Gerakan Boikot Produk Nonmuslim di Malaysia Sukses, Perdana Menteri Sampai Berang

Pemerintah Malaysia menyarankan Masjid dan Mushola bersatu bentuk koperasi . foto: internet

Broadcast alias pesan berantai berupa berita berisi aksi Buy Muslim First di Indonesia belum berhenti di media sosial (medsos) Indonesia hingga hari ini. Utamanya di jagat whatsapp (WA) baik personal maupun grup. Tentu saja broadcast yang dilansir media online ibu kota itu dibumbui komentar alias chat beragam si pemosting.

Antara lain, sepert ini. Sudah 3 bulan, Rakyat Melayu Islam menjalankan aksi Buy Muslim First untuk melawan monopoli perdagangan oleh pengusaha Cina di Malaysia. Bulan ke 3 ini sangat terasa, pengusaha Cina sudah diskon barang barangnya hingga 50% Melayu muslim tidak beli juga.

Pemimpin negara kalang kabut, beberapa produk Cina Malaysia yang dulu menguasai pasar bertumpuk tidak terbeli. Beberapa pengusaha Cina mulai bangkrut. Sebaliknya pengusaha muslim dari desa hingga kota ketiban rezeki.

Saya baru melihat solidaritas muslim Malaysia yang begitu solid. Mereka bertekad meruntuhkan dominasi ekonomi pengusaha Cina. Semakin berkembang, bukan cuma barang, jasapun demikian juga.

Saya tidak melihat ada kasak kusuk, ternyata semua teman teman dosen juga sudah ikut campaign Buy Muslim First.

Media online ibu kota melansir yang kemudian menjadi pesan berantai, sebuah gerakan yang menyerukan orang-orang Melayu untuk memboikot produk-produk non-Muslim semakin menggema di Malaysia.

Melansir South China Morning Post, kata media online itu, kampanye berita palsu dan retorika politik terus memicu ketegangan rasial dan agama, sehingga mendorong seorang anggota keluarga kerajaan negara bagian Perak untuk menggambarkan situasi itu sebagai “detak jantung” bom waktu”.

Pesan berantai agar mayoritas Muslim Melayu di negara itu memboikot barang yang diproduksi oleh non-Muslim bahkan yang halal, telah secara aktif dibagikan di Facebook dan grup obrolan WhatsApp.

Nama-nama minimarket yang dianggap dimiliki oleh pihak non-Muslim juga terdaftar sebagai tempat yang harus dihindari. Industri makanan dan minuman halal yang melayani Muslim di Malaysia diperkirakan bernilai 50 miliar hingga 55 miliar ringgit (setara dengan US$ 12 miliar hingga US$ 13,2 miliar) untuk tahun ini.

Ya Kim Leng, seorang profesor ekonomi di Sunway University menggarisbawahi bahwa jika orang mengikuti panggilan boikot, sektor halal (yang mencakup makanan dan minuman, kosmetik dan produk perawatan kesehatan) yang juga dilayani bisnis nonmuslim, dapat terkena dampak buruk.

Boikot tersebut adalah contoh lain dari ketegangan rasial dan agama yang telah mengganggu koalisi Pakatan Harapan yang berkuasa sejak kemenangannya, Mei lalu, saat mereka menggulingkan Barisan Nasional dari masa 61 tahun pemerintahannya.

Partai terbesar dan paling kuat Barisan Nasional, Organisasi Nasional Melayu Bersatu (Umno), sekarang ada dalam barisan oposisi untuk pertama kalinya sejak dibentuk. Umno telah bekerja sama dengan Partai Islam se-Malaysia (PAS) untuk menghadapi aliansi Pakatan Harapan Mahathir dari partai-partai Melayu, nasionalis, Islam dan China.

Transformasi lanskap politik Malaysia ini telah ditandai oleh dorongan untuk mengeksploitasi perbedaan etnis dan agama untuk kepentingan pemilu.

Pekan lalu, Perdana Menteri Mahathir Mohamad menyarankan warga Malaysia untuk tidak ambil bagian dalam boikot apa pun.

“Boikot adalah senjata yang tidak efektif, itu hanya akan menimbulkan kemarahan. Jangan memboikot siapa pun, Bumiputra atau nonBumiputra,” katanya, merujuk pada etnis Melayu dan penduduk asli di Malaysia.

Pada hari Jumat (13/9/2019), Mahathir dalam sebuah posting blog menulis bahwa marah dengan orang-orang dari ras lain yang menurutnya telah menempuh jalan panjang untuk menjadi sukses dengan bekerja keras di tambang timah dan perkebunan karet di bawah pemerintahan Inggris- tidak akan membantu ras mayoritas di negara itu.

“Orang Melayu harus sadar akan apa yang terjadi pada mereka. Sayangnya tidak. Mereka masih menolak bekerja. Orang Melayu bersedia menyerahkan pekerjaan kepada orang asing dan orang asing membanjiri negara kita. Tujuh juta orang asing ada di sini hari ini. Mereka sedang bekerja,” tulis Mahatir seperti yang ditulis South China Morning Post.

“Nasib kita ada di tangan kita sendiri. Marah dengan orang lain tidak akan menyelesaikan masalah kita. Jumlah kita memang dikatakan meningkat. Tetapi mayoritas orang miskin tidak dapat bersaing dengan minoritas kaya,” tulisnya lagi.

Profesor Yeah setuju bahwa masalah-masalah seperti seruan boikot itu mengalihkan tugas mendesak pemerintah untuk mendukung ekonomi domestik, yang sedang dipengaruhi oleh faktor eksternal.

“Secara khusus, meningkatnya perselisihan perdagangan AS-China dan meningkatnya ancaman Brexit yang tidak memiliki kesepakatan berdampak buruk pada permintaan dan perdagangan global,” kata Yeah seperti dikutip dari South China Morning Post.

“Malaysia yang bergantung pada perdagangan harus menemukan sumber pertumbuhan internal untuk mengimbangi perlambatan eksternal. Oleh karena itu, menghadapi kekuatan negatif lain seperti boikot bisnis secara selektif akan mempersulit ekonomi lokal untuk mengimbangi penurunan permintaan eksternal,” papar Yeah. (net/lin)

 

sumber: WAG PUI/kontan.co.id

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *