Skandal Verifikasi Faktual KPU yang Bahayakan Demokrasi, Ada Parpol Gembosi Jalan Anies Jadi Capres

Grafis pemilihan umum (Pemilu). foto: ist

Di kalangan internal Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan partai yang tidak lolos verifikasi beredar kabar bahwa Gelora diduga diloloskan untuk menggembosi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam pemilu nantinya. Para pengurus inti Gelora dari tingkat pusat hingga daerah memang merupakan eks pengurus PKS. Ketua Umum Gelora Anis Matta pernah menjabat Presiden PKS, pada 2013-2015.

semarak.co-Seperti halnya Partai Gelora, Partai PKN diduga diloloskan untuk menggembosi suara Partai Demokrat. Diketahui bahwa sebagian pendiri dan pengurus inti PKN di tingkat pusat hingga daerah merupakan mantan pengurus Demokrat. Ketua Umum PKN, I Gede Pasek Suardika pernah menjadi pengurus inti Demokrat.

Bacaan Lainnya

Diberitakan koran tempo melalui editorial redaksi, Selasa 13 Desember 2022, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan DPR RI mengancam demokrasi lewat pengekangan berpendapat. Kini beban demokrasi Indonesia kian berat dengan munculnya berita KPU meloloskan tiga partai peserta Pemilu 2024 yang sebetulnya tak memenuhi syarat dalam verifikasi partai politik.

KPU diduga meloloskan secara paksa tiga partai politik peserta Pemilu 2024: Partai Gelora, Partai Kebangkitan Nasional (PKN), dan Partai Garuda. Ada pengakuan dari pengurus KPU daerah bahwa Ketua KPU Hasyim Asy’ari memerintahkan agar mengubah hasil verifikasi faktual tiga partai tersebut.

Jika benar informasi ini, sungguh bejat perilaku pimpinan KPU. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu mesti mengusut tuduhan serius ini dan memecat komisioner KPU jika terbukti benar. Apa yang dilakukan Hasyim Asy’ari dkk sungguh mencoreng demokrasi–sistem politik yang kita sepakati setelah Reformasi 1998.

Pemilu yang bebas, jujur, dan adil adalah sarana utama demokrasi Indonesia tegak. Tanpa pemilu yang transparan, Indonesia akan kembali ke zaman gelap Orde Baru, yakni mengakali pemilu atau menyelenggarakannya sebagai cara pura-pura demokratis. Ada banyak dugaan motif meloloskan tiga partai baru itu.

Kita tahu pentolan Partai Gelora adalah eks pengurus teras PKS. Juga PKN adalah mantan pengurus Partai Demokrat. Kedua partai tak diajak berkoalisi dengan PDI Perjuangan, partai penyokong Presiden Joko Widodo (Jokowi). Untuk Pemilu 2024, keduanya juga sedang menimbang Anies Baswedan, calon presiden Partai NasDem.

Menggembosi tiga partai itu bisa mengurangi jalan mulus Anies Baswedan menjadi calon presiden (capres) yang sudah dideklarasikan Partai NasDem dan sedang menunggu kesepakatan koalisi Partai Demokrat dan PKS di Pemilu 2024.

Gubernur Jakarta 2017-2022 Anies Baswedan disebut-sebut sebagai rival terberat Gubernur Jawa Tengah yang politikus PDI Perjuangan Ganjar Pranowo yang secara implisit mendapat dukungan Presiden Jokowi.

Jika benar manipulasi verifikasi partai untuk tujuan menjegal calon presiden potensial yang tak didukung penguasa, sungguh rusak politik Indonesia. Seperti sepak bola yang dipimpin wasit curang, demokrasi mati di bawah KPU yang berpihak, manipulatif, dan tidak transparan.

Intervensi pimpinan KPU pusat terhadap KPU daerah meloloskan partai tak memenuhi syarat jelas mengangkangi independensi KPU daerah. Padahal independensi KPU adalah napas utama demokrasi. Agaknya KPU juga tak berniat mendapatkan kepercayaan publik sehingga partisipasi dalam pemilu naik.

Alih-alih terbuka, KPU menutup akses publik terhadap Sistem Informasi Partai Politik. Pelanggaran krusial ini, anehnya, tak dipersoalkan oleh Badan Pengawas Pemilu. Lengkap sudah kerusakan demokrasi Indonesia.

