Cara Kerja Buzzer di Indonesia Sebarkan Disinformasi untuk Serang Oposisi

Buzzer kerap menyebarkan disinformasi untuk menyerang dan menyudutkan oposisi atau pihak tertentu. Foto: Istockphoto/ipopba di cnnindonesia.com

Buzzer atau pendengung kerap kali bekerja dengan cara menyebarkan disinformasi untuk menyerang dan menyudutkan pihak oposisi atau pihak tertentu. Disinformasi telah menjadi bisnis bahkan industri tersendiri.

semarak.co-Analis media sosial sekaligus pendiri Drone Emprit Ismail Fahmi mengatakan, merujuk pada laporan dari Oxford University terdapat beberapa metode yang dilakukan oleh buzzer dalam bekerja. Menurut laporan tersebut negara di dunia menggunakan buzzer atau akun bot dengan tiga jenis bot.

Bacaan Lainnya

“Disinformasi itu sudah menjadi bisnis, bahkan industri. Ini laporan terbaru tahun 2020,” kata Ismail dalam webinar yang diadakan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Muhammadiyah, Kamis (30/9/2021) seperti dilansir CNN Indonesia.com | Jumat, 01/10/2021 03:33 WIB.

Pertama automated account atau akun yang dibuat dengan pemrograman. Kedua, human-curated accounts atau ratusan akun yang dikelola oleh satu orang, dan ketiga stolen or impersonate account atau akun seseorang yang dibajak untuk menyebarkan konten yang mendukung kepentingan buzzer.

“Ini kalau saya lihat dari laporan itu Indonesia hanya ada di automated account dan human-curated accounts. Buzzer bekerja dengan menggunakan disinformasi untuk menyerang oposisi atau dengan menyerang akun yang aktif dengan memberikan informasi tandingan,” papar Ismail.

Kemudian di sini juga ada polarisasi. Contoh polarisasi yang paling jelas itu apa? “Cebong, kampret. Penggunaan istilah-istilah itu merupakan labelling jadi dipolarisasi, dipisahkan dengan memberi label-label itu. Indonesia mengalami semuanya,” ujarnya.

Selain itu, Ismail juga mengatakan bahwa tim buzzer tersebut berbentuk temporer, artinya tidak pasti atau berubah-ubah sesuai dengan pesanan pihak yang membayarnya. “Artinya temporer itu sekarang dia mendukung calon A, bisa jadi nanti mendukung calon B, bisa saja terjadi, yang penting ada duit,” imbuh Ismail.

Lebih lanjut, berdasarkan pengamatan Ismail pada pemilihan presiden 2019 lalu terdapat banyak kelompok buzzer yang terkoordinasi dalam kelompok-kelompok kecil. Kemudian koordinasi tersebut juga terdesentralisasi atau tidak dalam satu titik yang sama.

Ismail menyimpulkan bahwa ada upaya disinformasi yang sudah diindustrialisasi sehingga semakin lama buzzer dapat bekerja semakin profesional. Hasilnya, kini mereka dapat dipesan atau bekerja sama dengan pemerintah, partai politik ataupun perusahaan untuk membangun disinformasi yang lebih kuat. (net/cnn/smr)

 

sumber: cnnindonesia.com di WAGroup Keluarga Alumni HMI MPO (post Jumat 1/10/2021/mhatta)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *