Oleh Henri Subiakto *)
semarak.co-Jangan meremehkan kemarahan rakyat. Jangan kecilkan kemarahan mereka yang turun ke jalan. Jangan pula mengabaikan mereka yang teriak di media sosial. Memang tidak semua rakyat ikut unjukrasa turun ke jalan di berbagai kota, tapi sesungguhnya pikiran dan hati mereka yang marah itu dirasakan pula oleh sebagian besar rakyat yang ada.
Mereka banyak yang muak melihat kemunafikan elit politik di negara ini. Rakyat melihat dan merasakan secara nyata, keadaan hukum dan politik di negara kita, telah direkayasa dibuat mendahulukan kekuasaan keluarga penguasa.
Mereka bicara seolah apa yang sedang terjadi itu demi kemajuan dan kebaikan bangsa. Padahal sebenarnya Rakyat bisa melihat dan merasakan, bahwa cita cita negara dan bangsa untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, justru menjadi makin jauh dari fakta.
Negara yang dalam kultur Jawa dimaksudkan untuk mewujudkan keadaan “toto titi tentrem, gemah ripah loh jinawi” atau negara yang aman, adil dan makmur. Ternyata di tangan kekuasaan Presiden yg oleh Bahlil disebut “Raja Jawa”, keadaannya justru serba penuh kepalsuan.
Ini wujud tampilan Raja palsu. Aslinya lebih cocok disebut “kéré munggah balé”. Perilakunya palsu. Bukan berdasar filsafat Jawa yang hendaknya “adil poromarto” (adil bagaikan mengalirnya air di muka bumi). Malah perilakunya pongah, “adigang adigung adiguno”.
Yaitu menunjukkan kekuasaannya lewat penggunaan kekuatan aparat negara. Menunjukkan kekuasaan dengan penggunaan kekuatan anggaran negara. Membiayai dan menggunakan influencer dan buzzer. Semua dimanfaatkan untuk kepentingan, kemulyaan, yang terkait kekuasaan pribadi dan keluarganya.
Ucapan di bibir berbeda dengan perbuatan yang nyata. Tampilan di muka, berbeda dengan kenyataan di belakangnya. Bicara pembangunan negara, tapi ternyata ada kepentingan untuk oligarki, kroni, dan keluarganya.
Padahal mereka bisa berkuasa karena adanya sistem demokrasi dan oportuniti yang adil, tapi keadaan itu justru dirusak, dan diacak acak. Konstitusi dan regulasi diabaikan, bahkan diubah, direkayasa dengan politik tanpa etika.
Semua itu ditujukan tak lain untuk agenda politik memuluskan dinasti kekuasaan anak anaknya, yang sesungguhnya tidak sesuai aturan yang ada. Rakyatpun marah. Mahasiswa marah. Kampus kampus marah.
Orang orang waras dan prihatin pada kerusakan negara ini marah. Mereka yg marah berasal dari rakyat biasa, seniman, sastrawan, hingga orang2 pergerakan. Hati hati jangan abaikan kekecewaan dan kemarahan rakyat. Kemarahan kemarahan yang tidak akan hilang.
Bisa saja tensinya surut karena orang harus juga bekerja mencari nafkah dan beraktivitas. Namun apabila ini diremehkan dan diabaikan penguasa. Tak mustahil bisa menjadi ledakan kemarahan rakyat yang tak terbayangkan.
sumber: WAGroup Ajang Diskusi (postSelasa27/8/2024/sriwahyono)