Oleh Shamsi Ali Al-Kajangi *)
semarak.co-Di sebuah WA group terjadi perdebatan tentang pelaksanaan Pemilu, khususnya Pilpres kali ini. Walaupun ada yang mencoba memoles dengan polesan warna-warni pujian yang menggelikan, kenyataan dan fakta di lapangan tidak bisa ditutupi. Ragam fakta di lapangan menunjukkan bahwa Pilpres kali adalah Pilpres yang terburuk dalam sejarah Indonesia.
Penilaian ini tidak ada kaitannya dengan dukungan pada Capres-Cawapres tertentu, tapi lebih kepada penilaian rasional yang didasarkan kepada berbagai realita yang ada yang tanpa malu-malu lagi menginjak-injak aturan dan etika yang seharusnya dijunjung tinggi bersama.
Kali ini saya sampaikan tujuh fakta yang menjadi alasan penting kenapa Pemilu, khususnya Pilpres, kali ini sangat buruk. Pertama, keterlibatan kekuasaan dengan cawe-cawe Presiden bahkan jauh sebelum proses-proses Pilpres dimulai. Grasak-grusuk yang diperlihatkan secara terbuka oleh Presiden (penguasa) jelas secara etika sangat memuakkan.
Akibatnya sebegitu banyak pihak yang dikorbankan, termasuk mereka yang merasa akan dicawapreskan ketika itu. Puncak dari cawe-cawe dan keterlibatan presiden (penguasa) ini adalah friksi yang terjadi antara presiden dan partai pengusungnya (PDIP).
Kedua, cawe-cawe presiden tidak terhenti dengan keinginannya mendukung pengganti yang dianggap loyal dan melindungi kepentingannya. Yang runyam lagi adalah ambisi Presiden untuk melanjutkan kekuasaan melalui proses yang sangat tidak etis. Terjadi nepotisme dengan mengangkangi (mengubah) perundang-undangan.
Semua ini melahirkan berbagai prilaku nepotis yang melibatkan seorang ayah, paman/adik ipar dan anak. Akibatnya terlahirlah (saya biasa menyebutnya eborsi paksa) Cawapres yang merendahkan nurani dan akal sehat.
Ketiga, keterlibatan presiden dengan sendirinya banyak melibatkan elemen-elemen negara, termasuk ASN, kepala desa, camat, bupati/walikota, hingga ke gubenur dan para menteri. Bahkan termasuk kepolisian dan TNI dengan pengakuan netralitàs telah terbukti banyak melakukan keberpihakan itu.
Keempat, keterlibatan kekuasaan/negara (presiden) dalam mendukung paslon tertentu, dengan sendirinya terjadi penggunaan fasilitas negara untuk paslon tertentu. Hal yang santer kita lihat adalah penggunaan bantuan sosial (bansos) atas nama presiden yang mendukung paslon tertentu.
Belum lagi Capres atau Cawapres yang masih menjabat (menteri) pastinya sulit membedakan antara kampanye atau kegiatan kementrian. Karenanya Capres/Cawapres yang menjabat mestinya secara total cuti atau sekalian mundur.
Kelima, dukungan para pemilik modal atau oligarki secara terbuka dengan dukungan finansial yang tidak teregulasi secara jelas. Akibatnya bantuan-bantuan kampanye politik seringkali terikat dengan kepentingan para pemilik modal dan oligarki. Ini menambah runyamnya bagi pejabat untuk menegakkan etika dalam berpolitik.
Keenam, yang juga terburuk dan berbahaya sesungguhnya adalah sejak lama upaya penjegalan kepada warga tertentu untuk dapat maju menjadi calon. Kenyataan ini jelas menjadi ancaman masa depan bangsa, negara dan demokrasi yang pastinya menjamin hak setiap warga negara dalam hak politiknya (memilih dan dipilih).
Ketujuh, upaya penjegalan kepada warga negara untuk maju ke kontestasi Capres ini terus terjadi dengan berbagai tekanan kepadanya pasca-lolosnya menjadi Capres-Cawapres. Tekanan dan penjegalan kampanye paslon tertentu terus terjadi secara terbuka dan tanpa malu-malu (shamelessly).
Hal yang kita saksikan paling terakhir juga terjadi di Yogyakarta. Inilah beberapa alasan penting kenapa Pemilu, khususnya Pilpres kali ini dianggap sangat buruk. Belum lagi berbagai indikasi bahwa pada Pilpres kali ini akan terjadi kecurangan yang masif, sistimatis, bahkan sistemik dan didukung oleh kekuasaan dan dana besar.
Tentu harapan kita bahwa bangsa (rakyat) Indonesia semakin pintar dan dapat memahami arah perjalanan bangsa ke depan. Masanya bangsa Indonesia sadar dan bangkit bahwa berbagai propaganda pembangunan selama ini ternyata hanya polesan politik yang tidak menjadikan hidup mereka lebih baik.
Karenanya perubahan menjadi kebutuhan mendesak bangsa menuju ke arah yang lebih baik. Ke arah kemakmuran dan keadilan untuk semua. Dengan perubahan, insya Allah Indonesia akan menjadi “baldatun thoyyibatun wa Rabbun Ghafur. AminAjaDulu
New York, 23 Januari 2024
sumber: pedomankarya.co.id, Kamis, 25 Januari 2024 di WAGroup