JAKARTA-Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Rudiantara menyatakan, agar negara bisa memiliki daya saing maka ekonomi harus efisien dan digitalisasi adalah kuncinya. Agar target itu tercapai, perlu upaya-upaya yang tidak biasa agar industri telekomunikasi tumbuh sehat. Harga dapat turun, pengguna makin banyak karena tarif makin terjangkau (affordable).
“Selama ini kontribusi dari sektor komunikasi dan informasi menyumbang sekitar 4% dari GDP. Tahun depan mudah-mudahan akan semakin besar. Pada 2020 sekitar 10-12% digital economy akan disumbang sektor digital baik device, network, aplikasi hingga penyiaran digital,” ungkap Rudiantara, dalam rilisnya, Kamis (19/1)
Deputi IV Bidang Koordinasi Ekonomi Kreatif, Kewirausahaan, Daya Saing Koperasi dan UKM Kemenko Ekonomi M.Rudy Salahuddin menyebut, untuk mencapai visi Indonesia sebagai kekuatan ekonomi terbesar digital di Asia Tenggara 2020 fokusnya adalah pada penguatan pelaku usaha lokal. “Sejumlah program prioritas kami siapkan seperti pertumbuhan e-commerce, industri kreatif, keuangan inklusif, UMKM Go Digital dan penguatan perusahaan pemula (start up),” ungkap doktor lulusan George Washington University ini.
Sejumlah tantangan butuh diselesaikan dengan sinergi berbagai pihak seperti meratanya akses internet kecepatan tinggi dan literasi teknologi informasi dan komunikasi agar cerdas memilih dan memilah informasi yang dibutuhkan.
Anggota Wantiknas (Dewan TIK Nasional) Garuda Sugardo, salah satu yang menjadi perhatian pihakny adalah penerapan smart city. “Masalah smart city di berbagai kota di Indonesia adalah perlu ada standar yang disepakati dalam penerapan kota cerdas,”ungkapnya.
Garuda menambahkan kalau dalam pengembangan ekonomi digital, alangkah eloknya bila ada keberpihakan industri pada pengembangan infrastruktur dalam negeri. Sementara dari sisi jaringan, menurut Dany Buldansyah, Deputi CEO sekaligus Sekjen ATSI ada beberapa kendala yang membuat industri telekomunikasi khususnya operator sulit bergerak. “Tingginya biaya infrastruktur dalam memberikan data yang berkuatlitas dan harga terjangkau ke masyarakat,”ungkapnya.
Sedangkan dari sisi penyediaan peranti (device), Lee Kang Hyun, Vice President Samsung Indonesia mengatakan bahwa sinergi dari pemerintah selaku regulator, operator, dan penyedia ponsel seperti pihaknya harus berjalan dengan baik. “TKDN pada 4G mendorong penetrasi 4G hingga mencapai 72% di akhir tahun 2016. Jadi, artinya kini semakin banyak ponsel 4G yang berada di konsumen,” katanya.
Pendapat itu diamini oleh Tjandra Lianto, Marketing Director Advan bahwa pihaknya terus menerus mencari insight dari konsumen untuk memproduksi ponsel sesuai kebutuhan konsumen. “Ekosistem digital harus diciptakan dengan citarasa lokal dan membumi,” katanya.
Dari sisi kebijakan, menurut M.Syarkawi Rauf, Ketua KPPU, pihaknya menggarisbawahi bahwa di industri telekomunikasi tarif atau harga ke konsumen jadi sinyal apakah industri punya kecenderungan praktek-praktek bisnis yang melanggar aturan. “Concern kami saat ini yang harus diselesaikan adalah tarif interkoneksi, tarif off-net, frekuensi and network sharing,” ungkapnya.
Tentang sinergi industri telekomunikasi ini, pendapat Agus Pambagio, pengamat kebijakan publik adalah bagaimana mendorong PP 52 dan 53 segera disahkan karena tata kelola teknologi telekomunikasi saat ini tidak dapat didekati dengan aturan yang lama. “Perlu didorong ke pemerintah agar PP ini segera disahkan,” tandasnya.
Dalam pandangan Nonot Harsono, akademisi sekaligus Chairman Mastel Institute network sharing dalam sebuah bisnis telekomunikasi adalah keniscayaan.”Yang perlu dibutuhkan sekarang adalah competitive culture yang memungkinkan industri telekomunikasi bergerak dinamis di masa depan,” ujarnya. (lin)