by Tarmidzi Yusuf, Pengamat Politik Islam
semarak.co -Gonjang ganjing ekonomi Indonesia tahun 2020 menghadapi situasi serba tak menentu. Ada tiga isu utama yang akan menjatuhkan rezim Jokowi. Isu ekonomi, hukum dan korupsi.
Pasca dicabutnya status Indonesia sebagai negara berkembang menjadi negara maju oleh AS diprediksi bakal menambah sulit ekonomi Indonesia yang sebelumnya sudah sulit. Pajak ekspor semula 5% menjadi 20% pasca dicabutnya status negara berkembang.
Ekspor Indonesia akan mengalami goncangan luar biasa akibat naiknya tarif pajak ekspor oleh AS. Ekspor melambat berdampak pada masalah ekonomi dan sosial.
Menurut data BPS pada September 2019, ekspor RI ke AS hanya mencapai nilai 1,48 miliar dollar AS, turun 7,09 persen atau 113 juta dollar dibandingkan pada Agustus 2019. Pasca dicabutnya insentif pajak ekspor Indonesia oleh AS diprediksi ekspor Indonesia ke AS akan jeblok.
Goncangan ekonomi Indonesia berdampak pada stabilitas politik Indonesia. Jokowi makin terancam oleh memburuknya ekonomi global dan domestik. Peristiwa 1998 diprediksi akan terulang kembali.
Besarnya penolakan rakyat terhadap omnibus law RUU cipta kerja yang dituding sebagai upaya mengkudeta hukum Indonesia bakal muncul gelombang besar menuntut DPR untuk tidak mengesahkan omnibus law RUU cipta kerja yang sebelumnya bernama RUU cipta lapangan kerja alias RUU cilaka.
Apalagi omnibus law RUU Cipta Kerja disusun secara diam-diam dan terkesan dipaksakan mengundang kecurigaan publik. Ada agenda apa dibalik omnibus law.
Isu korupsi yang sudah gila-gilaan terkesan ‘dilindungi’ bahkan ditutup-tutupi. KPK makin tak berdaya. Mega skandal jiwasraya, asabri dan omnibus law bakal menggelinding menjadi isu besar ketika isu ekonomi menjadi klimaks. Krisis ekonomi memaksa Jokowi turun tahta.
Ada beberapa skenario saat Jokowi dipaksa mundur oleh situasi memburuknya ekonomi Indonesia.
Skenario pertama, skenario normatif jika Presiden berhalangan tetap, maka otomatis Wakil Presiden menggantikan sampai masa jabatan habis (UUD 1945 pasal 8 ayat 1).
Skenario ini dapat terlaksana bila kondisi normal tanpa gejolak politik. Apalagi Ma’ruf Amin bukan dan tidak punya posisi strategis di partai. Beda posisi Habibie pada 1998 dengan posisi politik Ma’ruf Amin saat ini. Sulit diterima oleh partai politik. Posisi bargaining Ma’ruf Amin yang lemah menyulitkan skenario ini diterima semua pihak.
Lemahnya kiprah Ma’ruf Amin dapat kita lihat. Salahsatunya kasus Yudian Wahyudi. Untuk menghentikan pelecehan Islam oleh Yudian Wahyudi pun tak mampu. Apalagi menghadapi gejolak politik pasca lengsernya Jokowi.
Skenario kedua, Presiden dan Wakil Presiden dituntut mundur secara bersama-sama maka menurut UUD 1945 pasal 8 ayat 3 pelaksana tugas kepresidenan adalah triumvirat menteri, yaitu Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan.
Dalam tempo selambat-lambatnya 30 hari MPR memilih Presiden dan Wakil Presiden baru yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Skenario kedua kuat dugaan pasangan yang akan muncul adalah yang diusung koalisi PDIP dan Gerindra dengan total suara 31,9% yang terdiri dari PDIP 19,33% dan Gerindra 12,57%, yaitu Prabowo Subianto – Puan Maharani. Butuh 19,1% untuk memenangi pemilihan di MPR.
Sementara partai lain yang diprediksi yang akan mengusung calon selain Prabowo – Puan adalah NasDem yang memiliki kursi 9,05%.
‘Ketegangan’ politik antara Megawati dan Surya Paloh pasca pilpres hingga hari ini ditengarai sebagai sebab sulitnya bersatu kembali antara PDIP dan NasDem. Adanya perbedaan dan agenda politik diantara keduanya menyebabkan Megawati dan Surya Paloh pecah kongsi.
Selain ketiga partai tersebut kemungkinan akan merapat pada salahsatu koalisi yang ada dan kecil kemungkinan terbentuknya poros baru. Dengan bergabungnya PKS, PAN dan PPP dengan total suara 19,57% otomatis Prabowo – Puan akan menang lebih dari 51% belum termasuk 136 kursi DPD atau sekitar 19%. Prediksi suara DPD akan terpecah.
Skenario ketiga, mirip seperti peristiwa 1998. Terjadi chaos berkepanjangan sehingga Jokowi sebagai Presiden mengeluarkan semacam super semar atau Inpres 1998 tentang Panglima Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional yang diberikan Soeharto kepada Wiranto.
Gonjang ganjing ABRI ketika itu diprediksi Wiranto tidak ‘berani’ menggunakan Inpres 1998 seperti Soeharto menerima super semar dari Soekarno.
Mungkinkah Jokowi saat terdesak menerbitkan hal serupa seperti Soeharto pada 1998? Inpres bukan kepada Panglima TNI melainkan perintah pemulihan keamanan kepada KSAD Jenderal Andika Perkasa kecuali ada pergantian Panglima TNI oleh Andika Perkasa dalam beberapa bulan ke depan.
Dalam 7 masa kepresidenan Indonesia, 3 presiden turun di tengah jalan dan 3 presiden lagi tuntas hingga masa jabatan berakhir.
Soekarno misalnya, jatuh setelah ada peristiwa pemberontakan G 30 S/PKI. Sementara Soeharto berhenti di tengah jalan setelah kondisi politik dan ekonomi memaksa Soeharto turun. Terakhir, Abdurrahman Wahid lengser akibat skandal bulog.
Tiga presiden habis masa jabatan. Dua diantaranya, Habibie dan Megawati meneruskan setelah Soeharto dan Gus Dur turun di tengah jalan. Hanya Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Indonesia dua periode 10 tahun selamat sampai masa jabatan berakhir.
Jokowi sebagai Presiden Indonesia ke 7 sedang menghadapi tantangan sangat berat. Ekonomi terpuruk, korupsi merajalela dan omnibus law RUU Cipta Kerja bisa menyebabkan krisis politik yang berujung lengsernya Jokowi. Bertahankah Jokowi? Lihat dan tunggu dalam beberapa bulan ke depan apa yang akan terjadi.
Sebentar lagi Ramadhan. Perbanyaklah berdoa untuk kebaikan bangsa Indonesia. Mintalah presiden yang pro dan peduli rakyat. ***
Yogyakarta, 14 Rajab 1441/9 Maret 2020
sumber: WA Group KAHMI Nasional (post: Rabu (11/3/2020)