Sebut saja namanya si Doel. Asal Madura. Dia disuruh mengantarkan 50 ekor ayam ke sebuah warung Soto X di Jalan A, B, dan C. Dalam perjalanan, si Doel terjerembab. Ayam yang dibawanya berhamburan.
“Kejar ayamnya biar nggak kabur,” kata majikannya.
“Biarkan saja. Ndak usah dikejar. Kan sudah ada alamatnya. Pasti akan sampai,” kata si Doel nyantai.
semarak.co -Ketua Dewan Pers M Nuh mengatakan, ini hanya anekdot tentang leadership disconnect. Ada ketidaknyambungan antara pimpinan dan masyarakat. Media yang menyambungkan gagasan pemerintah dengan masyarakat pun jangan sampai terjadi disconnect.
“Ruang publik harus diisi dengan informasi yang sahih. Seperti oksigen. Kita sebagai produsen informasi itu harus menghasilkan informasi yang sahih sehingga semua infornasi yang kita hirup itu menyehatkan,” kata M Nuh, saat seminar “Refleksi Kebebasan Pers Tahun 2019 dan Peluncuran Buku Mengenal Dewan Pers di kawasan Soedirman, Jakarta Selatan, Selasa (17/12/2019).
Maka, lanjut M Nuh, kompetensi jurnalis harus memadai. Harus di atas standar minimal. Supaya tidak terjadi disconnect. Karena itu Dewan Pers terus melakukan upgrading untuk mengikuti perkembangan zaman.
Kedua, lanjut M Nuh, perlindungan terhadap jurnalis selama mereka melaksanakan tugas jurnalistiknya. Ketiga, kesejahteraan jurnalis. Perusahaan pers harus tumbuh dengan baik, supaya bisa memberikan kesejahteraan.
“Dewan Pers terus melakukan terobosan agar bisnis media terus berlanjut ketika masuk di era digital. Sekarang ini sedang terjadi antara physical space ke cyber space. Tidak mungkin media dapat tumbuh jika kita tidak beradaptasi. Bukan yang paling kuat dan paling cerdas yang bisa bertahan, tetapi mereka yang mau beradaptasi dengan perubahan,” tegas M Nuh.
Di bagian lain M Nuh menekankan tiga hal kepada perusahaan media. Tiga hal itu diharapkan menjadi peta bagi perusahaan pers menjaga independensinya. Pertama, media berperan besar menciptakan ruang koneksi.
“Antara gagasan besar dengan realita harus nyambung. Penting bagi ruang publik diiisi dengan informasi sahih. Informasi ibarat oksigen. Kalau sehat, akan memberi manfaat bagi tubuh,” ujarnya berfilosofi.
Sebaliknya, lanjut dia, jika terkontaminasi, tubuh justru akan sakit. “Untuk itu, sebagai produsen informasi, perusahaan pers harus selalu menciptakan informasi sahih. Informasi yang sehat,” ujar dia.
Tak ada pilihan lain, lanjutnya, pabrik-pabrik informasi harus diisi jurnalis yang berkompeten. Nuh mengajak perusahaan pers melakukan akreditasi perusahaan dan pelatihan berkelanjutan bagi para jurnalisnya. “Supaya tak disconnect antara yang diceritakan dan realitas yang ada.
Pesan kedua Nuh, perusahaan media harus memberikan perlindungan yang maksimal kepada jurnalisnya yang bertugas. “Tanpa perlindungan maksimal, mustahil jurnalis bisa bekerja dengan tenang,” kata dia.
Pesan terakhir Nuh, perusahaan media juga bertanggung jawab memberikan kesejahteraan bagi para jurnalisnya. “Susah rasanya kalau kita berharap produk jurnalistik sangat berkualitas, sementara kebutuhan dasar jurnalis sangat minimal. Di bawah standar. Tak ada pilihan lain kecuali perusahaan pers harus tumbuh berkembang dengan baik,” kata mantan Menteri Pendidikan Nasional.
Ketua mengaku, Dewan Pers lepas tangan dalam melindungi media yang belum terdata dan terverifikasi. Untuk itu, perusahaan media didorong mendata dan memverifikasi perusahaannya ke Dewan Pers.
