Oleh Ubedilah Badrun *
semarak.co-Kita semua pernah mengalami luka hati. Terasa sangat sakit. Sebab Ia tidak hanya merusak satu bagian tubuh tetapi secara perlahan bagian lain bisa rusak, butuh waktu lama untuk sembuh.
Itu juga tidak mudah. Sebab yang tersakiti adalah hati. Bukan hati dalam makna fisik tetapi hati dalam makna psikis. Abstrak, tetapi jiwa terasa begitu luka. Jiwa yang luka, pada tingkat rasionalitas tertentu seringkali daya arus baliknya memiliki kekuatan yang luar biasa untuk melawan.
Penghianatan dan janji palsu adalah dua hal yang sangat melukai hati. Kita semua pasti sangat luka jika dikhianati begitu juga jika diberi janji palsu. Janji selangit tetapi realisasinya segorong – gorong, seselokan atau bahkan kosong, hanya imaji citra yang terus diomongkan dan dikonstruksi di arena publik.
Misalnya janji pengangguran akan berkurang, nyatanya terus bertambah. Janji demokrasi makin membaik, nyatanya memburuk. Rakyat makin lapar tetapi dramaturgi politik yang disuguhkan.
Kehadiran negara secara historis sesungguhnya untuk melindungi agar tidak ada jiwa rakyat yang terluka. Mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan rakyatnya. Rakyat dibahagiakan bukan disakiti, apalagi dibunuh. Demokrasi juga hadir untuk mendengarkan hati rakyat.
Mendengarkan jiwa jiwa yang terluka akibat ketidakadilan. Rakyat harus diutamakan bukan para oligark. Sebab dalam demokrasi, rakyat yang berdaulat bukan segelintir elit. Democracy, literally, rule by the people demikian Robert Dahl, profesor politik dari Yale University mengingatkan (1915-2014).
Itulah sebabnya banyak negara memilih jalan demokrasi bukan jalan oligarki, apalagi jalan otoriter. Sebab dalam jalan demokrasi keragaman dihargai, termasuk keragaman pikiran. Kritik adalah bagian penting untuk membuat demokrasi lebih bergizi.
Bantuan Untuk Rakyat Miskin Dikorupsi
Pertanyaannya, apa yang membuat hati rakyat makin luka seperti tersayat sembilu? Korupsi! Indonesia peringkat tiga sebagai negara terkorup se Asia ( Transparency International,2020). Memprihatinkan dan menyakitkan. Ya, korupsi sangat menyakitkan hati rakyat. Sebab ia mencuri uang rakyat, mencuri hak-hak rakyat.
Apalagi uang yang dikorupsi seharusnya untuk rakyat miskin yang terdampak covid-19 dan kehilangan pekerjaan. Mereka makan sehari sekali bahkan kadang tidak makan. Tetangganya bahu membahu membantu tapi penguasa mengorupsi hak rakyat miskin itu. Menyakitkan.
Tidak tanggung-tanggung menurut KPK (2020) uang yang dikorupsi total mencapai Rp.20,8 milyar. Bahkan ada kemungkinan uang yang dikorupsi berpotensi jumlahnya trilliunan rupiah, karena jumlah total proyeknya mencapai Rp.5,9 triliun.
Itu belum disebut dugaan korupsi lainya di BUMN pada periode pemerintahan ini yang sudah menjadi berita di media massa. Misalnya korupsi Jiwasraya Rp.16,8 triliun, potensi korupsi di Asabri Rp.17 trilliun, potensi korupsi di BPJS Rp.43 trilliun, dan potensi korupsi di Bumiputera Rp48,9 trilliun. Sungguh melukai hati rakyat.
Di negeri ini ada pasal 2 ayat 2 dalam Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi nomor 31 tahun 1999 yang menyebutkan bahwa mengorupsi bantuan untuk bencana bisa dihukum mati. Tujuanya undang-undang itu dibuat untuk memberantas korupsi, membuat jera koruptor, bukan untuk melindungi koruptor.
Apakah hukuman mati akan diberlakukan? Entahlah, sebab yang terjadi seringkali hukum tumpul keatas dan tajam kebawah. Apalagi jika yang korupsi bagian dari elit berkuasa. Jika hukum terus tumpul keatas dan tajam kebawah, tentu itu makin melukai hati rakyat.
