Oleh Agus Wahid *)
Semarak.co – Banyak pengamat dan analis terkecoh. Dikira, sekitar tahun lalu, konflik Israel – Palestina akan segera berakhir dan terkibarkan bendera kemerdekaan Palestina. Karena sederet kekuatan ofensif Israel ke tengah Palestina banyak yang terhempas.
Gagal dan hancur. Pasukan Zionis pun banyak yang frustasi. Mereka menyaksikan kekuatan Palestina yang tidak rasional. Sebagian tampak dalam wajah tentara, yang tiba-tiba muncul dan pergi tanpa diketahui, lalu “menghilang” usai menjatuhkan tank-tank Israel.
Sebagian lagi, dalam bentuk serangan angin yang menghempaskan barisan tentara Zionis itu. Dan sebagian lagi, Allah kirimkan kekuatan api dan temperatur cukup membakar sejumlah wilayah Israel. Sekali lagi, dikira Israel akan menyadari serangkaian kekalahan angkatan perangnya di lapangan.
Lalu, menghentikan agresi dan pendudukannya terhadap bangsa Palestina. Di mata Netanyahu, sejumlah kekalahannya tak pernah dilihat dan dijadikan bahan introspeksi, lalu mengubah sikap politik luar negerinya.
Kekalahannya dinilai tidak berdampak pada penderitaan fisik dan mental rakyat dan para petinggi negeri Zionis itu. Itulah sebabnya, mereka makin bergelora nafsunya: tetap ingin memusnahkan wilayah Palestina dan bangsanya. Sombong dengan kekuatan yang dimilikinya. Yakin menang menghadapi siapapun.
Harus dicatat, Israel gagal mencermati perubahan global. Kecongkakan Zionis yang terus membombardir wilayah Palestina yang menghancurkan sarana dan prasarana serta jiwanya dalam jumlah tak terhitung, telah mendorong arus deras simpati dan empati dunia, dari sejumlah negara Barat, tidak hanya masyarakatnya, tapi para petingginya.
Dan yang lebih krusial dan sangat fundamental adalah adalah sikap Iran. Ketika Iran di bawah rezim Reza Pahlevi, Iran tergolong sekutu Israel. Hal ini tak lepas dari hubungan mesranya dengan AS. Tapi, sejak rezim Iran berganti ke tangan Ayatullah Khumaini dan kini diteruskan Ayatullah Ali Khamenei Iran menjadi negara penting dalam upaya melindungi kepentingan Palestina.
Memang terdapat grafik yang tidak langsung menaik. Masa-masa awal pemerintahan Ayatullah Khumaini lebih memback up kepentingan kaum Hizbullah yang berada di Libanon dan Syiria, yang disinyalir dari kaum Syiah.
Ketika mereka dihajar Israel karena membela Palestina, maka Iran – sebagai negara – tampil. Sifatnya lebih memadamkan emosi Israel atau mengurangi eskalasi konflik di bumi Palestina dan sebagian daratan Tinggi Golan dan Lembah Bika` yang memang menjadi sentra pertemuran.
Namun, mencermati keganasan dan kangkuhan Israel setahun terakhir, Iran mengubah sikap politiknya. Bukan lagi menjaga pertahanan wilayah Palestina tapi melakukan penggempuran ke jantung wilayah Israel.
Diawali dengan Israel menggempur beberapa pusat reaktor nuklir Iran, hal ini memperkuat keputusan politik yang maha dahsyat: Iran yang memiliki persejataan berhulu ledak nuklir dimuntahkan ke berbagai kota strategis di Israel, seperti Tel Aviv dan Haifa.
Sementara, AS yang berusaha membantu Israel dengan lebih dulu menyerang sejumlah instalasi nuklir Iran langsung dibalas: pangkalan militer AS di Qatar dihancurkan. AS pun kehilangan landasan dan persenjataan straregisnya.
Kini, Israel bukan hanya porak-poranda infrastrukturnya, tapi juga mental para pemimpin Israel dan rakyatnya “meraung-raung”, meminta maaf dan memohon-mohon dengan sangat agar perang segera dihentikan. “Please Iran… Stop the war…”, raung warga sipil Israel sembari menangis.
Melalui media sosial tertayang ratusan ribuan warga sipil Israel menyelamatkan diri, keluar dari Tanah yang notabene dijanjikan itu (the promise land). Sebagian mereka pergi ke Cyoprus: memborong tanah, sebagai pengganti tempat tinggalnya yang lebih aman.
Yang menarik adalah, Donald Trump yang telah ambil keputusan serang Iran tanpa persetujuan DPR, kini sedang menghadapi gerakan pemakzulan. Suara pemakzulan semakin gencar sejalan dengan ratusan ribuan masyarakat Amerika pun turun jalan, memadati berbagai jalan utama, termasuk di New York.
Suara demo yang menggema: menolak keterlibatan AS dalam perang Israel – Iran. Dan yang lebih memukau, di negeri Paman Sam ini, jutaan orang warga negara AS meneriakkan “free Palestine, free Palestine…”, dengan ribuan bendera Palestina berkibar di negeri Paman Sam itu.
Yang perlu kita baca, reaksi dalam negeri AS, membuat Trump pun tampak berpikir ulang. Jika meneruskan politiknya pro Israel dan melawan Iran, Trump berhadapan langsung dengan dua kekuatan: DPR dan rakyat. Artinya, dua kekuatan fundamental ini mengancam kedudukan Trump.
Tidak tertutup kemungkinan, Trump akan segera termakzulkan. Jalan atau mandegnya proses politik pemakzulan itu AS tak bisa diharapkan lagi untuk membela Israel. Yang dilakukan hanyalah penggunaan senjata diplomasi: forum Perserikatan Bangsa-bangsa.