“Bagaimana ceritanya saya melindungi orang yang tak terdaftar. Pendataan dan verifikasi dari perusahaan pers menjadi keharusan. Saya minta proses pendataan dan verifikasi yang dilakukan Dewan Pers tak dipandang sebelah mata,” pintanya.
Proses itu, nilai dia, merupakan cara Dewan Pers untuk bisa tertib administrasi. “Semata-mata ingin memberikan perlindungan. Jangan ditafsirkan terlalu jauh,” kata dia.
Nuh menggaransi pendataan dan verifikasi perusahaan media tak akan dipersulit. Apalagi sudah ada pelayanan elektronik (e-services). “Ini upaya kami mempermudah pelayanan terhadap masyarakat,” katanya.
Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat, pada 2018 terdapat 43 ribu portal berita online di Indonesia. Jumlah yang telah terverifikasi Dewan Pers masih berkisar 100 media.
Verifikasi media adalah proses pemeriksaan terhadap perusahaan pers untuk menentukan data dan informasi yang disampaikan benar atau tidak. Sebuah media akan disematkan sebagai ‘media terverifikasi’ jika sudah terbukti dijalankan sesuai dengan ketentuan sebuah perusahaan pers.
Anggota Kelompok Kerja (Pokja) Komisi Pendataan dan Penelitian Media Dewan Pers, Winarto mengatakan, Dewan Pers membagi proses verifikasi menjadi dua, yaitu verifikasi administrasi dan verifikasi faktual.
Verifikasi administrasi meliputi pencatatan dan pemeriksaan atas dokumen-dokumen yang telah ada atau sudah diterima Dewan Pers. Sedangkan verikasi faktual adalah upaya Dewan Pers untuk memeriksa semua persyaratan yang sudah diajukan.
Verifikasi faktual menunjukkan bahwa baik administrasi maupun fakta-faktanya telah memenuhi semua persyaratan yang dipersyaratkan undang-undang maupun peraturan Dewan Pers,” kata Winarto, Kamis (21/11/2019).
Pasal 15 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers mengamanatkan Dewan Pers untuk mendata perusahaan pers. Ini sebagai tindak lanjut dari Piagam Palembang 2010 yang merupakan insisiatif masyarakat pers untuk menata dirinya.
Dewan Pers berharap media massa mampu menjaga kedekatan dengan pembaca dengan mengangkat kearifan lokal dalam pemberitaan serta mampu menjawab persoalan riil yang tengah dihadapi masyarakat.
“Saya berharap kearifan lokal benar-benar bisa diintegrasikan sebagai praktik yang inheren dari bagaimana media atau wartawan bekerja setiap hari,” kata Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Luar Negeri Dewan Pers Agus Sudibyo saat berbicara dalam Konvensi Nasional Humas 2019 di Yogyakarta, Senin (16/12/2019).
Menurut Agus, banyak media massa di Eropa yang justru bisa terus bertahan karena mampu menjaga kedekatan dengan pembaca melalui produksi berita yang berkaitan isu-isu lokal.
“Di Eropa, termasuk di Inggris, media-media yang memiliki harapan hidup lebih baik adalah media yang menjaga kedekatan dengan pembacanya,” ujar dia sambil memberi contoh.
The Bristol Cable sebagai salah satu media massa yang mampu menjaga kedekatan dengan pembaca karena konsisten mengangkat isu lokal di Inggris. Media massa tersebut, tambah Agus bahkan tidak mengandalkan iklan.
“Media itu justru mampu menghimpun donasi dari para pembacanya untuk membiayai setiap liputan dengan isu-isu yang bersifat lokal seperti persoalan sampah, sanitasi, hingga banjir. Di Eropa media tidak perlu besar, cukup lokal tapi memiliki pembaca yang fanatik yang mau mengeluarkan dananya untuk membiayai liputan itu,” ucapnya.
Oleh sebab itu, Agus berharap media massa tidak takut untuk memprioritaskan isu-isu yang bersifat lokal karena khawatir bakal ditinggal para pembaca. “Saya juga berharap media massa apapun platformnya harus bisa menjadi jangkar solidaritas antarwarga,” sebut dia. (net/lin)
sumber: indopos.co.id/medcom.id/hanter.com