Perjuangan Presidential Thresold (PT) nol persen (0%) nampaknya terus berlanjut. Setelah belasan kali pengajuan Judicial Review ditolak Mahkamah Konstitusi (MK), kini harapan dari dikabulkannya PT 0% tinggal pada gugatan judicial review yang diajukan lembaga senator Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI yang belum diputus MK.
semarak.co-Aktivis Tionghoa Lieus Sungkharisma menilai, entah apa yang akan terjadi terhadap bangsa ini jika gugatan DPD RI itupun ditolak MK. Seperti diketahui, Ketua DPD RI LaNyalla Mattalitti jauh-jauh hari bahkan sudah mewanti-wanti MK bahwa akan terjadi revolusi sosial jika gugatan lembaga tinggi negara sekelas DPD pun ditolak MK yang diketuai adik ipar presiden Jokowi itu.
Situasi itulah yang kemudian mendorong Lieus Sungkharisma, bersama sejumlah pemuka agama Buddha dan Kong Hu Chu, Jumat (24/6/2022) meminta ijin dan mengajukan pemberitahuan ke Polda Metro Jaya Jakarta untuk menggelar doa.
Sayang, kutip Lieus, rencana doa untuk keselamatan bangsa itu gagal dilaksanakan karena aparat kepolisian di lapangan tak membolehkan. Pelarangan dengan dalih yang sulit diterima akal sehat itu, tentu saja membuat Lieus berang.
“Saya tahu aturan. Tapi kenapa saya dilarang? MK ini adalah gedung milik rakyat dan saya hanya mau berdoa di depan gedung ini,” kata Lieus dirilis yang diterima redaksi semarak.co, Minggu (19/6/2022).
Lieus yang datang bersama enam orang pemuka agama itu, akhirnya kembali dengan membawa buah persembahan dan alat-alat sembahyang, termasuk hio yang sudah dipersiapkan. Lieus menyebut, upaya berdoa di depan gedung MK itu dilakukan karena keprihatinannya atas putusan MK yang menolak semua permohonan judicial review terhadap pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“Pasal 222 itu yang mengatur ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20%. Dan pasal itu bertentangan dengan UUD 1945. Karena itu kita ingin berdoa, memohon pada yang Maha Kuasa agar hati nurani hakim MK dibukakan Tuhan,” jelas Lieus.
Ditambahkan Lieus, memohon doa kepada Tuhan adalah salah satu jalan agar PT 20 persen itu dihapus. “Sebab peraturan itu selain merusak demokrasi, juga menjadi penyebab suburnya oligarki,” tegasnya.
Selain itu, tambah Lieus, PT 20% itu sangat berbahaya bagi masa depan bangsa. Sebab tokoh-tokoh bangsa yang memiliki kualitas yang baik, tidak akan mendapat kesempatan untuk berpartisipasi dalam Pilpres oleh karena penentuan calon hanya dimiliki parpol besar atau gabungan parpol.
“Lebih parah lagi, penentuan calon presiden tak bisa pula dilepaskan dari para pemilik modal (kekuasaan oligarki ekonomi) yang siap mendanai pencapresan yang diajukan partai-partai politik itu,” kata Lieus lagi.
Bahkan, kata Lieus lagi, dengan kekuatan uangnya, oligarki dapat mengatur siapa figur yang bisa diusung parpol dan bahkan bisa mengatur kemenangannya. “Itulah yang ditengarai terjadi sejak Pilpres 2014 dan 2019,” kata Lieus.
Karena itulah Lieus meminta rekan-rekannya sesama pengaju judicial review Pasal 222 UU Pemilu di MK, membangun persatuan untuk terus menyuarakan tuntutan PT nol persen ini. “Sebab saya tidak mau apa yang dinyatakan Ketua DPD RI, La Nyalla Mattalitti bahwa akan terjadi revolusi sosial jika gugatan judicial review DPD pun ditolak MK, benar-benar terjadi di negeri ini,” katanya.
Maka satu-satunya jalan agar revolusi itu tidak terjadi, adalah dengan berupaya memanjatkan doa kepada Tuhan. “Sayang, MK pun ternyata banyak Jin-nya sehingga untuk berdoa pun orang dilarang,” keluhnya.
Diketahui, pernyataan keras Ketua DPD RI La Nyalla Mahmud Mattalitti yang menyebut lebih baik MK dibubarkan saja jika menolak gugatan DPD RI sebagai lembaga tinggi negara, mendapat dukungan dari koordinator Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (KomTak), Lieus Sungkharisma.
Menurut Lieus, alasan pembubaran MK sebagaimana yang dinyatakan LaNyalla itu sangat logis jika MK menolak gugatan yang diajukan lembaga setingkat DPD yang merupakan salah satu lembaga tinggi negara.
