Seburuk Buruknya Sampah Demokrasi adalah Buzzer

Adhi Massardi memberi pernyataan terkait quick count. foto: internet rmol

Oleh : Adhie Massardi

semarak.co -Buzzer, tukang sebar fitnah dan kebencian, ternyata tumbuh subur di Indonesia. Lebih miris, setelah diteliti, ternyata, mereka menjadi jurkam kampanye penguasa untuk menggebuk lawan politiknya.

Bacaan Lainnya

Hasil riset dua orang (Samantha Bradshaw dan Philip N Howard) peneliti dari Universitas Oxford, Inggris cukup mencengangkan. Riset berjudul The Global Disinformation Order: 2019 Global Information of Organized Social Media Manipulation itu menguak 70 negara termasuk Indonesia, terbukti menggunakan buzzer untuk menekan kelompok oposisi dan memecah belah rakyat.

H Abdul Rozaq, dzurriyah muassis NU almaghfurlah KH Wahab Chasbullah, mengaku prihatin, karena korban buzzer bukan hanya kalangan awam. Sekarang ini tidak sedikit kiai yang ‘terkapar’ pemahamannya gara-gara buzzer. Tanda-tandanya, fanatisme mereka berlebihan terhadap berbagai hal yang berbau politik. Mereka terpapar virus radikal yang dibuat para buzzer.

“Kiai yang tidak paham medan politik, mudah ‘termakan’. Jadi korban. Kasihan!” jelasnya kepada duta.co, Senin (7/10/2019).

Target buzzer itu, jelasnya, lebih untuk kepentingan politik. Menumbuhkan fanatisme buta. “Tanda-tanda korban buzzer:

  • Pertama, mereka ketakutan dengan khilafah. Padahal khilafah itu hanya bayang-bayang yang dibuat buzzer.
  • Kedua, tidak peduli isu komunisme, sebab kader komunis inilah yang menyetir buzzer.
  • Ketiga, warga NU ditakut-takuti jamiyahnya akan menjadi fosil,”

jelas Gus Rozaq panggilan akrabnya.

  • Keempat, tambah Gus Rozaq, mereka merasa paling NU, sehingga nahdliyin yang tidak ikut politiknya dibatal-batalkan baiat NU-nya.
  • Kelima, antipati kepada HTI, karena HTI yang ‘kecil mungil’ itu berhasil dibesar-besarkan oleh buzzer. Ini semua kerja politik. Kita tertipu,” tambah Gus Rozaq sambil tersenyum dan berharap semua segera sadar.

Sampah Terburuk

Adhie Massardi, Ketua Umum Perkumpulan Swing Voters (PSV) Indonesia, juga turut menyoroti permasalahan buzzer di negeri ini. Kehadiran para pendengung alias buzzer sangat mengganggu proses demokrasi di tanah air. Sebab, mereka muncul dengan sebaran fitnah dan ujaran kebencian.

Secara satire, mantan jurubicara Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid itu menguraikan bahwa seburuk-buruk sampah yang ada di muka bumi adalah sampah demokrasi. Sementara sampah terburuk dari demokrasi ada pada buzzer.

“Seburuk-buruk sampah demokrasi adalah buzzer,” terangnya dalam akun Twitter pribadi, Minggu (6/10/2019).

Ada kandungan khusus dalam diri buzzer sehingga disebut paling buruk. Adhie menyebutnya sebagai kategori B3. “Ini sampah kategori B3 (bahan berbahaya dan beracun),” urai Adhie lebih lanjut.

Ia memastikan bahwa kehadiran buzzer tidak memiliki manfaat. Mereka justru akan menjadi racun yang mematikan bagi masyarakat dan kehidupan demokrasi tanah air. Termasuk, berbahaya bagi majikannya sendiri di kemudian hari. “Buzzer tiada guna bagi siapapun, bahkan akan segera meracuni & mematikan pemiliknya sendiri,” tutupnya. (mky, rmol.id)

Saat Pilkada DKI lalu saya sering membahas tentang buzzer-buzzer penguasa. Sayangnya akun saya yg lama kandas sehingga tulisan-tulisan saya pun ikut raib.

Minggu ini Tempo menurunkan berita bertajuk ‘Saatnya Menertibkan Buzzer Jokowi.’ Sudah beberapa minggu ini Tempo kembali sehat’, topik-topiknya menggigit. Meski media ini tempo-tempo sehat, tempo-tempo masuk angin hehehe… semoga kali ini sehat terus ya.

