Oleh Hariadhi *)
semarak.co-Di banyak Whatsapp Group, santer terdengar gosip bahwa konsultan Bongbong Marcos, yang berhasil menghidupkan kembali dinasti Marcos di Filipina dihire kembali di Indonesia. Kabar ini kemudian dibantah oleh Menteri Kominfo yang juga secara aktif mengkampanyekan Prabowo, Budi Arie Setiadi.
Entah betul atau tidak, namun perjalanan hidup Prabowo Subianto memang agak mirip dengan Ferdinand R Marcos, nama aslinya. Jika Prabowo adalah menantu Soeharto, presiden yang begitu dibenci akibat represi dan korupsi pada masa Orde Baru, maka Bongbong adalah anak dari Ferdinand Marcos, diktator Filipina yang tumbangnya 12 tahun mendahului Soeharto.
Terpilihnya Bongbong memang mengejutkan. Dianggap sebagai musuh demokrasi, Bongbong juga awalnya banyak diragukan karena resistensi atas keluarganya dianggap besar. Namun ia berhasil membalikkan keadaan.
Salah satu kunci kemenangannya diperkirakan karena pemilih pemula, yang menjadi mayoritas, sudah melupakan sejarah kediktatoran Marcos. Selain itu, timnya secara efektif melakukan disinformasi untuk membantah sejarah kekejaman ayahnya pada era 80an.
Merekrut konsultannya atau tidak, apa yang dilakukan Tim Prabowo memang agak mirip. Polesan terhadap citra Prabowo dilakukan secara ekstrim. Dari awalnya meledak-ledak dan pemarah, kini Prabowo ditampilkan dengan citra santuy, santun, dan gemoy.
Pendukungnya cenderung menghindari debat di media sosial dan secara searah konsisten mengkomunikasikan citra baru ini. Prabowo dan Gibran juga beberapa kali menolak atau membatalkan rencana diskusi publik untuk menguji kapasitasnya, sesuatu yang juga dilakukan Bongbong saat Pilpres Filipina tahun 2022.
Wakilnya, Sara Duterte, juga anak dari Presiden sebelumnya, Rodrigo Duterte, yang makin menguatkan dugaan kita bahwa memang kubu Prabowo berusaha meniru strategi Bongbong, karena juga memilih Gibran, anak dari Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo.
Tapi apakah memang jurus jiplakan yang sama akan berhasil di Indonesia? Kita perlu memperhatikan bahwa sistem pemilu di Filipina jauh berbeda dengan yang diterapkan di Indonesia. Filipina menerapkan sistem electoral alias perwakilan suara, mirip dengan yang diterapkan di Amerika Serikat.
Selain itu Filipina tidak mengenal sistem dua putaran. Selagi seorang kandidat berhasil unggul dibanding calon lain, walaupun tidak mendapat suara mayoritas, maka ia langsung terpilih. Selain itu, Wakil Presiden dipilih secara terpisah, sehingga siapapun Calon Wakil Presidennya, tidak bisa mempengaruhi elektabilitas Calon Presiden.
Ini membuat suara pesaing Bongbong, langsung hangus. Walaupun resistensi atas pencalonan Bongbong besar, namun suara terpecah-pecah ke banyak kubu, baik ke pesaing terdekatnya, mantan Wakil Presiden Leni Robredo, eks petinju kelas dunia Manny Pacquiao, hingga Isko Moreno, walikota Manila, dan lainnya. Jika ditotal, ada 10 kandidat presiden di Pemilihan Presiden Filipina 2022.
Padahal jika bersatu, maka total kekuatan mereka akan secara signifikan bisa mengimbangi Bongbong. Ketiadaan putaran dua, dan langkah Leni mencalonkan diri sebagai Capres Independen, walau ia sebenarnya Ketua Umum Partai Liberal, membuat mesin politiknya sulit bergerak secara sinkron dan menciptakan aliansi yang kuat untuk mengimbangi UniTeam yang dikomandoi partai Bongbong, PFP.
Sebaliknya Marcos Jr dan Sara Duterte, mampu bersatu dan secara efisien dan efektif mengomandoi partai masing-masing sebagai Ketua Umum. Situasi yang mungkin mirip dengan Prabowo Subianto yang menjadi Ketua Umum Gerindra. Masalahnya, Gibran bukanlah Ketua Umum sebuah partai.
Ia justru harus mengundurkan diri dari PDIP sehingga akan kehilangan banyak pendukung tradisional. Langkah tambalan mungkin dilakukan dengan mengangkat adiknya, Kaesang, sebagai Ketua Umum PSI. Namun PSI jelas bukan pemilik suara yang signifikan. Walaupun strategi Baliho massal sudah dikerahkan PSI, namun di mayoritas survei suara PSI masih belum bisa melewati batas parlimentary treshold.
Jika memang benar kubu Prabowo Gibran ingin meniru habis-habisan langkah Bongbong – Duterte, maka tindakan nekad mungkin bisa dilakukan dengan mengangkat Gibran menjadi ketua partai secara instan, menyusul Kaesang. Golkar bisa menjadi pilihan bagus, karena punya sejarah panjang kedekatan dengan Jokowi.
Namun tampaknya ini akan sulit dilakukan, karena resistensinya di Golkar malah akan membesar, karena akan terhalangi oleh loyalis Airlangga maupun kader lainnya yang juga berambisi memegang komando Golkar. Dari segi citra maupun track record personal, Prabowo dan Gibran juga tidak bisa disamakan begitu saja dengan Bongbong dan Sara Duterte.
Bongbong punya pengalaman panjang di jabatan politik. Ia sudah terbukti cemerlang sebagai anggora DPRD Ilocos Norta dan Senat Filipina yang cemerlang menyusun Undang-Undang yang berguna bagi rakyat Filipina pada kurun waktu 2007 hingga 2016.
