Opini oleh Riko Noviantoro, Penulis Peneliti bidang Kebijakan Publik
Ancaman golongan putih (golput) selalu muncul di setiap musim Pemilu. Angka golput dapat tergambar pada data partisipasi pemilih saat Pemilu. Angka partisipasi pemilih diukur dari selisih antara jumlah pemilih dalam DPT (daftar pemilih tetap) dengan pemilih yang menggunakan hak pilihnya.
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat tingkat partisipasi pemilih memiliki trend yang tidak meningkat. Sejak Pemilu tahun 2009 dan Pemilu tahun 2014, tercatat angka paratisipasi pemilih berada pada 71 – 72 persen. Artinya terdapat 71-72 persen pengguna hak pilih pada Pemilu.
Lebih detailnya pada Pemilu 2009 dalam tahap Pemilihan Legislatif (Pileg) tercatat 29,1 persen yang tidak menggunakan hak pilih atau golput. Sedangkan pada tahap Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 tercatat 28,3 persen yang tidak menggunakan hak pilih atau golput. Kemudian pada Pileg 2014 tercatat 24,89 persen yang tidak menggunakan hak pilih. Sedangkan Pilpres 2014 mencapai 29,01 persen yang tidak menggunakan hak pilih.
Membaca data tersebut maka wajar muncul kekhawatiran. Apalagi jika membandingkan dengan angka partisipasi politik pada era orde lama dan orde baru. Dimana angka partisipasi politik pada kedua era itu sangat menggembirakan.
Pemilu tahun 1955 jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilih atau golput hanya sebesar 8,60 persen. Kemudian pada Pemilu 1971 jumlah yang tidak memilih hanya 5,2 persen. Apalagi pada Pemilu 1977 hingga 1997, jumlah orang tidak memilih hanya 3 persen.Maka tidak heran pada kedua jaman pemerintah itu dapat disebut Pemilu yang demokratis.
Pada Pemilu tahun 1955 untuk memilih 257 anggota DPR dan 514 anggota konstituante (harusnya 520 anggota, namun irian barat memiliki jatah 6 kursi, tidak melakukan pemilihan). Saat itu terdapat 29 jumlah partai politik dan individu yang ikut serta. Namun tidak mengurangi partisipasi pemilih.
Sedangkan pada Pemilu orde baru berubah situasi. Dinamika politik tingkat elit berjalan sangat sengit. Aturan pemerintah untuk melakukan perampingan partai politik menjadi titik persinggungan yang rumit. Wajah demokrasi yang beragam kemudian dibatasi menjadi dua partai dan satu golongan.
Nyatanya pada Pemilu era orde baru partisipasi pemilih juga cukup baik sebagaimana uraian data sebelumnya. Rakyat begitu antusias mengikuti rangkaian pemilihan umum. Meskipun pada order baru wajah tindakan represif pemerintah untuk mendorong kualitas demokrasi sangat kentara. Bagi pihak yang sengaja tidak menggunakan hak pilih dapat diancam pidana. Bahkan dapat diancam dengan pasal-pasal tindakan subversive.
Dari dua perjalanan Pemilu pada orde lama dan orde baru, tentu saja bisa menjadi pembelajaran bersama. Kualitas demokrasi dijaman itu dapat berjalan baik, jika melihat dari sisi partisipasi pemilih. Sedangkan kualitas pemimpin yang dijaring dalam sistem pemilu pada kedua jaman itu pun dapat tidaklah mengecewakan.
Sementara di era reformasi, kontestasi politik sudah berlangsung setidaknya lima kali. Namun dalam perjalanannya partisipasi pemilih dalam Pemilu masih jauh dari wajah ideal. Pada uraian data KPU sebelumnya tergambar tingkat partisipasi pemilih yang tidak pernah menjangkau angka 80 persen dari total pemilih.
Tentu saja rendahnya partisipasi pemilih ini tidak bekerja pada satu factor. Banyak sekali factor yang berpengaruh. Dalam jangka panjang kegagalan pencapaian partisipasi pemilih yang ideal sebagai akibat dari buruknya kerja Partai Politik selama ini. Partai politik gagal menghadirkan para kontestannya yang mampu menarik perhatian para pemilih.