Karena daya rusaknya sedemikian hebat, tak ada salahnya jika kita berharap para penegak hukum proaktif mengusut dugaan manipulasi itu. Jika Bawaslu dan organ-organ pengawas pemilu tak berfungsi, aparat hukum harus bertindak. Bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi mesti mengusutnya.

Dalam manipulasi politik seperti itu, tak jarang ada praktik suap. Sebab, tak hanya meruntuhkan kepercayaan publik pada demokrasi yang sedang kita bangun ini, manipulasi KPU akan melahirkan persekongkolan berikutnya.

Lolosnya Partai Garuda disebut-sebut sebagai balas jasa partai di DPR karena menggugat pasal yang mewajibkan partai yang lolos pemilu sebelumnya tak perlu ikut verifikasi faktual. Tali-temali korupsi politik ini harus diputus. Indonesia akan selamanya dalam kubangan ketertinggalan jika para penyelenggara negaranya korup.

Salah satu cara Indonesia naik kelas adalah dengan menyelenggarakan pemilu yang berkualitas, jujur, imparsial, bersih, dan transparan. Pemilu adalah harapan terakhir negeri ini mendapatkan pemimpin yang benar-benar memikirkan masa depan Indonesia.

Di bagian lain Peneliti Indonesia Corruption Watch Kurnia Ramadhana mengatakan, ketertutupan Sistem Informasi Partai Politik (SIPOL) KPU dapat membuka celah praktik kecurangan dalam Pemilu 2024.

“Ketika ada ruang tertutup dalam proses verifikasi politik, maka dapat membuka celah praktik-praktik kecurangan itu,” kata Kurnia dalam konferensi pers virtual ICW Jelang Pengumuman Verifikasi Faktual Partai Politik: Tolak Pemilu Curang! Minggu (11/12/2022) dilansir tempo.co, Senin, 12 Desember 2022 06:58 WIB.

Adapun contoh kemungkinan kecurangan yang bisa muncul akibat ketertutupan SIPOL, kata Kurnia, adalah partai politik yang tidak memenuhi syarat berupaya memenuhi syarat dengan cara menyuap penyelenggara pemilu.

Kemudian potensi kecurangan kedua adalah munculnya intervensi, misalnya dari struktural penyelanggara pemilu kepada KPU pusat atau daerah untuk meloloskan parpol tertentu, yang sebelumnya tidak memenuhi syarat menjadi memenuhi syarat.

“Jadi dua hal itu potensi yang sangat besar terjadi jika proses verifikasi faktual ini tidak dilakukan secara terbuka. Banyak celah kecurangan jika melihat logika kedua tersebut. Umpamanya ada intervensi dari komisioner KPU pusat kepada jajaran struktural KPU di daerah,” terang Kurnia.

Adapun bentuk ancamannya beragam, rinci dia, misalnya mengancam merotasi pegawai KPU daerah, pengurangan anggaran, atau bahkan ancaman untuk tidak memilih komisioner-komisioner KPU daerah. Seperti diketahui sejumlah provinsi akan menggelar proses pemilihan komisioner KPU pada 2023 dan itu ditentukan KPU pusat.

“Jangan sampai itu terjadi. Ancaman dan lain sebagainya, tentu kita tidak berharap itu terjadi. Maka dari itu KPU harus memastikan proses ini harus berjalan dengan baik. Jika itu terjadi, maka ada potensi pelanggaran hukum dan etika kepada pihak-pihak yang bermain di balik proses verifikasi faktual parpol jika memang dugaan itu benar,” ujarnya.

Misalnya, sambung Kurnia, apabila ada transaksi uang di balik lolosnya parpol yang sebelumnya tidak memenuhi syarat, pelanggar bisa dijerat Undang-undang Tindak Pidana Korupsi karena melibatkan unsur penyelenggara secara langsung.

Ada juga pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu yang diatur dalam peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Nomor 2 Tahun 2017. Kurnia mengatakan ada banyak pasal yang bisa menjerat penyelenggara pemilu baik pusat dan daerah jika mencoba bermain dalam proses verifikasi faktual parpol.