Ada kabar terbaru yang juga sangat menyakitkan hati. Ternyata dana Bansos yang dikorupsi itu tak sampai ke kelompok masyarakat difable. Banyak difabel yang bekerja sebagai buruh harian lepas harus menggadaikan alat mata pencaharian dan menanggung resiko kehilangan penghasilan.
Rakyat Dibunuh
Selain korupsi, pembunuhan aparat terhadap rakyat adalah juga sangat melukai hati rakyat. Nyawa seperti tak berharga di negeri ini. Masih inget perjuangan mahasiswa menolak pelemahan KPK pada September 2019 lalu?
Niat luhur mahasiswa dibalas dengan peluru tajam menembus dada kanan mahasiswa dan ditemukan bekas tembakan atau serpihan proyektil peluru di kepala (Kontras, 2020). Dua mahasiswa Universitas Haluuleo di Kendari yang bernama Yusuf Kardawi dan La Randi itu ditembak mati aparat.
Luka hati rakyat semakin dalam, dipenghujung tahun 2020, ada 6 anak muda pengawal Habieb Rizieq Shihab dadanya ditembak peluru tajam hingga tak bernyawa. Komnas HAM menilai itu pelanggaran HAM (Hak Azasi Manusia).
FPI menyebut itu pelanggaran HAM berat. Kini kasus tersebut dilaporkan FPI ke International Criminal Court atau Mahkamah Pidana Internasional. Kasus-kasus Hak Azasi Manusia (HAM) yang lama seperti kasus Munir, kerusuhan Mei 1998, dll tidak satupun diselesaikan, kini kasus-kasus pelanggaran HAM baru malah bertambah.
Ya, rakyat makin banyak yang menderita dan terluka hatinya. Terlalu banyak aspirasi rakyat banyak yang tidak didengar bahkan dicuekin. Rakyat banyak menolak UU Omnibuslaw Ciptaker, tetapi rezim penguasa tetap jalan, menutup telinga, mengesahkan undang-undang itu.
Ya, bertepuk sebelah tangan. Saat kampanye, rakyat mahasiswa dan buruh didekati, begitu berkuasa aspirasi rakyat mahasiswa dan buruh tidak didengar bahkan ditinggalkan. Ini membuat luka hati makin dalam.
Utang Banyak, Rakyat Yang Bayar Angsuran dan Bunganya
Kini penguasa senang berutang, bahkan menyembunyikan utang hingga Rp.921 trilliun (Indef,2020). Hingga akhir Desember 2020, Indonesia tercatat memiliki utang sebesar Rp 6.074,56 triliun (Kemenkeu,2020).
Angka itu setara dengan 38,68 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Dibandingkan 2019, nilai utang Indonesia meningkat Rp 1.296 triliun atau 27,1 persen. Utang yang besar itu akan terus bertambah. Tahun ini bisa sampai Rp. 7.000 triliyun lebih.
Pemerintah terjebak gali lobang tutup lobang, bayar cicilan utang dengan utang baru. Makin menyakitkan lagi hasil utang itu dikorupsi, sementara rakyat yang menanggung cicilan utang dan bunganya setiap tahun kurang lebih Rp 370 triliun. Bersumber dari uang pajak rakyat dan dari utang lagi.
Rakyat kembali menjadi korban atas keserakahan dan tata kelola negara yang buruk dan korup itu. Rakyat menanggung bayar utang dan bunga utang sampai lebih dari 50 tahun kedepan.
Penguasa dan jaringan mafia oligarki berpesta, bancakan mengeruk uang rakyat di APBN yang hampir separuhnya dari utang. Korupsi uang Bansos covid-19 adalah faktanya. Itu fakta bancakan uang rakyat yang tidak bisa dibantah. Sementara rakyat makin menderita.
Disaat yang sama tertindas, dibungkam suaranya dengan berbagai cara, diretas media digitalnya, dilaporkan, ditangkap dan dipenjara, termasuk dipaksa swab test dan karantina agar tidak ada lagi suara-suara kritis. Apakah rakyat akan selamanya diam? Diam atau melawan? Luka hati rakyat yang tertindas memang sangat menyakitkan!
*) Penulis adalah Analis Sosial Politik UNJ
sumber: WAGroup Keluarga Alumni HMI MPO