Soroti Jalan Berbayar di Jakarta, Ekonom Anthony Budiawan: Ketika Anies Baswedan Jadi Gubernur Tertunda

Ilustrasi untuk rencana penerapan ERP di Jakarta. Foto: internet

Managing Director Political Economy dan Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menyoroti rencana penerapan ERP (Electronic Road Pricing) atau jalan dalam kota berbayar. Utamanya di Jakarta yang mendapat penolakan para penguji ojek online. Menurut Anthony, ERP lebih kejam dari jalan tol bebas hambatan berbayar.

semarak.co-Dalam hal jalan tol, masyarakat mempunyai pilihan apakah akan menggunakan jalan tol atau tidak, karena selalu tersedia jalan alternatif nontol. Tetapi, dalam hal ERP, masyarakat harus melewati jalan berbayar tersebut kalau tujuannya berada di dalam kawasan ERP.

Bacaan Lainnya

“Proyek ERP sudah dilirik sejak lama untuk memalak warga, tetapi tertunda ketika Anies Baswedan naik jadi Gubernur. Sekarang aji mumpung, Penjabat Gubernur yang tidak ada mandat dari rakyat mau hidupkan kembali ERP lagi. Siapa investor dalang semua ini?” cuit Anthony di linimasa Twitter pribadinya, dikutip fajar.co.id, Sabtu (18/2/2023).

Diketahui, Pemerintah daerah (Pemda) DKI Jakarta berencana menerapkan ERP dalam waktu dekat. Sebenarnya wacana ERP sudah didengar jauh sebelum ini. Apakah ini merupakan proyek yang tertunda? Kawasan yang masuk ERP cukup luas, sekitar 25 ruas jalan, mungkin bisa diperluas lagi.

“Tarif ERP juga termasuk mahal, antara Rp5.000 sampai Rp19.000 setiap kali masuk kawasan. Mungkin lebih mahal dari tarif per km jalan tol. Bahkan ada yang bilang tarif ERP bisa dinaikkan lagi, kalau perlu sampai Rp75.000. Luar biasa,” beber Anthony dilansir muslim trend/2023-02-19,08:4211.

Jam operasional ERP juga sangat panjang, tidak tanggung-tanggung, dari jam 05:00 hingga jam 22:00, setiap hari. Apakah benar jam operasional yang panjang ini hanya bertujuan untuk mengatasi kemacetan? Apa ada kemacetan jam 05:00 pagi?

Menurut Pemda Jakarta, beber Anthony Budiawan, tujuan penerapan sistem ERP untuk mengatasi kemacetan Jakarta. Padahal Pemda Jakarta sudah menjalankan sistem ganjil-genap sejak 2016, untuk mengatasi kemacetan Jakarta tersebut. Lalu, kenapa sekarang mau diganti dengan sistem berbayar ERP?

“Apa motif sebenarnya penerapan sistem ERP ini? Apakah hanya untuk pengadaan proyek semata? Untuk siapa? Warga Jakarta menuntut Pemda Jakarta menjelaskan secara transparan apa dasar penerapan sistem ERP,” kutip Anthony.

Pertama, rinci dia, Pemda Jakarta harus menjelaskan bagaimana hasil pelaksanaan sistem ganjil-genap selama ini, apakah sudah ada evaluasi dan kajiannya? Kalau sistem ganjil-genap ternyata gagal mengatasi kemacetan sehingga mau diganti dengan sistem ERP, Pemda Jakarta harus menyatakan secara terbuka kepada publik bahwa sistem ganjil-genap, yang sudah menyusahkan warga Jakarta, sebagai kebijakan gagal.

Menurutnya, selama tidak ada evaluasi dan pernyataan bahwa sistem ganjil-genap gagal, Pemda Jakarta tidak berhak menerapkan sistem berbayar ERP, karena dasar diberlakukannya kebijakan publik ini tidak jelas dan tidak kuat. Terkesan hanya untuk pengadaan proyek saja untuk “memeras” warga.

Kedua, Pemda Jakarta harus menjelaskan siapa investor sistem ERP, apakah Pemda langsung atau ada investor pihak ketiga. Kalau ada investor pihak ketiga, Pemda Jakarta harus menjelaskan bagaimana cara pengadaan sistem ERP tersebut, apakah beli putus atau bagi hasil?

Pemda Jakarta juga harus mengumumkan siapa investor pihak ketiga tersebut. Kalau bagi hasil, berapa untuk investor dan berapa untuk Pemda Jakarta? Kalau bagi hasil, pemberlakuan jam operasional ERP yang sangat panjang tersebut (jam 5:00-22:00) patut diduga untuk menguntungkan investor?

Ketiga, sistem ERP hanya diterapkan di negara maju dengan sistem transportasi sangat baik dan pendapatan (per kapita) sangat besar. Sistem ERP sejauh ini hanya diterapkan di Singapore, Jerman, Swedia, Inggris, dengan pendapatan per kapita pada 2021 masing-masing 72.794 dolar AS, 51.204 dolar AS, 61.029 dolar AS dan 46.510 dolar AS.

Sedangkan pendapatan per kapita Indonesia pada 2021 hanya 4.333 dolar AS. Artinya, Indonesia masuk negara berpendapatan menengah (antara bawah dan atas), sehingga tidak layak menerapkan sistem ERP. Selain juga, sistem transportasi publik Jakarta masih belum baik, masih buruk.

“Jangan sampai ketidakmampuan pejabat Pemda Jakarta dalam mengatasi kemacetan Jakarta, dan kegagalan membangun transportasi publik, dibebankan kepada warga Jakarta dengan cara menerapkan sistem berbayar ERP. Kebijakan publik seperti ini, untuk menutupi kegagalan Pemda Jakarta, tidak boleh terjadi. Maka itu, warga Jakarta wajib menolak solusi mengatasi kemacetan dengan cara berbayar,” jelasnya. (net/eds/faj/mus/smr)

 

sumber: muslimtrend di WAGroup ANIES MAJU UNTUK NKRI (postSabtu18/2/2023)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *