Oleh Damai Hari Lubis *)
semarak.co-Menjelang 38 hari sebelum menjabat sebagai Wakil Presiden, Gibran Rakabuming Raka, putra Joko Widodo, dilaporkan “tertangkap tangan” oleh publik pengguna media sosial. Ia diduga sebagai pelaku pelecehan, penghinaan, dan/atau ujaran kebencian melalui akun *fufufafa* terhadap calon Presiden RI, Prabowo Subianto.
Jika dugaan ini terbukti sesuai dengan *rule of law*, Gibran dapat dijerat hukuman penjara berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Kasus ini telah mendapat tanggapan dari pakar telematika dan IT, Dr. Roy Suryo, sebagaimana dirujuk dalam berita berikut:
(Menkominfo Jangan Lagi Bela Gibran Soal Fufufafa) (https://rmol.id/politik/read/2024/09/11/636456/menkominfo-jangan-lagi-bela-gibran-soal-fufufafa).
Aspek Hukum yang Menjerat Gibran:
Dari sisi hukum, kasus yang melibatkan Gibran bukanlah kasus tunggal, dan semuanya masih dalam masa berlaku sesuai hukum positif, terutama terkait dugaan pelecehan terhadap Menhan Prabowo yang kelak akan dilantik sebagai Presiden RI dalam 38 hari ke depan.
Selain itu, ada pula pelanggaran UU Perlindungan Data Pribadi serta dugaan gratifikasi berdasarkan UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Ada juga kasus *black history* Paman Usman dengan bukti inkracht dari MKMK.
Kecuali ada upaya *restorative justice* antara Prabowo sebagai korban dan Gibran, hal ini bukan hanya soal nama baik pribadi. Terlebih lagi, pasca 20 Oktober 2024, kasus ini memiliki implikasi yang jauh lebih besar.
Moralitas dan Karakter Prabowo:
Jika ada faktor pemaaf, maka patut dipertanyakan: apakah Prabowo sebagai seorang jenderal adalah sosok yang tegas atau mudah menyerah? Implikasi politis dan moral dari kasus ini tentu menjadi sebuah *character assassination* bagi Prabowo, yang saat ini menjabat sebagai Menhan dan akan segera dilantik sebagai Presiden RI.
Tindakan yang dilakukan oleh Gibran adalah sebuah anomali, yang secara terang-terangan merendahkan derajat presiden dan menyebabkan dampak negatif, menyebarkan citra buruk Presiden RI di mata pemimpin dunia internasional dan ratusan juta rakyat Indonesia.
Konsekuensi Moral:
Dari sisi moral, tindakan Gibran membuat malu dan menimbulkan ketersinggungan bagi massa konstituen Prabowo yang telah berjuang keras memenangkan kandidat mereka. Lebih dari itu, hal ini memalukan seluruh rakyat Indonesia karena mencoreng nama Presiden RI sebagai pemimpin bangsa.
Jika tuduhan publik terbukti dan telah menimbulkan dampak negatif, maka tidak salah jika Gibran mendapat label sebagai “calon presiden yang tidak pantas” bagi bangsa ini.
Jika Prabowo Memaafkan:
Jika Prabowo memutuskan untuk menutup kasus ini dengan memaafkan Gibran tanpa melalui proses hukum, maka muncul pertanyaan mengenai alasan di balik keputusan tersebut. Apakah ada jasa tertentu atau kepentingan pribadi yang membuat Prabowo memaafkan Gibran? Hal ini dapat merusak agenda politik Prabowo sebagai presiden, terutama jika kasus yang tidak diproses secara hukum ini memicu aksi penolakan terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil di masa depan.
Rekomendasi:
Sebelum 20 Oktober 2024, Gibran harus dibatalkan pelantikannya oleh BAMSOET dan pihak-pihak terkait di MPR RI, sebagai penebusan atas dosa politik yang terjadi selama masa pemerintahan Jokowi.
Alternatif:
Setidaknya, demi menjaga wibawa hukum, pada saat pelantikan presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober 2024, nama Gibran cukup dibacakan tanpa kehadiran fisiknya. Setelah itu, atas perintah Presiden Prabowo, Kapolri atau Jaksa Agung dapat memundurkan Gibran sesuai dengan ketentuan *rule of law*.
Sejak saat ini, Prabowo idealnya sudah menyiapkan pengganti Gibran dengan berkonsultasi dengan para tokoh bangsa, terutama tokoh politik lawan yang bertarung dengannya pada Pilpres 2014, 2019, dan 2024, serta dengan melibatkan para ulama dan aktivis oposisi yang pernah mendukungnya pada Pilpres 2019.
*) Mujahid 212
sumber: fusilatnews.com/September 11, 2024 di WAGroup (postSabtu14/9/2024)