“DPD itu adalah lembaga tinggi negara yang berisi para senator yang mewakili seluruh wilayah Indonesia. Jika gugatan lembaga setingkat DPD saja tidak digubris MK, apalagi gugatan dari rakyat biasa? Jadi untuk apa ada MK? Baguslah kalau dibubarkan saja,” ujar Lieus kepada redaksi www.suaranasional.com, Selasa (7/6/2022).
Seperti diketahui, Ketua DPD RI, AA La Nyalla Mahmud Mattalitti, dalam acara Dialog Nasional Peringatan 25 Tahun Mega-Bintang yang bertema Kedaulatan Rakyat versus Oligarki dan KKN, di Solo, Jawa Tengah, Minggu (5/6/2022), melontarkan pernyataan keras itu setelah ia memaparkan kondisi pemerintahan Indonesia saat ini yang dikuasai oligarki ekonomi dan oligarki politik.
Menurut La Nyalla, oligarki ekonomi dan oligarki politik adalah musuh bersama bangsa Indonesia hari ini. Karena itulah Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI mengajukan judicial review ke MK agar UU Pemilu, khususnya menyangkut pasal 222 yang mengatur soal Presidential Threshold dirubah atau dihapus. “Sebab pasal itulah yang menjadi penyebab lahirnya oligarki di negeri ini. Dan oligarki itu harus diakhiri,” tegas LaNyalla.
Hal itu jugalah yang mendorong Lieus menyatakan dukungannya pada pernyataan LaNyalla tersebut. “Persoalan bangsa saat ini bukanlah soal pemerintah atau Presiden. Tetapi lebih karena adanya kelompok yang menyandera kekuasaan untuk berpihak dan memihak kepentingan mereka, yaitu oligarki ekonomi dan oligarki politik,” ujar Lieus.
Harus diakui, tambah Lieus, saat ini nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila seperti keadilan sosial dan gotong royong sudah hampir punah. Semua itu, katanya lagi, lebih disebabkan oleh kekuasaan pemerintah yang tunduk pada oligarki.
“Jadi, selain kita harus mendesak MK agar Presidential Threshold 20 persen dihapus, kita juga harus menyadarkan rakyat akan bahayanya oligarki ini. Saya tidak masalah seseorang menjadi kaya raya. Tapi jangan sampai kekayaaan itu mendzolimi orang lain bahkan digunakan untuk mengatur dan mengendalikan kebijakan pemerintah demi kepentingan sendiri,” katanya.
Itu jugalah alasan Lieus mengapa ia mendukung ajakan LaNyalla agar semua kekuatan civil society mengkonsolidasikan diri. “Hari ini secara politik dan ekonomi praktik bernegara kita sudah terlalu jauh melenceng dari Pancasila. Kita menjadi sangat liberal dan kapitalistis. Hal ini memang harus kita luruskan,” ujarnya.
Di bagian lain Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Hukum dan Advokasi PKS Zainudin Paru menyatakan, partainya berencana melayangkan gugatan terhadap Pasal 222 Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK) pekan depan.
Aturan itu mengatur calon presiden calon wakil presiden (capres-cawapres) hanya bisa diusung dengan syarat kepemilikan 20% kursi DPR atau sering disebut ambang batas presiden atau presidential threshold (PT). Jadi agar mendekatkan ikhtiar PKS dan tentunya partai lain untuk ikut dalam kontestasi capres/cawapres.
Zainudin mengatakan pihaknya masih membutuhkan waktu melakukan riset terhadap pelbagai pertimbangan dan putusan hakim MK terkait presidential threshold. Jumlahnya pun diakuinya tak sedikit. Dari detail pertimbangan MK itu, lanjut Zainudin, akan diupayakan menjadi Pokok Permohonan yang diajukan PKS.
“Insya Allah kemungkinan minggu depan. Tujuannya agar partai bisa ikut dalam kontestasi mengusung capres dan cawapres di pemilihan presiden 2024. Kami harus riset ada 30 pertimbangan dan putusan MK terkait judicial review PT ini,” kata Zainudin kepada CNNIndonesia.com dilansir cnnindonesia.com/Selasa, 28 Jun 2022 16:02 WIB.
Sebagai informasi, PKS telah menggelar forum Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) pada 20-21 Juni lalu di Hotel Sahid Jakarta. Salah satu hasil Rapimnas tersebut hendak menggugat presidential threshold ke MK.
Presiden PKS Ahmad Syaikhu mengatakan aturan itu telah membatasi peluang munculnya calon alternatif capres dan cawapres yang di 2024. Oleh karena itu, PKS akan menggugatnya ke MK. “Aturan ini dinilai membatasi alternatif pilihan capres-cawapres yang akan maju di 2024,” kata Syaikhu kala itu. (net/sua/smr)