Kader politik yang disajikan ternyata miskin kreatifitas dan rendah gagasan. Tidak punya kemampaun kerja politik yang diharapkan publik. Bahkan tidak jarang yang secara nyata terlibat dalam berbagai tindak pidana. Hal yang menyakitkan bagi para pemilih.
Sedangkan perguruan tinggi pun gagal membangun formulasi yang tepat untuk menumbuhkan partisipasi pemilih. Perguruan tinggi terlalu sibuk dengan kehidupan dirinya sendiri. Dengan aturan kurikulum yang ketat dan rumit. Hingga perguruan tinggi tidak hadir dalam upaya membanguann partisipasi pemilih.
Pada sisi lain tokoh masyarakat yang sepatutnya bisa menjadi agen penggerak, justru berperan pragmatis. Tokoh masyarakat seharusnya menjadi contoh, namun memilih jadi pelaku pemilih praktis. Akibatnya masyarakat kehilangan arah dan tauladan. Masyarakat menjadi apatis terhadap politik.
Dari semua itu sejatinya KPU sebagai lembaga penyelenggara Pemilu menjadi mesin yang efektif untuk mendorong partipasi politik. Kehadiran KPU dalam pemilu bagaikan penyelenggara kontes musik besar.
Sepatutnya KPU sedemikian rupa kreatif untuk mampu mengundang para penggemar kontes music hadir ke lokasi pentas music. Dimana penyelenggara sebegitu kreatif mengelola mulai dari promosi yang gencar, konsep acara yang memukau sampai tata tertib penonton dan aturan peserta yang sangat detil.
Analogi sederhana itu bisa menjadi gambaran melihat kinerja KPU selama perhelatan demokrasi berlangsung. Gagalnya KPU mengelola sederet rangkaian pesta demokrasi inilah yang jadi persoalan. Harus diakui KPU terlalu fokus pada tahap penyelenggaraan saja.
Khususnya pada prosesi pencoblosan dan penghitungan suara. KPU tidak mampu membangun semangat yang berapi-api dalam diri para pemilih untuk ikut dalam Pemilu. KPU lupa mengkreatifkan berbagai tahapan lain untuk memberikan rasa penasaran para pemilih untuk datang ke lokasi pencoblosan.
Tidak hanya itu saja. KPU pun kerap duduk manis setelah prosesi Pemilu selesai. Padahal KPU masih bisa memainkan perannya pascapemilu. Berupa gerakan himbauan politik yang berkelanjutan, melalui berbagai sarana komunikasi yang ada. Baik radio, media cetak, television maupun online.
KPU pun sebenarnya bisa hadir dalam ruang-ruang Pendidikan formal. Melalui kegiatan seminar dan diskusi untuk mendorong partisipasi pemilih. Hal itu bisa dilakukan sebelum maupun sesudah pemilu. Dengan menggandeng berbagai lembaga pendidkan tingkat menenang sebagai bagian dari Pendidikan demokrasi.
Tidak salah pula jika KPU pun mencoba menggelar simulasi pemilu di sekolah. Tentu kegiatannya ini bisa dilakukan setelah pemilu. Agar pelajar sejak jauh hari sudah terbiasa dengan suasana dan tahapan pemilu. Sekaligus membangun pemahaman tingkat pelajar tentang tujuan pemilu.
Belum cukup itu saja, KPU pun bisa terjun pada institusi social kemasyarakatan. Misalkan PKK bisa dijadikan sarana edukasi politik dan pemilih yang tepat. Melalui kegiatan PKK menumbuhkan kesadaran partisipasi pemilih dikalangan ibu rumah tangga.
Masih terdapat pula organisasi kepemudaan tingkat local. Misalkan karang taruna dan komunitas lain yang bisa menjadi sasaran pendidikan bagi pemilih. Dengan demikian pada pemilu masa mendatang partisipasi pemilih dapat lebih baik.
Tentu saja harapan itu tidak mudah. Namun KPU dengan segala fasilitasnya sepatutnya mampu perlahan mewujudkan. Terlebih pada era teknologi informasi saat ini. Dimana kreatifitas dan luapan gagasan bisa dituangkan dalam model-model yang sederhana tetapi massif tersebar. Semoga KPU mendatang bisa lebih kreatif dan bekerja optimal. ***
Peneliti bidang Kebijakan Publik Institute for Development of Policy and Local Partnership (INDEPOL-LP)