Opini Dr. Fadli Zon, M.Sc.*
semarak.co– Setiap undang-undang tak boleh berpretensi menjadi undang-undang dasar. Namun, fatsoen ketatanegaraan itu telah dilanggar oleh RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang kini tengah memancing penolakan di tengah masyarakat.
Pretensi menjadi undang-undang dasar inilah, menurut saya, menjadi alasan pertama kenapa RUU HIP perlu segera ditarik, dan bukan hanya butuh direvisi. Lihat saja rumusan identifikasi masalahnya.
Kalau kita baca Naskah Akademik RUU HIP, rumusan identifikasi masalah semacam itu sebenarnya lebih tepat diajukan saat kita hendak merumuskan undang-undang dasar, bukannya undang-undang.
Alasan kedua, Pancasila adalah dasar negara, sumber dari segala sumber hukum, yang mestinya jadi acuan dalam setiap regulasi atau undang-undang. Ironisnya RUU HIP ini malah ingin menjadikan Pancasila sebagai undang-undang itu sendiri. Standar nilai kok mau dijadikan produk yang bisa dinilai? Menurut saya, ada kekacauan logika di sini.
Pancasila tak boleh diatur oleh undang-undang, karena mestinya seluruh produk hukum dan perundang-undangan kita menjadi implementasi dari Pancasila itu tadi.
Satu-satunya ‘undang-undang’ yang bisa mengatur institusionalisasi Pancasila hanyalah Undang-Undang Dasar 1945, dan bukan undang-undang di bawahnya, termasuk bukan juga oleh ‘omnibus law’. Kalau diteruskan, ini akan melahirkan kerancuan yang fatal dalam bidang ketatanegaraan.
Alasan ketiga, RUU HIP gagal memisahkan ‘wacana’ dari ‘norma’. Pancasila, dengan rumusan kelima silanya, adalah “NORMA”. Rumusannya terjaga di dalam naskah Pembukaan UUD 1945. Sementara, istilah “Trisila” dan “Ekasila”, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 7 RUU HIP, itu hanyalah “WACANA” yang muncul saat gagasan Pancasila pertama kali dipidatokan Bung Karno tanggal 1 Juni 1945.
Istilah itu sama sekali tak pernah jadi NORMA. Jadi, memasukkan WACANA yang sama sekali tidak memiliki yurisprudensi ke dalam sebuah naskah rancangan undang-undang, seolah itu adalah sebuah NORMA, jelas menunjukkan adanya cacat materil dalam penyusunan RUU HIP ini. WACANA “Trisila” dan “Ekasila” itu sama sekali tak pernah menjadi NORMA dalam sistem hukum dan ketatanegaraan kita.
Bahkan, meskipun istilah Pancasila berasal dari Bung Karno, dan kita mengakui 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila, namun jangan lupa, yang kemudian dijadikan NORMA dalam sistem hukum dan ketatanegaraan kita adalah rumusan sila-sila yang disahkan pada 18 Agustus 1945, bukan rumusan sila-sila yang pertama kali dipidatokan. Ini harus sama-sama kita pahami.
Apalagi teks Pancasila itu lahir dari diskursus pikiran sejumlah tokoh khususnya anggota BPUPKI 1945. Alasan keempat, selain cacat materil, RUU ini juga mengandung cacat formil. RUU ini berpretensi menjadi ‘omnibus law’, padahal kajian akademiknya tak dimaksudkan demikian.
Kalau kita baca pasal-pasalnya, RUU ini ingin mengatur berbagai isu, mulai dari soal demokrasi, ekspor, impor, telekomunikasi, pers, media, riset, hingga soal teknologi. Isinya jadi ke mana-mana. Kelihatannya, latar belakang RUU ini sebenarnya hanya untuk memperkuat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) saja.
Padahal lembaga BPIP ini tak terlalu diperlukan, hanya menambah beban negara. Pernyataan pimpinannya sering membuat kegaduhan dan berpotensi memecah belah bangsa.
Alasan kelima, RUU ini tak punya urgensi sama sekali. Kita saat ini sedang menghadapi bencana pandemi Covid-19. Namun, dengan munculnya RUU ini, kita kembali bertengkar soal ideologi, kotak pandora yang sebenarnya secara formil sudah kita tutup sejak lama. Jadi, alih-alih mempersatukan, RUU ini malah bisa membuka luka-luka lama sejarah dan akhirnya memecah belah.
Sebagian masyarakat curiga RUU ini digunakan untuk menyusupkan kepentingan kaum komunis atau PKI yang sudah dilarang. Tak dicantumkannya TAP MPRS No. XXV/1966 tentang Pembubaran PKI sebagai konsideran, malah makin memupuk penolakan sebagian masyarakat.
Apalagi, RUU ini juga memerintahkan pembentukan kementerian/badan baru di luar Badan Haluan Pembinaan Ideologi Pancasila. Coba baca Pasal 35 dan 38, setidaknya akan ada tiga badan/kementerian baru yang akan diperintahkan dibentuk oleh undang-undang ini.
Untuk apa?
Negara saat ini sedang susah. Anggaran lembaga negara yang sudah ada saja kini banyak dipotong untuk menutup defisit dan mengatasi pandemi, ini kok malah mau membentuk lembaga baru, lebih dari dua lagi. RUU ini jelas tak penting dan tidak memiliki sensitivitas krisis.
Dengan lima alasan tadi, saya kira pembahasan mengenai RUU HIP tak perlu lagi diteruskan. Jika ada yang ingin memperkuat pelembagaan BPIP, sebaiknya dibuat saja undang-undang tentang BPIP, jangan malah bikin undang-undang mengenai Pancasila.
*Penulis: Anggota DPR RI, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra
sumber: WA Group ANIES GUBERNUR DKI (post Senin 15/6/2020)