Prabowo Pernah Tolak Presidential Threshold 20%, KomTak: Gugatan 0% itu Hak Konstitusional Rakyat

Koordinator KomTak Lieus Sungkharisma. Foto: rmol.id

Koordinator Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (KomTak) Lieus Sungkharisma menyayangkan munculnya anggapan keliru oleh orang yang mengaku pengamat politik atas gugatan uji materi yang diajukannya ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Presidential Threshold (PT) 20%.

semarak.co-Anggapan keliru itu bisa jadi timbul karena yang bersangkutan tidak memahami substansi masalah, atau bisa jadi karena dia tak mau membaca sejarah. Ditambahkan Lieus, persoalan Presidential Threshold 20 persen bukan hal yang baru saja muncul jelang Pemilu 2024.

Bacaan Lainnya

“Orang-orang seperti itu biasanya merasa pintar sendiri, tapi malah kebelinger. Sudah sejak awal pembahasannya di DPR pun sudah muncul kontroversi. Itu dibuktikan dengan walk out (WO)nya empat partai, yakni Gerindra, Demokrat, PKS dan PAN dari ruang sidang paripurna DPR pada 21 Juli 2017,” kata Lieus seperti rilis diterima redaksi semarak.co, Senin (27/12/2021).

Bahkan, tambah Lieus, kala itu sidang paripurna hanya dipimpin Ketua DPR Setya Novanto didampingi Wakilnya, Fahri Hamzah. Tiga wakil ketua DPR lainnya, Fadli Zon (Gerindra), Agus Hermanto (Demokrat), dan Taufik Kurniawan (PAN) melakukan aksi walk out bersama seluruh rekan satu fraksi mereka.‎

Waktu itu Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Amanat Nasional (PAN) memang melakukan aksi walk out karena tidak ingin mengikuti voting terhadap opsi paket lima isu krusial RUU Pemilu. Mereka ingin ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) 0% alias dihapuskan dalam RUU Pemilu.

Bahkan, tambah Lieus, Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto sendiri menyebut presidential threshold 20% merupakan lelucon politik yang menipu rakyat. Prabowo beralasan, mereka walk out karena tidak mau ikut bertanggungjawab dalam pengesahan RUU Pemilu itu.

“Prabowo menyebut pihaknya tidak mau ikut sesuatu yang melawan akal sehat dan logika. Seperti katanya, dia tidak mau ditertawakan oleh sejarah,” tutur Lieus usai ajukan gugatan judical review di Mahkamah Konstitusi (MK) Medan Merdeka, Jakarta Pusat, Senin (27/12/2021.

Jadi, tambah Lieus, penolakan atas Presidential Threshold 30% itu sudah muncul sejak sebelum UU No. 7 Tahun 2017 itu sendiri disahkan. “Jadi ini bukan barang baru.Sayangnya selama bertahun-tahun kita terlalu mabuk oleh ephoria kemenangan untuk dukung mendukung Capres yang diusung Parpol sehingga mengabaikan persoalan krusial yang menjadi hak konstitusional rakyat ini,” katanya.

selama beberapa tahun ini kita sudah menyaksikan bagaimana oligarki Parpol telah menutup bahkan membunuh peluang putra-putri terbaik bangsa untuk jadi pemimpin melalui ketentuan Presidential Threshold 20%.

“Padahal ketentuan itu sangat mencederai hak konstitusional rakyat karena rakyat dipaksa menyetujui calon presiden yang diajukan parpol sekalipun mereka tak suka. Para pengurus partai-partai politik bahwa demokrasi sangat membutuhkan azas keadilan dan tidak memaksakan kehendak dengan segala cara,” pesan Lieus.

“Bahwa rakyat juga punya hak dan aspirasinya sendiri soal siapa yang akan menjadi presidennya. Jangan hak dan aspirasi itu dibungkam oleh peraturan perundang-undangan yang tak logis,” demikian Lieus mengingatkan.

Terkait adanya petinggi Partai Gerindra yang belakangan menyatakan Presidential Threshold 20%, Lieus mengatakan bahwa sikap itu sangat bertentangan dengan apa yang pernah dinyatakan Ketua umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang kini menjabat Menteri Pertahanan (Menhan).

“Pak Prabowo pernah mengatakan Gerindra menolak Presidential Threshold 20 persen itu. Pernyataan itu sampai sekarang belum dicabut. Jadi petinggi Gerindra hendaknya jangan plin plan soal ini,” tegas Lieus.

Adapun gugatan atas batas ambang Presidential Threshold 20% yang ditetapkan partai-partai politik di DPR semakin gencar mendapat gugatan dari berbagai pihak. Terutama karena dengan ketentuan pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 itu hanya partai politik besar atau gabungan politik yang bisa mengajukan calon presiden.

Gugatan yang diajukan Koordinator KomTak didampingi emak-emak dan sejumlah tokoh nasional mengajukan gugatannya ke MK, seperti terlihat Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun, Anggota DPD RI seperti Fahira Idris dan Tamsil Linrung, dll.

Menurut Lieus, gugatan ini diajukannya karena ia melihat ada ketidakadilan dalam penentuan calon presiden sebagaimana yang ditentukan Pasal 222 UU No. 17 Tahun 2017. “Pasal itu telah menutup dan mematikan peluang putra-putri terbaik bangsa untuk dicalonkan sebagai pemimpin negara ini,” kata Lieus.

Ditambahkan Lieus, sejatinya partai politik hanyalah kendaraan bagi para calon presiden dan calon wakil presiden, sedangkan penerima manfaat utama dari penyelenggaraan pemilihan presiden dan wakil presiden adalah warga negara. “Karena itulah saya mengajukan gugatan uji materi pasal 222 ini ke MK,” katanya.

Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 berbunyi; “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 ini bertentangan dengan Pasal 6 Ayat (2) dan Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945. Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945 berbunyi; “Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang”.

Sedangkan Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 menyatakan; “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilihan Umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.

“Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 yang mengharuskan pasangan calon presiden dan wakil presiden memenuhi “persyaratan perolehan kursi partai politik atau gabungan partai politik pengusul paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% dari suara sah nasional” bertentangan dengan Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945,” tegas Lieus.

Lebih lanjut Lieus menyebut, selain bertentangan dengan UUD 1945, ketentuan Presidential Threshold 20 persen juga berpotensi mengkhianati aspirasi rakyat. “Ketentuan itu menjadikan hanya parpol besar atau gabungan sejumlah partai politik yang bisa mengajukan calon presiden.

Itu sangat mencederai demokrasi karena aspirasi rakyat sangat berpotensi untuk dimanipulasi. Selain itu, tambah Lieus, ketentuan pasal 222 tersebut juga sangat berpeluang bagi terciptanya oligarki partai politik seperti yang sekarang terjadi.

“Akibat dari ketentuan ini, putra-putri terbaik bangsa tak punya peluang untuk memimpin negeri ini selama dia tak bergabung dengan partai-partai politik besar. Ketentuan itu sesungguhnya sangat merugikan bangsa ini,” tutur Lieus. (smr)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *