Ketua Institut Harkat Negeri (IHN) Sudirman Said mengajak semua pihak untuk mengkaji kembali konsep kepemimpinan nasional pasca pemilihan umum (Pemilu) 2024. Pasalnya, syarat jadi pemimpin nasional atau Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam Pasal 169 UU Pemilu, terlalu longgar dan tidak mencakup aspek kualitatif.
semarak.co-Syarat kepemimpinan yang terlalu longgar itu membuat siapa pun seolah diperbolehkan masuk ke arena kontestasi tanpa saringan yang ketat. Sudirman merasa hal itu sangat ironis ketika untuk menjadi pemimpin perusahaan yang sifatnya mikro saja butuh berbagai persyaratan ketat.
“Kriteria yang terlalu normatif dan administratif, tidak diperkuat dengan aspek kualitatif menyebabkan saringan begitu longgar. Nyaris setiap orang yang tamat SLTA atau SMA dapat memasuki arena kontestasi pemilihan pimpinan tertinggi negara,” sindir Sudirman di Jakarta, Minggu (17/3/2024).
“Syarat di perusahaan saja, jadi CEO punya syarat ketat dan rumit. Itu sektor mikro satu institusi, sementara memimpin negara syarat masuknya sangat longgar. Kalau standard dan pola rekrutmen pemimpin tertinggi saja sudah begitu, lantas bagaimana dengan yang lain?” ujar Sudirman yang juga Co-Captain Timnas AMIN.
Sudirman pun menyinggung mekanisme pemilu yang mensyaratkan kemenangan kandidat capres-cawapres hanya berdasarkan angka membuat kualitas demokrasi semakin buruk. Disamping saringan yang terlalu longgar, cara memilih hanya berdasarkan angka, 50% plus 1.
“Juga membuat siapa pun yang bisa ‘membeli’ pemilih dapat maju dalam kontestasi. İni yang menyebabkan pemilu hari ini disebut pemilu terburuk,” tutur Sudirman dilansir onlineindo.tv, 3/17/2024 10:25:00 PM dari artikel asli inilah.com.
Ketika syarat kepemimpinan tertinggi bangsa longgar, akan berakibat pada degradasi kepemimpinan di lapis kepemimpinan berikutnya hingga ke bawah. “Maka tidak heran, pengingkaran pada etika, norma hingga ilmu pengetahuan menjadi wajar karena buruknya kualitas kepemimpinan kita,” ucapnya. (net/onl/smr)