Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyebut tantangan ganda Indonesia adalah pandemic Covid-19 dan perubahan iklim ke depannya. Di tengah dampak COVID-19 pada perekonomian, green recovery akan menjadi pendorong transformasi ekonomi global yang berbasis lingkungan hidup Indonesia.
semarak.co-Untuk itu, kata Menkeu, Indonesia harus dapat mengurangi emisi karbon. Indonesia telah meletakkan fondasi ekonomi hijau dan membuat beberapa kebijakan strategis terkait iklim jauh sebelum pandemi terjadi.
“Krisis akibat pandemi telah berdampak pada krisis kesehatan masyarakat. Karena itu ekonomi hijau yang berkelanjutan sangat penting dan bermanfaat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih baik di masa depan,” kata Sri Mulyani, di Jakarta, Sabtu (17/10/2020).
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 memasukkan perubahan iklim menjadi arus utama dalam strategi Pembangunan Rendah Karbon Indonesia (LCDI) yang lebih luas. Di sisi pembiayaan, pemerintah menerbitkan Sovereign Global Green Sukuk setiap tahun sejak 2018 dengan total USD2,75 miliar.
Anggaran itu dialokasikan untuk membiayai transportasi berkelanjutan, kata dia, mitigasi banjir di daerah yang sangat rentan, akses ke energi dari sumber terbarukan, pengelolaan limbah, dan proyek efisiensi energi di seluruh negeri.
“Proyek-proyek tersebut diharapkan dapat mengurangi sekitar 8,9 juta emisi CO2. Pemerintah juga telah menerbitkan Ritel Sukuk Hijau pertama di dunia pada tahun 2019 dengan total investasi sekitar USD100 juta,” ungkapnya.
Untuk mengatasi pandemi, Sri Mulyani membeberkan, Indonesia mengalokasikan USD47,9 miliar untuk stimulus fiskal mulai dari perlindungan sosial, insentif pajak, dan stimulus untuk usaha kecil dan menengah.
Stimulus juga termasuk pendanaan untuk proyek hijau padat karya seperti proyek restorasi bakau seluas 15 ribu hektar dan mempekerjakan sekitar 25 ribu orang di wilayah pesisir.
Pendanaan iklim menjadi isu besar bagi setiap negara berkembang. Menurut laporan update biennial kedua tahun 2018 menyebutkan bahwa Indonesia membutuhkan setidaknya USD247,2 miliar atau sekitar USD 19 miliar per tahun untuk mencapai target NDC pada 2030.
Berbagai skema kemitraan swasta-publik yang inovatif terus dikembangkan untuk lebih mendukung sektor swasta. Salah satunya adalah pemanfaatan blended finance melalui pembentukan SDG Indonesia One dan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).
“Selain itu, Indonesia telah menetapkan peta jalan keuangan berkelanjutan yang mewajibkan lembaga keuangan untuk meningkatkan portofolionya pada proyek hijau,” ulasnya.
Selain dari pemerintah dan swasta, Menkeu, komunitas internasional juga memainkan peran kunci untuk memobilisasi pendanaan iklim. Untuk mendukung komitmen dan upaya negara berkembang, negara maju harus memperbarui dan memenuhi komitmen penyediaan USD100 miliar per tahun pada 2020 seperti yang dijanjikan pada COP ke-15 di 2009.
Meski demikian, kata dia, Green Climate Fund (GCF) telah menunjukkan komitmennya untuk membantu negara berkembang, termasuk Indonesia, dalam memobilisasi dana untuk proyek iklim.
“Secara khusus, pemerintah mengapresiasi kontribusi GCF untuk Pembayaran Berbasis Hasil (RBP) REDD+ yang baru saja disetujui senilai USD103,78 juta. Dana RBP akan digunakan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan melalui dua kegiatan utama,” terang dia.
Pertama, rincinya, penguatan kesatuan pengelolaan hutan pada restorasi hutan dan kegiatan bisnis yang akan mendorong investasi swasta dalam rantai nilai hasil hutan. Kedua, meningkatkan program perhutanan sosial untuk menjamin mata pencaharian masyarakat sekaligus melestarikan hutan.
Sebagai catatan tambahan, pemerintah telah menjalankan skema perhutanan sosial sejak 2015 seluas 12,7 juta hektar milik masyarakat setempat. Untuk itu, Indonesia mendorong GCF untuk melanjutkan dan meningkatkan kemajuan besar dan memperkuat portofolio investasinya.
Bersama dengan sektor swasta, termasuk bank nasional, Indonesia akan mendorong GCF untuk lebih mengembangkan instrumen pembiayaan inovatif yang dapat mendorong investasi iklim dan mewujudkan pemulihan hijau, tangguh, dan inklusif.
Indonesia, kata Sri Mulyani, dalam menghadapi pandemic Covid-19 tetap teguh pada komitmen iklimnya. “Pemulihan hijau yang inklusif akan membantu Indonesia membangun kembali lebih kuat. Beginilah cara kita harus, dan akan, menangani tantangan ganda COVID-19 dan perubahan iklim,” pungkasnya.(net/pos/smr)