Jalanan Dipajaki, Prinsip Kapitalisme di Atas Aset Milik Umum

Grafis tentang Sistem Kapitalis adalah Maut. Foto: Pejuang Sejati

Oleh La Ode Mahmud *)

Semarak.co-Ada yang ganjil tapi dianggap biasa di negeri ini. Rakyat yang sudah membayar pajak, tetap dipalak ketika memarkirkan kendaraannya di pinggir jalan. Tak peduli itu jalan umum, fasilitas publik atau bahkan area rumah ibadah. Selama ada celah, maka disitu ada tarif.

Bacaan Lainnya

Di banyak kota, termasuk di kota Kendari pungutan parkir makin menjamur, kadang dengan karcis resmi tapi tak jarang juga tanpa karcis resmi dan fenomena ini menjadi atensi pemerintah kota akhir-akhir ini di Kendari

Perlu dipahami bahwa masalahnya bukan sekadar kehadiran juru parkir ilegal tanpa karcis atau dengan karcis. Yang lebih mendasar adalah mengapa rakyat harus membayar untuk menggunakan jalan yang jelas-jelas milik umum?

Di tengah keramaian urban, ruang menjadi komoditas yang mendatangkan cuan. Trotoar dikapling pedagang, bahu jalan diperas juru parkir dan ruang publik diubah menjadi lahan bisnis. Ini bukan sekadar kekacauan teknis.

Ini adalah cermin sistem kapitalisme yang bekerja bukan hanya di pusat-pusat kekuasaan, tapi juga menjalar hingga ke ruang-ruang terkecil kota. Ia mengajarkan satu hal bahwa segala sesuatu bisa dijadikan sumber cuan, termasuk milik rakyat sendiri.

Pemerintah kota tentu akan membela diri. “Parkir kan resmi masuk PAD”, “ada perda yang mengaturnya”, “masyarakat juga perlu tertib dll”. Tapi kita semua tahu, argumen itu tak menjawab pertanyaan utama.

Yaitu apakah benar negara boleh mengambil keuntungan dari fasilitas yang seharusnya bebas diakses rakyat? Islam punya jawaban yang sangat jelas. Dalam sistem Islam, fasilitas vital seperti jalan, sungai, dan padang rumput tergolong milik umum (milkiyyah ‘ammah).

Hukum ini bukan retorika, tapi prinsip distribusi kekayaan yang adil. Negara tidak boleh menjual atau memungut bayaran dari milik bersama, kecuali ada tambahan fasilitas yang layak dikenai imbal jasa. Maka menarik ketika Rasulullah ﷺ bersabda:

“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Ini bukan hanya hadits spiritual. Ini prinsip ekonomi politik yang menolak komersialisasi fasilitas dan aset publik.

Bandingkan dengan sistem hari ini. Negara justru aktif menjadikan fasilitas publik sebagai sumber retribusi. Tak heran jika karcis parkir di tangan rakyat lebih sering menjadi bukti yang nyata bahwa negara sedang absen dari keadilan.

Dan lebih ironis, di balik pungutan resmi, selalu ada potensi terjadinya pungli. Sistem yang memungkinkan praktik seperti ini bukan sistem yang berpihak pada rakyat. Ia hanya memberi wajah modern pada praktik lama yang menghisap pelan-pelan dari bawah, sambil berpura-pura membela keteraturan.

Solusinya bukan sekadar penertiban jukir. Solusinya adalah menyudahi logika kapitalistik dalam mengelola ruang hidup. Negara harus kembali kepada fungsi utamanya yaitu menjaga hak publik, bukan mengomersialisasikannya.

Jalanan bukan ATM. Ia adalah denyut hidup bersama. Dan ketika akses terhadapnya dijadikan sumber pendapatan, maka yang dipajaki bukan sekadar kendaraan, tapi lebih dari itu adalah harkat manusianya. Salam waras!!! [].

 

Sumber: WAGroup FORUM UMMAT ISLAM (postRabu21/5/2025/asepsafrudin)

Pos terkait