Ini adalah pertunjukan yang dipikir-tuliskan dari kisah sejati manusia yang diizinkan Tuhan mengalami penderitaan dan kesengsaraan. Dua tokoh utama masing-masing kisah harus menderita bersebab kesengsaraan yang diderita masing-masing pasangannya, yang mana memaksa tokoh pencerita memilih euthanasia sebagai jalan mengakhiri kesengsaraan tersebut.
Pertunjukan ini didedikasikan untuk kemuliaan manusia, tanpa hasrat dan napsu menghamba pada semata artistik dan estetik yang susah dan njelimet bagi para penghadir yang menyaksikannya, kelak. Bagaimana pun, teater memang dibuat dan ditujuankan untuk maksud tersebutkan di atas, bukan?
Pertunjukan ini terdiri dari dua kisah dengan dua tokohnya masing-masing, yang mana kedua penafsirnya itu bergantian memainkan peran: sebagai tokoh suami (karakter yang bercerita) dan sebagai tokoh yang diceritakan (tokoh istri), begitu sebaliknya.
Pertunjukan ini juga menyediakan “kemewahan” bagi para penghadirnya, yakni kebebasan dalam memilih akhir kisah yang diidealkannya. Sebuah kemewahan (kebebasan) yang tidak pernah diberikan oleh pertunjukan yang melulu menghadirkan eksotika eksperimentasi teater yang mengklaim dirinya sebagai kontemporer, zaman now, bahkan sekadar untuk bisa mengerti apa dan bagaimana pertunjukan yang disaksikannya itu, penonton mesti berakrobat.
Ya, sebuah kemewahan bersebab pertunjukan ini menghadirkan dua akhir kisah (ending) yang bisa dipilih sebagai pilihan sosial dan keyakinan masing-masing penghadirnya. Sebuah gagasan baru dalam bentuk demokratisasi penafsiran dan penikmatan bagi sesiapa pun masyarakat yang memosisikan dirinya sebagai penonton. Salam dramatika. (lin)