Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsuddin mengingatkan pemerintah lebih memperhatikan isu radikalisme yang absurd ketimbang memperhatikan indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia tahun 2020 yang anjlok.
semarak.co-“Sayang berita IPK Indonesia ini tidak mengemuka, dikalahkan isu-isu lain yang berkembang terakhir ini. Termasuk perhatian negara dan pemerintah tentang isu radikalisme yang sesungguhnya absurd,” kata Din dalam webinar yang digelar Pergerakan Indonesia Maju, Kamis (25/2/2021).
Mengutip CNN Indonesia|Kamis, 25/2/2021/16:29 WIB, berdasarkan data Transparency International Indonesia (TII), IPK Indonesia tahun 2020 merosot. IPK Indonesia pada 2020 sebesar 37, turun tiga poin dari tahun sebelumnya.
Din, sapaan akrabnya, menilai kondisi tersebut menjadi kabar buruk bagi masyarakat. Menurutnya, amanat reformasi dalam memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme belum menjadi kenyataan sampai hari ini.
Mantan ketua umum MUI itu lantas menyinggung kasus dugaan korupsi bansos Covid-19 yang menjerat bekas Menteri Sosial Juliari Batubara. Menurutnya, selisih anggaran bansos Covid-19 yang diduga dikorupsi itu seharusnya digunakan untuk membantu masyarakat di tengah pandemi virus corona.
Juliari sendiri diduga menerima total Rp17 miliar dari dua paket pelaksanaan bansos untuk penanganan Covid-19 di Jabodetabek. “Bahkan dana dikorupsi itu dana rakyat yang seharusnya diberikan pada mereka yang berhak menerima saat pandemi seperti saat ini. Bansos. Ini sungguh memprihatinkan kita semua” ujarnya.
Selain itu, Din turut menyoroti pelaksanaan Undang-undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 terkait penanganan Covid-19 yang telah memberikan porsi besar bagi eksekutif untuk menyusun anggaran tanpa melibatkan DPR.
Aturan itu berpotensi membuat eksekutif semena-mena dalam menyusun anggaran dengan alasan darurat Covid-19. “Dan dalih atas pembentukan UU itu adalah suasana darurat karena Covid. Tapi dana penanggulangan Covid tidak maksimal. Ini yang membuat bangsa Indonesia masih hadapi tantangan dan ancaman Covid-19,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan, Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD membeberkan beberapa faktor yang menyumbang turunnya IPK Indonesia ke angka 37.
Mahfud menyebut melorotnya persepsi publik terkait penanganan korupsi di Indonesia 2020 ini, salah satunya lantaran pengurangan hukuman sejumlah koruptor oleh Mahkamah Agung (MA).
Bahkan, kata Mahfud, MA tak segan mengurangi hukuman melalui putusan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan koruptor. Padahal pada putusan pengadilan sebelumnya koruptor boleh jadi menerima vonis lebih berat. (net/smr)