Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengingatkan bahwa tidak semua Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) nantinya dengan masa pembelajaran selama empat tahun.
semarak.co– Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kemendikbud Wikan Sakarinto mengatakan, program SMK fast track waktunya lebih lama dibanding SMK yang sudah berjalan saat ini. Namun untuk program SMK fast track 4,5 tahun setara dengan diploma dua (D2). Program tersebut melibatkan dunia industri dan juga pendidikan tinggi.
“Kami sedang merancang SMK fast track yakni ada empat tahun dan ada yang 4,5 tahun. Tapi itu tidak semua SMK, ada yang tetap tiga tahun tergantung programnya. Kalau cukup tiga tahun tidak harus nambah waktu,” ujar Wikan dalam telekonferensi daring (dalam jaringan) di Jakarta, Minggu (21/6/2020).
Dalam rancangannya, lanjut Wikan, program tersebut terdiri dari sembilan semester. Semester satu hingga lima pembelajaran di sekolah. Kemudian semester enam, siswa mengikuti praktik kerja industri. Selanjutnya semester tujuh belajar di kampus, dan semester delapan dan sembilan magang di industri baik di dalam maupun di luar negeri.
“SMK fast track lamanya empat tahun atau 4,5 tahun bertujuan agar kemampuan nonteknis atau soft skill siswa semakin kuat. Lho kok bisa? Soalnya pada program ini, tiga semester itu magang atau praktik kerja industri,” terang dia.
Dengan magang, nilai dia, siswa dapat belajar sambil bekerja ataupun sebaliknya bekerja sambil belajar. Pada saat magang itu, siswa akan berinteraksi, berdiskusi, akan dimarahin, mendapatkan target, dan pengalaman menarik lainnya. “Program SMK fast track ini tidak otomatis wajib di seluruh SMK,” jelas dia.
Pada program SMK fast track tersebut, kata dia, begitu lulus siswa akan menerima ijazah SMK, ijazah D2, sertifikat kompetensi, serta sertifikat lulus magang. Dengan kerja sama yang baik dengan industri, diharapkan dapat menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi yang baik yang dibutuhkan oleh dunia usaha dan dunia industri.
Mantan Dekan Sekolah Vokasi UGM menargetkan penerapan SMK fast track tersebut dapat berjalan pada tahun depan. Untuk tahap awal, proyek percontohan SMK fast track itu dilakukan untuk 10 SMK.
Untuk program tersebut, SMK harus menjalin kerja sama dengan industri dan perguruan tinggi vokasi. Hal itu penting agar kompetensi lulusan baik dan juga diserap oleh dunia industri. Kolaborasi yang dilakukan mulai dari penyusunan kurikulum, magang, sarana prasarana, hingga tenaga pengajar.
Dalam kesempatan itu, Wikan juga meyakini bahwa SMK jika dirancang dengan serius maka akan menghasilkan lulusan yang kompeten. Misalnya saja teknisi las atau welder, yang mana jika mengikuti program SMK fast track selama empat atau 4,5 tahun diharapkan dapat menjadi teknisi las yang memiliki sertifikasi yang diakui industri dan bisa melakukan pengelasan yang spesial seperti pengelasan di bawah laut.
“Nah selama praktik kerja di industri, siswa itu bisa mematangkan kemampuannya dibidang pengelasan. Meski demikian, program ini belum diputuskan dan terus digodok agar lebih baik lagi,” kata dia lagi.
Di bagian lain Wikan Sakarinto mengingatkan para siswa agar tidak menjadikan SMK sebagai pilihan kedua. “Agar outputnya baik, maka inputnya pun harus baik. Siswa baru SMK harus memiliki ‘passion’ dengan pendidikan vokasi, masuk SMK jangan dijadikan pilihan kedua,” ujar Wikan.
Siswa SMK hendaknya harus mengetahui visinya seperti apa. Tidak tepat jika masuk SMK hanya untuk mendapat ijazah dan kerja. Sebaiknya masuk SMK untuk mendapatkan kompetensi.
Baik ijazah maupun kompetensi memiliki perbedaan. Ijazah hanya menunjukkan siswa sudah belajar apa, sedangkan kompetensi dan ijazah adalah siswa sudah bisa apa atau kemampuan apa yang dimiliki oleh siswa SMK.
“Perpaduan antara kompetensi baik itu kemampuan teknis (hard skill) dan kemampuan nonteknis (soft skill) serta sikap jujur, memiliki moral dan berintegritas merupakan syarat SDM unggul dan kompeten,” jelas dia.
Ke depan, kata dia, kemampuan nonteknis sangat berpengaruh. Hal itu dikarenakan kemampuan teknis terus mengalami perubahan karena perkembangan teknologi.
Kemendikbud mencanangkan pernikahan massal antara pendidikan vokasi dan industri. Pernikahan massal merupakan penguatan dari “link and match” pendidikan vokasi dan industri. Kerja sama yang dilakukan tidak hanya sekedar penandatanganan di atas kertas atau nota kesepahaman (MoU), melainkan harus intensif dan erat.
Mulai dari pembuatan kurikulum yang dirancang bersama, tenaga pengajar dari industri, program magang yang dirancang sejak awal, komitmen bersama, hingga pelatihan dan peningkatan kompetensi guru menjadi sesuatu yang wajib.
“Intinya adalah alasan lulusan SMK atau vokasi itu harus kompeten. Kompetensi itu, aku bisa apa dan aku mampu apa. Bukan hanya ijazah saja, tapi juga harus memiliki kompetensi,” jelas dia lagi.
Jika menganalogikan proses pendidikan vokasi, lanjut dia, maka tujuannya menghasilkan output atau lulusan yang memiliki kompetensi. Sehingga outcome atau hasil akhirnya membuat kepuasan dunia industri dengan kompetensi lulusan SMK.
“Misal industri itu inginnya nasi pecel, tapi inginnya nasi pecel yang istimewa, yang kinerjanya baik. Untuk itu perlu kolaborasi yang baik, mulai dari resep dibikin bersama, dimasak bersama, dicobain bersama, label bersama, hingga dinikmati bersama,” terang Mantan Dekan Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada itu. (net/smr)