Asian Games ke 18 Tahun 2018 yang berlangsung mulai 18-8-2018 dibuka oleh Presiden Joko Widodo dengan mewah dan megah. Namun ini diharapkan bisa paralel dengan prestasi atlet untuk setidaknya mewujudkan target pemangku olahraga tanah air masuk 10 besar dengan 20 emas.
Pengamat olahraga kondang Fritz Simanjutak mengaku bukannya pesimis soal peluang tim-tim Indonesia dalam ajang dunia, seperti Olimpiade. Tapi nyatanya, rata-rata tim Indonesia masih jauh bahkan kalah sama tim asal Thailand maupun Vietnam. Target 10 besar di ajang Asian Games 2018 ini saja, nilai Fritz, belum tentu bisa tercapai.
“Masih jauhlah kalau bicara peluang di ajang dunia. Tapi memang ada cabang-cabang tertentu, seperti bulutangkis. Tapi rata-ratanya memang masih jauh. Ini terlihat dari target 10 besar di Asian Games, itu dominan cabang olahraganya yang non olimpic. Jadi bagaimana bisa naik ke Olimpiade. Terakhir tim Indonesia dapat dua emas di Asian Games 1992. Sisanya hanya satu-satu emas terus,” ujar Fritz melalui sambungan teleponnya, Senin petang (20/8).
Walaupun Asian Games ini bisa jadi batu loncatan menuju Olimpiade, tapi karena cabang olahraganya lebih banyak non olimpiade, Fritz mengaku, jadi sangat sulit bicara di level dunia. “Targetnya kan 10 besar di Asian Games 2018 ini dengan asumsi dari 40 cabor. Sayangnya dari 40 cabor itu, sedikit sekali yang cabor Olimpiade,” keluhnya.
Di mana letak salahnya? Menurut Fritz, itu dikarenakan proses pembinaannya tidak memenuhi tiga unsure pokok. Pertama insfratruktur berupa sarana dan prasarana, seperti lapangan pertandingan.
“Seperti gelang remaja zaman Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin sampai sekarang tidak tambah-tambah. Ini tentu tanggungjawa pemerintah. Harusnya dibangun lebih banyak gelanggang-gelanggang remaja bahkan sampai ke desa-desa dan yang terpenting di sekolah-sekolah. Karena anak-anak bersekolah setiap hari. Mereka bisa berolahraga setiap hari pula,” sindirnya.
Kedua unsur kompetisinya. Menurut dia, kalau satu cabor hanya dapat setahun sekali bertanding, bagaimana mau berprestasi. “Kompetisi itu keniscayaan lho. Ini tanggungjawab induk organisasi cabang olahraga dan pemerintah lagi,” ungkapnya.
Ketiga Pelatnas, sambung dia, setiap cabor harusnya membuat pelatnas sendiri-sendiri, seperti PBSI yang punya pelat di Cipayung Depok. “Makanya, bisa sukses itu bulutangkis mendapat gelar juara dunia terus menerus. Nah, judo, voli, dan lainnya, tiru tuh PBSI dengan bikit pelatnas sepanjang tahun untuk atlet-atlet elitnya,” ujarnya.
Kalau tidak dilakukan pelatnas yang diluar pelatnas pemerintah, nilai dia, biar dikirim ke Amerika sekalipun, hasilnya tidak rutin. Selesai pengiriman selesai pula atletnya. Jadi melihatnya, kata dia, pembinaan ini yang bikin 80% atlet gagal.
“Makanya susah mencari pengganti seperti Susi Susanti setelah dia pension 14 tahun lalu. Atau pengganti Taufik Hidayat yang berhenti sejak 2008. Ini pun sama dengan Negara-negara lain, seperti China,” ungkapnya.
Anggaran Olahraga
China itu, nilai dia, paling 30 persen yang dapat medali dari total jumlah atlet yang dikirimnya. Karena memang pembinaannya pun sedang susah di sana. “Nah, bagaimana bisa mencapai target itu, kembali tiga unsur tadi minimal dapat dipenuhi. Cara pandangnya jangan dana yang digelontorkan, tapi investasi. Misalnya, kalau kita mau dapat 200 atlet elit, maka investasikan 2000 atlet. Jadi investasinya harus diperbanyak, bukan dananya malah diperketat,” tutupnya.
Pengamat olahraga Krisna Bayu menilai, tidak ada persoalan besar bagi atlet dalam meraih prestasi dunia. Justru persoalannya ada di pemerintah. Pemerintah harus campur tangan supaya bisa meraih juara dunia.
Selama ini, kutip Krisna anggaran olahraga hanya 0,8 persen dari APBN. Itu mana cukup untuk pembinaan atlet. Apalagi untuk masuk level dunia. Karena atlet yang memiliki talenta dan keberanian harus dibina, misalnya, dengan memanfaatkan sport sains yang targetnya ajang olimpic atau olimpiade.
“Dalam pembinaan atlet itu, lihatlah progresnya. Setiap atlet itu memang memiliki talenta dan menyimpan keberanian ditambah keberuntungan dari usaha pibadinya. Itu yang menyebabkan bisa juara dunia tanpa campur tangan pemerintah,” ujar Krisna di kantornya, gedung KONI Komplek GBK, Senayan, Jakarta Selatan, Jumat (20/7).
Campur tangan pemerintah, lanjut Krisna, terutama dalam anggaran akan menjadi solusi jitu atlet dalam meraih prestasi. Itu diyakininya, karena prestasi justru akan datang sendiri setelah proses pembinaan berjalan baik, seperti pengawalan proses dan penyiapan komponen-komponen terkait.
“Prestasi itu ada yang diraih secara tidak terduga karena talenta, keberanian, dan keberaniannya. Tapi ini tidak akan bisa rutin. Karena bukan dari pembinaan dan proses yang baik. Kecuali memang digembleng dengan target sebagai tujuan akhir,” kata Krisna sambil memberi contoh atlet lari Lalu Zohri yang juara dunia dan dari sepakbola timnas U-16.
Dalam target itu, lanjut dia, pemerintah sifatnya penyiapan dana. Sedangkan pengurus besar/pengurus pusat (PB/PP) dari cabang olahraga (cabor) atletnya. Biar PB/PP yang mengelola anggaran secara menyeluruh.
“Anggaran untuk olahraga harus ditambah, sedikitnya menjadi satu dari 0,8 persen APBN selama ini. Dengan adanya anggaran yang cukup harus diimbangi konsep atau blueprint pemerintah maupun stakeholder olahraga. Jadi komprehensip dan tepat sasaran dengan target yang jelas,” harap Krisna yang juga Ketua umum PP Sambo Indonesia.
Perhatian pemerintah pun, pinta Krisna, jangan sesaat ini. Tapi terus menerus supaya prestasi tidak kandas. “Ingat, seorang atlet juara dunia, pantas mendapatkan bintang. Seorang dengan level juara dunia, pasti pula berpikir terus untuk mempertahankannya. Tinggal bagaimana induk cabornya, dalam hal ini PB atau PP memberi perhatian dalam pembinaan lanjutan. Jadikan Asian Games 2018 ini sekaligus persiapan olimpiade,” tutupnya. (lin)