Misalnya Pasal 8 huruf a, Pasal 10 huruf a, Pasal 15 huruf d, dan Pasal 19 huruf f, tentang prinsip-prinsip mandiri, adil, profesional dan kepentingan umum. Ia menuturkan keterbukaan verifikasi faktual ini penting karena besarnya anggaran penyelenggaraan pemilu yang mencapai Rp 76,6 triliun.

Maka angka yang sangat besar itu mesti dijawab dengan kerja profesional. “Tidak hanya profesional tapi juga terbuka. Jangan justru angka besar dijawab dengan ketertutupan. Jangan juga justru memanfaatkan tahapan proses penyelenggaraan pemilu, salah satunya verifikasi faktual partai politik untuk berbuat curang,” kata dia.

Kurnia mengatakan ICW tidak mengharapkan KPU untuk membuka setiap data pribadi karena memang ada Undang-undang Perlindungan Data Pribadi. Namun ICW memberi perhatian pada proses perkembangannya yang tidak bisa diakses masyarakat.

“Kalau berbicara perkembangan bagaimana proses verifikasi faktual parpol, saya rasa itu tidak bertentangan dengan informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik,” katanya.

Selain itu, masih kata Kurnia, KPU bisa membuka informasi proses verifikasi faktual parpol sesuai dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, khususnya pasal 3 huruf f dan i yang berkaitan dengan prinsip terbuka dan akuntabel penyelenggaraan pemilu oleh KPU.

Selanjutnya, perangkat hukum yang lebih spesifik ada pada peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017. Kurnia menjelaskan di sana ada poin-poin tengang akuntabel, terbuka dan kepentingan umum, yang mestinya dikedepankan oleh KPU dalam konteks platform SIPOL.

Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari meminta KPU tak bermain api dalam proses verifikasi faktual kepengurusan dan keanggotaan partai politik (parpol). Hal ini bertujuan agar tahapan Pemilu 2024 terhindar dari praktek kecurangan.

“Kami meminta agar penyelenggara tidak melakukan berbagai kecurangan karena itu akan merugikan banyak orang,” pesan Feri dalam diskusi Jelang Pengumuman Verifikasi Faktual Partai Politik: Tolak Pemilu Curang! Minggu (11/12/2022) dilansir kompas.com – 11/12/2022, 17:45 WIB.

Penyelenggara atau KPU, pinta Feri, harus bersungguh-sungguh memperhatikan ini. Tidak bermain api dalam proses penyelenggara demokrasi. Apabila terjadi penyimpangan dalam proses verifikasi faktual, hal ini akan merusak gagasan dalam penyederhanaan parpol.

Ia menegaskan bahwa pentingnya proses verifikasi faktual yang terhindari dari praktek kecurangan atau penyimpangan. “Menurut kita penting, karena sering kali orang ala kadarnya buat parpol hanya menjadikan parpol alat transaksional, bukan alat mendidik kader dan masyarakat di ruang politik,” tegas dia.

Di sisi lain, Feri mengingatkan parpol agar tidak menggunakan cara curang dalam proses verifikasi faktual demi bisa lolos dan terlibat dalam Pemilu 2024. “Kepada publik mari kita awasi bersama-sama,” imbuh dia.

Sebagai informasi, total ada 18 partai politik yang dinyatakan lolos tahap verifikasi administrasi pada 14 September 2022. Sembilan partai politik adalah partai parlemen yang merujuk pada UU Pemilu dan Putusan MK Nomor 55 Tahun 2020 tidak perlu lagi diverifikasi faktual untuk ditetapkan sebagai peserta pemilu.

Sementara itu, sembilan partai politik lain diverifikasi faktual syarat keanggotaan, kepengurusan, dan alamatnya, pada 15 Oktober-4 November 2022. Sembilan partai politik nonparlemen, yakni PSI, Perindo, PKN, Gelora, PBB, Hanura, Ummat, Buruh, dan Garuda.

Hasil verifikasi faktual kepengurusan dan keanggotaan partai politik diumumkan pada tanggal 14 Desember 2022. Pada tanggal tersebut, KPU RI akan umumkan partai politik peserta Pemilu Serentak 2024. (tpc/ktp/kpc/smr)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *