Terkait Elektabilitas Capres 2024, Dukungan Presiden Jokowi pada Kandidat Tidak Ada Efek

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Presiden Jokowi saat meninjau Sirkuit Formula E di Ancol, Jakarta Utara. Foto: dok. Instagram @aniesbaswedan di detik.com

Hasil survei yang dirilis Development Technology Strategy (DTS) boleh dibilang mengejutkan juga ini. Utamanya bagi loyalis. pendukung setia, maupun relawan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pasalnya, DTS menyebutkan dukungan Jokowi pada kandidat calon presiden (capres) di Pemilu 2024 tidak ada afeknya.

semarak.co-Pengamat Politik dari Universitas Paramadina Gun Gun Heryanto mengingatkan bahwa Jokowi effect untuk mendongkrak kandidat capres 2024 disebut tidak berpengaruh signifikan terhadap elektabilitas calon karena faktor kepentingan.

Bacaan Lainnya

“Tentu Pak Jokowi harus memelihara keberlangsungan program dia dan juga harus investasi hubungan baik dengan siapapun yang berpotensi menang di 2024,” kata Gun Gun di Jakarta, Senin (25/7/2022) kemudian dilansir laraspostonline.com, Senin/7/25/2022 07:51:00 PM.

Diakui Gun-gun Jokowi memang tidak pernah secara gamblang menyebutkan akan mendukung siapa? Meski kerap kali Jokowi dekat dengan salah satu calon, namun menurut Gun Gun itu masih samar. Bahkan dia yakin, Jokowi tidak akan buka suara sampai hari H pemilu, 14 Februari 2024.

“Di belakang panggung, dia salah satu bentuk politik yang akan menentukan konsolidasi politik dalam pilpres 2024. Nah kesamaran itu, komunikasi tersamar dari apa yang dilakukan Pak Jokowi menyebabkan Jokowi effect sampai sekarang tidak terlalu terasa pada salah satu nama calon,” jelas Gun Gun.

Dalam survey DTS, kutip dia, tiga nama calon kandidat teratas adalah Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo. Dengan atau tanpa endorse dari Jokowi, elektabilitas dan popularitas mereka bergerak dinamis. Namun masih ada sejumlah kandidat yang elektabilitasnya naik perlahan, padahal pemilu makin dekat.

Gun Gun mengingatkan, ada dua gaya yang disukai masyarakat indonesia. Presiden Jokowi unggul pada pemilu 2014 dan 2019 dengan gaya equalitarian yang merangkul, turun ke bawah, gampang dicerna.

Sementara sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menggunakan gaya destructuring style yang rapi dan terorganisir. “Posisi itu akan terulang di 2024, ini adalah pertarungan dua gaya tersebut,” tandas Gun.

Terkait hasil survei DTS Indonesia yang menunjukkan pembentukan koalisi dini partai-partai belum berdampak merata kepada elektabilitas anggota koalisi, Pengamat politik Ray Rangkuti menjelaskan, temuan itu memperkuat terminologi politik di Indonesia yakni elektabilitas partai ditentukan oleh partai dengan segala aktivitasnya.

Direktur Lingkar Madani (Lima) Indonesia itu menyarankan agar koalisi segera mengambil langkah pendekatan untuk memperlihatkan upaya mereka terhadap seorang calon. Misalnya Koalisi Indonsia Bersatu (KIB) yang belum menetapkan satu nama tapi KIB sudah menunjukkan gelagat pada calon tertentu.

Menurut Ray, KIB harus memperjelas kecenderungan terhadap nama calon. Sebelumnya, KIB memang diidentikkan dengan nama Ganjar Pranowo, namun hal itu masih belum cukup kuat. Temuan DTS memberikan sinyal kuat bahwa partai harus mencalonkan sosok yang populer di masyarakat untuk mendongrak suara partai.

“Jadi, saya kira temuan DTS itu memberi sinyal yang kuat kepada koalisi kalau mereka tetap ngotot mencalonkan orang yang tidak begitu populer di tengah masyarakat, maka risikonya, bukan saja calon mereka tidak terpilih, tapi sekaligus partainya mereka juga drop,” demkian Ray mewarning.

Sebaliknya, ketika partai mengajukan nama calon presiden yang populer di tengah masyarakat, memang ada kemungkinan terpilih atau tidak. Namun, hal itu dapat berimplikasi pada kenaikan suara partai. “Jadi misalnya kalah di pilpres tapi kan setidaknya di pileg masih dapat suara,” pungkasnya. (net/lar/smr)

 

sumber: laraspostonline.com di WAGroup Guyub PWI Jaya (postSenin25/7/2022/cakherry)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *