Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menyebut, lembaga Earthquake Prediction Research Centre Japan (EPRC) telah mengembangkan teknologi yang memungkinkan kita memprediksi gempa dan tsunami sebagai bencana susulan. Teknologi yang dimaksud adalah gabungan teknologi canggih seperti satelit, radar, GPS sensor dan peralatan pendukung lain seperti pendeteksi gelombang elektromagnetik.
“Di samping itu, dukungan teknologi ini tentu disertai beragam data seperti tinggi muka air. Data yang digunakan berasal dari data yang diperoleh dari satelit milik Amerika Serikat, Rusia, Jerman dan Jepang. Beragam data tadi kemudian diolah dan dianalisis dengan supercomputer artificial intelligence,” ujar Sutopo dalam rilisnya, Jumat (7/4).
Harapan dari pengembangan teknologi ini, lanjut Sutopo, terwujudnya International Surface Artificial intelligence Communicator (ISACO). Nanti, setiap orang yang berada di wilayah rawan bencana akan mendapatkan informasi potensi ancaman gempa. Email peringatan dini dapat diakses melalui smartphone yang memberitahukan satu hari jelang gempa berkekuatan 5 atau lebih terjadi. “Namun demikian, pengetahuan risiko dan kesigapan untuk melakukan evakuasi ke tempat yang lebih tinggi juga sangat penting dipahami setiap individu,” tulisnya.
Analisis dari teknologi yang digunakan menunjukkan hasil yang mencengangkan. Persentase akurasi dalam kurun waktu 3 tahun (1 Februari 2013 – 31 Januari 2016) menunjukkan nilai tinggi. Gempa dengan kekuatan magnitude 6 terjadi 38 kali dan terdeteksi sebelum gempa terjadi sebanyak 31 kali atau akurasi mencapai 82%. Gempa dengan magnitude 5 – 5,9, nilai akurasi sebesar 77%.
Melalui teknologi canggih ini, Jepang telah dapat memprediksi potensi gempa sehingga masyarakat dapat siap siaga mengantisipasi risiko terburuk. Jepang memprediksi gempa besar yang kemudian memicu tsunami. Apabila bencana itu terjadi, 323.000 jiwa di 30 prefektur terpapar bahaya tersebut. Menurut perhitungan EPRC, kutip Sutopo, potensi kejadian berdasarkan data sudah mencapai 80%. Potensi gempa tersebut diperkirakan terjadi karena aktivitas lempeng tektonik Great Nankai Trough.
Peneliti EPRC asal Jepang Shigeyoshi Yagishita mengatakan, 1.400 tahun terakhir, gempa-gempa besar terjadi pada periode 100 – 200 tahun karena lempeng Nankai Trough. “Sudah 70 tahun berlalu, dan kemungkinan gempa besar akan terjadi 30 tahun mendatang dengan kemungkinan 80%,” kata Shigeyoshi sebagai analis citra satelit.
Shigeyosi mengatakan, pihaknya telah mengetahui potensi gempa besar tadi, namun sangat sulit membangun tembok penghalang tsunami setinggi 10 meter di sepanjang kepulauan di Jepang. Potensi gempa besar di Nankai Trough dapat memicu tsunami setinggi 34 meter di wilayah Tosashimizu, Kochi.
EPRC ingin membantu Indonesia karena memiliki karakteristik dimana berada dekat dengan lempeng tektonik. Shigeyoshi menyatakan, pihaknya tidak akan membebankan biaya kepada Pemerintah Indonesia apabila teknologi diterapkan di Indonesia. EPRC memiliki tujuan yaitu menganalisis data besar dan menggunakan teknologi yang dipunyai untuk meminimalkan dampak gempabumi dan berkontribusi untuk menyelamatkan lebih banyak umat manusia di dunia. (zim)