Sebagai eksekutif, ia juga teruji menjadi Wakil Gubernur dan selanjutnya Gubernur pada kurun waktu 1983 hingga 2007. Sara Duterte juga tidak bisa dicocoklogi dengan Gibran. Sungguh pun ia juga sebelumnya menjadi Walikota, perjalanan karir politiknyacukup panjang.
Ia mulai menjabat Wakil Walikota Davao pada tahun 2007 dan pada tahun 2010 hingga 2022 ia masih konsisten menjadi Walikota, menggantikan bapaknya yang juga dulu Walikota di sana. Perjalanan selama 15 tahun tentu tidak bisa dibandingkan dengan proses pengkarbitan Gibran yang hanya 2 tahun menjabat lalu langsung lompat jadi Cawapres.
Yang menarik, Sara tidak bisa dianggap mendapat “hadiah” dari bapaknya. Ia menolak mencalonkan diri sebagai Walikota Davao pada tahun 2013 justru untuk melapangkan jalan Rordigo Duterte untuk terpilih kembali. Barulah setelah pemilihan 2016, bapaknya menjadi Presiden, ia kembali mencalonkan diri.
Jadi posisinya terbalik, justru Rordigo Duterte yang banyak terbantu oleh anaknya yang mandiri secara politik. Dalam kurun waktu pembuktian sepanjang ini, Bongbong secara konsisten memperlihatkan citranya dengan personality yang cerdas, tenang, bicara tidak banyak namun terstruktur, dan bekerja efisien.
Beda pendekatan dengan citra Prabowo yang tidak konsisten. Apa yang dilihat sebagai sosok pemimpin yang berkharisma, memang terbukti dengan tindakan-tindakannya. Ini juga berbeda dengan Prabowo yang di media sosial tampil gemoy, namun di bawah pendukungnya tetap aktif melakukan strategi agresif memecah belah dan mengadu-domba.
Beda pula dengan Gibran, Sara tidak menampilkan sosok pendiam. Ia berkomunikasi secara agresif. Ia tercatat pernah memukul, Abe Andres, hanya karena permintaannya proses penggusuran sebuah bangunan bersejarah ditunda karena akan digugat lewat jalur hukum.
Ia juga vokal menyatakan diri sebagai korban perkosaan di masa lalu dan secara terbuka menyatakan dirinya bagian dari komunitas LGBT, melawan bapaknya yang keras menentang praktik LGBT. Saat ditertawakan sebagai “Drama Queen” oleh bapaknya sendiri, ia muncul di media untuk memprotes tindakan menjadikan korban pelecehan seksual sebagai bahan olok-olok.
Dengan pendekatan komunikasinya yang frontal, Sara memiliki approval rating jauh lebih tinggi dari Rodrigo, sementara Gibran digadang-gadang justru dengan menggantungkan kepada approval rating Jokowi, bukan kepuasan rakyat Solo sendiri. .
Merujuk kembali kepada perbedaan sistem pemilihan di Indonesia dan Filipina, ketidak konsistenan ini diperkirakan terjadi karena kekhawatiran pendukung sebelah bahwa kubu Anies dan Ganjar akan menyatu di putaran dua, yang bila memang terbukti terjadi, maka jelas paduan suara keduanya akan mengalahkan suara Prabowo yang tidak juga menunjukkan hasil survei meyakinkan bisa menang satu putaran.
Satu-satunya yang menyatakan elektabilitas Prabowo di atas 50 persen hanyalah VoxPopuli, yang secara tegas dinyatakan oleh VoxPol Center Research and Consulting, anggota yang secara resmi tercatat di Persepi berdasarkan catatan 2020, bukan bagian dari mereka. Untuk alasan ini, kita bisa meragukan klaim VoxPopuli bahwa Prabowo berpeluang menang satu putaran.
Kembali kepada pertanyaan, mungkinkah strategi kubu Prabowo, yang terlihat membayangi jurus Bongbong, dikalahkan? Jawabannya adalah dengan memahami dan mengkomunikasikan kepada relawan, beberapa perbedaan mendasar yang membuat pola tersebut tidak bisa memberikan hasil yang sama.
Saya menekankan kepada kata MUNGKIN di dalam judul, untuk mengingatkan kita bahwa skenario ini baru bisa berhasil jika kondisi ini bisa dipahami dan dilakukan kedua pihak, pendukung Anies dan Ganjar bisa mengenyampingkan egonya masing-masing.
Prabowo mungkin bisa menang, bila dua kubu yang menentangnya, gagal bersatu dan malah sibuk saling serang sehingga merugikan peluang mereka untuk menang. Dalam keadaan ini, perjuangan Ganjar dan Anies hanya akan jadi bahan tertawaan.
Dan satu catatan yang perlu diperhatikan, faktor utama kekalahan Leni Rodrigues adalah pendukungnya yang dianggap barbar mencaci-maki pendukung lawan, sehingga akhirnya Bongbong justru mendapat simpati.
Namun jika memang fokus utama perjuangan di Pilpres 2024 ini adalah mengalahkan politik dinasti, dan pendukung Anies dan Ganjar sama-sama bisa diyakinkan untuk tujuan tersebut, maka masih terbuka lebar kemungkinan keduanya akan menyatu dan bekerjasama untuk mengalahkan Prabowo.
Indonesia bukanlah Filipina. Pemilih kita jauh lebih cerdas dan punya keberanian untuk melawan kembalinya pemerintahan otoriter dari masa lalu. Kita harus buktikan pujian dunia internasional bahwa praktik demokrasi Indonesia adalah yang terbaik di dunia.
Jakarta, 25 November 2023
sumber: WAGroup Keluarga Alumni HMI MPO (postMinggu26/11/2023/abdul)