Lembaga survei yang tergabung dalam Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) dan dua lembaga survei dari Asosiasi Riset Opini Publik (AROPI), diduga telah membohongi publik dan Tim Kampanye Nasional (TKN).
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) sekaligus Direktur Riset Indomatrik, Husin Yazid mengatakan, sejak enam bulan lalu hasil survei 10 lembaga survei itu selalu menempatkan pasangan capres-cawapres Joko Widodo-Ma’ruf Amin memiliki elektabilitas di 55-60 persen.
Itu artinya mengungguli pasangan calon (paslon) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang elektabilitasnya berkisar 30 persen. Menurut Husin, delapan lembaga survei dari Persepi adalah LSI, Charta Politika, Populi Center, SMRC, Indikator, Indobarometer, Cyrus Network dan Poltracking.
Sedangkan dua lembaga survei dari AROPI adalah LSI Denny JA dan Alvara Research Center. Husin mengungkapkan, indikasi pembohongan publik itu bisa terlihat saat Pilgub DKI Jakarta 2017 lalu.
“Saat itu, lembaga survei yang tergabung dalam Persepi secara beramai-ramai mengunggulkan pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat dengan tingkat elektabilitas rata-rata 50-60 persen,” ungkap Yazid, di kawasan Jalan Sabang, Menteng, Jakarta Timur, Rabu (20/02).
Sedangkan LSI Denny JA dan Alvara Research Center, kutip Yazid, merilis hasil survei bahwa Agus Harimurti Yudhoyono-Sylvana Murni unggul dari dua pasangan lainnya dengan elektabilitas 50-60%.
Bahkan berpotensi memenangkan Pilgub DKI dengan satu putaran. “Namun faktanya, hasil survei Puskaptis dan Median (Media Nasional) yang benar karena memenangkan Anies-Sandi dengan dua putaran,” ujar Yazid dilansir radarnonstop.co.
Husin berpendapat, berkaca dari hasil Pilgub DKI 2017, sejumlah lembaga survei harusnya intropeksi sebelum melakukan survei Pilpres 2019. “Harusnya lembaga survei yang surveinya meleset jauh waktu Pilgub DKI 2017 juga diperiksa Dewan Etik yang salah satu anggotanya bernama Hamdi Muluk,” tegasnya.
Dengan hasil survei yang meleset jauh waktu Pilgub DKI 2017, menurut Husin, sejumlah lembaga survei itu artinya tidak memiliki kredibilitas alias abal-abal. (lin)
sumber: wartatera.com