi soal penyatuan budaya kerja, karakter, tradisi, etos dan jiwa korsa lembaga.
“Karena itu saya khawatir rencana ini alih-alih terjadi efisiensi dan peningkatan kinerja lembaga riset, yang timbul nanti justru adalah kemerosotan kinerja. Ini set back. Jadi pemerintah perlu menghitung ulang dengan cermat untung-rugi peleburan kelembagaan Ristek ini,” nilainya.
Apalagi amanat UU Nomor 11/2019 tentang Sistem Nasional Iptek adalah agar BRIN mengintegrasikan riset dan inovasi nasional dengan mengarahkan dan menyinergikan secara nasional terutama penyusunan perencanaan, program, anggaran, dan sumber daya Iptek lainnya, bukan untuk melebur seluruh lembaga riset.
Di sisi lain peleburan BATAN dan LAPAN, secara langsung menabrak Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan. Karena kedua lembaga ini bukan sekadar lembaga litbang, namun lembaga yang bertanggung jawab langsung kepada presiden untuk menjalankan urusan pemerintah di bidang Ketenaganukliran dan Keantariksaan.
“Terakhir adalah terkait aturan Ketua Dewan Pengarah BRIN dari BPIP. Logika ketentuan ini kurang masuk. Kalau dicari-cari mungkin saja ada hubungan antara haluan ideologi Pancasila dengan riset dan inovasi. Namun hubungan itu terlalu mengada-ada dan memaksakan diri,” kata mantan Sesmen di Kemenristek era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini.
Sebagai mantan peneliti, Mulyanto mengaku dapat merasakan kegelisahan para pihak terkait wacana politisasi Ristek ini. “Sebaiknya lembaga litbang ini tidak dipolitisasi. BRIN adalah lembaga ilmiah biar bekerja dengan dasar-dasar ilmiah objektif, rasional dengan indikator out come yang terukur. Jangan dibebani dengan tugas-tugas ideologis,” ucapnya.
Dia merasakan dengan makin banyaknya jejak-jejak karya Pak Habibie yang dihapus seperti: Kemenristek, DRN (Dewan Riset Nasional), BPIS (Badan Pengelola Industri Strategis), DSN (Dewan Standarisasi Nasional), dimuseumkannya N-250 si Gatot Kaca dan sebentar lagi BPPT dan LPNK Ristek, terkesan ada dehabibienisasi.
“Kalau benar maka sikap ini tidak sehat. Refleksi hari lahir Habibie ini penting agar kita selalu on the track dalam membangun bangsa yang berdaulat, bangsa inovasi atau innovation nation,” pungkasnya.
Di bagian lain Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menghormati ajakan PKB dan Partai Gerindra untuk bergabung dalam satu koalisi yang diklaim bernama Koalisi Kebangkitan Indonesi Raya (KIR).
Ajakan dari Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Muhaimin Iskandar agar PKS bergabung dalam Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya bersama PKB dan Gerindra disambut baik, Minggu (23/10/2022).
Juru bicara PKS M. Kholid mengatakan bahwa Partainya merasa terhormat atas tawaran tersebut. “Kami terhormat atas tawaran Cak Imin. PKS dan PKB selalu menjalin hubungan baik. Pimpinan kami juga komunikasinya sangat baik,” ucap Kholid.
Meski begitu, PKS memohon izin kepada PKB lantaran kini sedang menjalin komunikasi dengan Partai Demokrat dan Partai NasDem untuk berkoalisi. PKS ingin komunikasi dengan Demokrat dan NasDem tuntas terlebih dahulu sebelum berkomunikasi dengan Partai lain soal koalisi.
“Namun kami mohon izin menuntaskan proses komunikasi politik dengan NasDem dan Demokrat. Dibandingkan dengan Parpol lain, komunikasi dengan kedua Partai tersebut sudah jauh dan progresif,” demikian kata Kholid.
PKB dan PKS sempat menyuarakan akan berkoalisi untuk Pemilu 2024 dan menamakan koalisi mereka sebagai Koalisi Semut Merah (SM). Namun, beberapa pekan setelah kedua Partai tersebut mendeklarasikan Koalisi Semut Merah, PKB memilih berlabuh ke Gerindra dengan membentuk koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KIR). (net/snc/l6c/smr)
sumber: nasional.sindonews.com di WAGroup ANIES APIK JABAR (postSenin24/10/2022/ismihasan)/liputan98.com/2022/10/24 di ANIS BS YA KAMI SEMUANYA (postSabtu22/10/2022)