Memang, berhasil. Terbukti, forum PBB berhasil mengeluarkan kutukan terhadap serangan Israel. Tapi, sikap politik Ketua Dewan Kamanan PBB, Carolyn Rodrigues Birkett dari Guyana itu pun babak-belur. “Anda menilai serangan Iran melanggar kedaulatan suatu negara dan harus dikutuk.
Bagaimana dengan kejahatan Israel yang puluhan tahun menghancurkan sarana-prasarana wilayah Palestina tanpa henti dan telah mengakibatkan ribuan nyawa melayang tanpa memandang usia dan jender? Please, think fairly and rationally”, tegas salah satu delegasi.
Delegasi dari sejumlah negara Barat pun tergolong senada sikap politiknya. Intinya, tak mau menyalahkan Iran, karena – secara faktual – awalnya Israel memang menyerang Iran lebih dulu. Maka, sudah menjadi hak Iran untuk membela diri, meski akhirnya lebih ofensif dan tak diduga sama sekali.
Dan yang teramat penting, seluruh negara-negara Islam melihat kekuatan riil Iran yang jauh lebih siap untuk melakukan perang terbuka. Dan sama sekali tak gentar meghadapi ancaman Trump. Existing Iran ini memperkuat sikap politik negara-negara Islam yang tergabung dalam Organization of Islamic Co-operation (OIC) pun memberikan dukungan penuh terhadap Iran.
Bahkan, negara-negara OIC pun kian membulat sikap politiknya sejalan dengan sikap politik Rusia, Korea Utara, China dan Pakistan memback up kekuatan tempur Iran, secara persenjataan bahkan personal militernya.
Kekuatan Iran yang kini diback up oleh empat negara pemilik senjata nuklir ditambah kekuatan diplomatik negara-negara OIC di forum internasional membuat Iran kini menjadi penentu konflik. Iran bisa memaksa Israel. Minimal ada dua opsi.
Pertama, Iran akan menghentikan serangan ofensifnya terhadap wilayah Israel jika negeri Zionis itu mengakhiri pendudukannya di tengah bumi Palestina. Meski tidak seluruh wilayah Palestina, tapi – setidaknya – kembali ke wilayah sebelum terjadi Perang 1967 yang membagi dua: sebagian untuk Israel dan sebagian lagi untuk Palestina.
Kedua, jika Israel tetap tidak menarik pendudukannya di tengah Palestina, maka jangan salahkan Iran yang tetap akan membumi-hanguskan seluruh wilayah Israel. Dua opsi tersebut membuat dilema bagi Netanyahu. Dilema itu semakin kuat sejalan dengan Knesset (parlemen) Israel kini sedang mempersiapkan proses politik pembubaran rezim Netanyahu.
Di sisi lain, rakyat Israel juga berdemo massif dan ekstensif yang mengutuk tindakan brutal Netanyahu. Akhirnya kita bisa membaca lebih jauh, ketika suara masyarakat AS makin menggema agar pemerintah Paman Sam tidak melibatkan diri dalam perang melawan Iran.
Di sisi lain, dalam negeri Israel juga mendesak Nenatanyahu untuk siap berdamai dengan Iran, maka di sana akan kita saksikan: pekik kemerdekaan Palestina, berdiri sebagai negara berdaulat. Kemerdekaan Palestina akan berkumandang kerena menjadi prasyarat mutlak perdamaian dan mengakhiri perang.
Dan yang pasti berlangsung adalah, begitu kemerdekaan Palestina bekumandang, banyak negara akan langsung mengakuinya. Banyak negara dari anasir negara-negara Islam, negara-negara Eropa yang sangat terhenyuh dengan penderitaan bangsa Palestina selama ini.
Empatinya akan semakin menampak karena pertimbangan ekonomi strategis. Jika Eropa tidak dukung Palestina, maka Iran akan menutup Selat Hormuz. Jika hal ini terjadi, Eropa bahkan AS akan diperhadapkan krisis energi bahan bakar minyak dan gas.
Sebab, selat tersebut menjadi jalur utama pengiriman bahan bakar minyak dan gas. Kebijkan penutupan Selat Hormuz menjadi malapetaka kegiatan ekonomi dan industri mereka. Sementara, negara-negara Asia Tengah yang mayoritas muslim, negara-netara Asia Timur Jauh dan Asia Selatan dan Asia Tenggara juga akan merespon positif kemerdekaan negara Palestina.
Mereka – secara orkestratik – akan menyambut kemerdekaan negara Palestina. Yang menarik dan insya Allah inilah yang akan terjadi, Palestina yang merdeka tak akan membalas kekejian masa lalu Israel. Terjadilah co-existent di antara dua negara yang saling menghormati eksitensinya sebagai negara merdeka, meski dulu berseteru.
Israel – sebagai negara atau rakyat – tentu menderita. Tapi, itulah risiko negara kalah perang. Meski demikian, masyarakat Yahudi diaspora akan mudah kembalikan infrastruktur yang berpuing-puing itu.
Yang terpenting, sudah saatnya Israel hilangkah keangkuhannya sebagai makhluk uber alles (tas terhebat di muka bumi). Akankah Israel menjadi bangsa yang tawadlu`? Wallahu `alam. Manusia Israel yang angkuh memang karakter bawaannya. Namun, semuanya bisa berubah. Karena keadaan yang memaksa.
Bekasi, 26 Juni 2025
*) Analis politik
Sumber: WAGroup PRMARIN (postKamis26/6/2025/agusw)