Tempo menuliskan bahwa keberadaan buzzer-buzzer Jokowi membahayakan demokrasi. Mereka memproduksi kabar bohong yang didengungkan di media sosial untuk mempengaruhi opini publik. Dan fatalnya para pendukung Jokowi banyak yang menelan mentah-mentah semua informasi yg diciptakan para buzzer itu.

Ironisnya para buzzer itu dipelihara dan difasilitasi Istana. Mereka kerap kali diundang dan dijamu di Istana. Istana yang seharusnya menjadi pusat komunikasi publik yang berfungsi utk mendiseminasikan dan mengedukasi publik, malah berfungsi sebagai pusat hoax nasional.

Dua peneliti Oxford, Samantha Bredshaw  dan Philip N Howard mengkaji aktifitas para buzzer Jokowi dalam laporan bertajuk The Global Disinformation Order, 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation.

Buzzer-buzzer politik dikerahkan dan dibiayai oleh parpol untuk memanipulasi opini publik. Dalam laporan itu dibeberkan bahwa politikus, partai-partai politik, dan kontraktor swasta di Indonesia menggunakan buzzer untuk menyebarkan propaganda pro pemerintah/partai, menyerang lawan politik, dan menyebarkan informasi untuk memecah-belah publik.

Saya jadi teringat eks mahasiswa saya yang pernah bekerja menjadi buzzer pemerintah. Saya mengingatkannya, percuma anda sekolah PR, ilmu yg kamu pelajari di kampus sia-sia bila pekerjaanmu hanya memanipulasi kesadaran publik.

Saya sebagai dosen anda malu mengetahui itu. Carilah pekerjaan yang lebih bermartabat dan bangunlah reputasi personal yang baik. Mahasiswa saya hanya terdiam saat saya ingatkan seperti itu.

Tanpa media dan para buzzer Jokowi tak berarti apa-apa. Mereka lah yang memolesnya menjadi sosok yang hebat, mereka juga yang menutupi semua kelemahannya. Sebaliknya para buzzer itu mendengungkan dan menuduhkan hoax kepada siapa saja yang mengungkap fakta kebenaran.

Dan celakanya begitu banyak para pendukungnya yang percaya dan termakan dengan semua isu/informasi yang didengungkan para buzzer plus diperkuat dgn agenda setting media. Bahkan untuk kalangan terdidik pun, mereka percaya dgn informasi yg diproduksi Seword, Katakita, dll. Referensinya Denny Siregar, Abu Janda… tidak sayang dgn titel ya.. hehehe… gelar akademis tinggi referensinya hoax.

Yang lebih lucu lagi pemerintah terus berkampanye dan memerangi hoax tapi pada saat yang sama mereka melindungi dan memfasilitasi para produsen hoax… hehehe jeruk kok makan jeruk.

Media dan para buzzer itu tidak berpikir atas efek yang ditimbulkan. Akibatnya menumpulkan daya kritis publik, mereka cenderung emosional bila merespon informasi yg tidak sesuai dengan persepsi mereka, sikapnya kasar dan berani menggertak dan mencaci siapa saja yang mengkritisi Jokowi. Lebih parah dari itu selama lima tahun ini mereka terus berhalusinasi dengan keberhasilan-keberhasilan semu yg diciptakan media dan para buzzer.

Realitas ini sungguh menyedihkan, demi kekuasaan dan kepentingan politik,

mentalitas publik dirusak sedemikian rupa. Mereka juga yang menciptakan kegaduhan di ruang publik selama ini dan mengakibatkan publik kita terpecah belah.

Sekarang kakak pembina mendadak sadar, menyatakan para buzzer merusak demokrasi dan kehadirannya sudah tidak diperlukan lagi. Habis manis sepah dibuang. Bagaimanakah nasib para buzzer selanjutnya? Mari kita cermati.

Tabik,

-Dian Umar-

Buzzer-buzzer pro rezim kerap menyerang pihak Oposisi dengan sebutan “Kadal Gurun”. Yang melabeli para Oposisi itu dengan label Arab (gurun).

Namun ternyata “Kadal Gurun” lebih tepat disematkan ke Tiongkok.

Tiongkok punya 5 gurun:

  • Gobi
  • Taklamakan
  • Ordos
  • Badain Jaran
  • Kubuqi

Di 5 gurun itulah banyak kadal gurun.

Salah 1 kadal gurun mashyur dari Tiongkok bernama Tan Tjoe Hong (Edi Tansil)

Satu lagi.. kadal gurun bernama Honggo Wendratno yang gondol 35 Triliun.

Masih pada ingat?

 

sumber: ANIES GUBERNUR DKI (post: Selasa 3/3/2020)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *