Rilis Data SPHPN Tahun 2021, Menteri PPPA: Tidak Boleh Ada Satupun Perempuan Alami Kekerasan

Menteri PPPA Bintang Puspayoga. Foto: humas PPPA

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) merilis hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) Tahun 2021, Senin (27/12/2021). Menurut Menteri PPPA Bintang Puspayoga, secara umum hasil SPHPN Tahun 2021 menunjukkan adanya penurunan prevalensi kekerasan terhadap perempuan dibandingkan tahun 2016.

semarak.co-Menteri PPPA Bintang mengatakan, meskipun data menggambarkan prevalensi kekerasan terhadap perempuan dan anak yang menurun, namun angkanya masih memprihatinkan. Artinya, kita tidak boleh berpuas hati dan berhenti di sini saja. Perjalanan kita masih panjang.

Bacaan Lainnya

“Seharusnya, tidak boleh ada satu pun anak dan perempuan yang mengalami kekerasan, apapun alasannya,” ujar Menteri Bintang dalam Acara Rilis Hasil SPHPN dan SNPHAR di Ruang Rapat Kartini Kementerian PPPA seperti kemudian dirilis melalui pesan elektroni redaksi semarak.co, Selasa siang (28/12/2021).

Berdasarkan data SPHPN Tahun 2021, rinci Menteri Bintang, sebesar 26,1% atau 1 dari 4 perempuan usia 15-64 tahun selama hidupnya pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual yang dilakukan pasangan dan selain pasangan. “Angka ini turun dibandingkan tahun 2016, yaitu 33,4 atau 1 dari 3,” tegas Menteri Bintang.

Kemen PPPA telah melakukan berbagai upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan secara lintas sektor, mulai dari level keluarga, masyarakat, pemerintah daerah, serta Kementerian/Lembaga di tingkat pusat. Beberapa upaya yang telah dilakukan oleh Kementerian PPPA.

Di antaranya kampanye program Three Ends, gerakan bersama Stop Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), hingga pengembangan model Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA).

Kepala Badan Pusat Statistik, Margo Yuwono mengatakan, persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan tanggung jawab multi pihak, termasuk masyarakat. Pasalnya, keselamatan dan keamanan mereka menentukan kesejahteraan serta kekuatan bangsa.

“Komitmen terhadap keselamatan bagi perempuan dan anak tertuang dalam program prioritas Pemerintah Indonesia Tahun 2020-2024, yaitu pentingnya peningkatan kualitas anak, perempuan, dan pemuda. Ada dua indikator yang menjadi ukuran capaian dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024,” ungkapnya.

Yaitu prevalensi kekerasan terhadap perempuan setahun terakhir dan prevalensi anak yang pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya. Margo menjelaskan, SPHPN Tahun 2021 dilaksanakan di 33 provinsi dan tersebar pada 160 kabupaten/kota dengan jumlah sampel sebanyak 12.800 rumah tangga.

“Oleh karena itu, untuk melihat capaian dari program pemerintah, maka diperlukan indikator yang dapat menggambarkan progress peningkatan kualitas anak, perempuan, dan pemuda,” tutur Margo dirilis humas Kementerian PPPA.

Instrumen dan pengumpulan data SPHPN Tahun 2021 mengadopsi kuesioner World Health Organization (WHO) Women’s health and life experiences yang dilakukan petugas wawancara berjenis kelamin perempuan secara privat, mengingat banyaknya pertanyaan yang bersifat sensitif.

Secara lebih terperinci, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Ratna Susianawati mengatakan, pada 2021, Kemen PPPA menambahkan indikator Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) dan Female Genital Mutilation/Cutting (FGM/C) yang disesuaikan dengan dinamika dan kebutuhan di level internasional.

“Survei ini menjadi komitmen dari bagian upaya kita semua untuk bersama-sama melakukan satu bentuk dukungan atas pelaksanaan pemenuhan Sustainable Development Goals secara spesifik pencapaian tujuan kelima, yaitu kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan,” ungkap Ratna.

Lebih lanjut, Ratna menuturkan, kekerasan fisik dan/atau seksual cenderung lebih banyak dialami oleh perempuan yang tinggal di daerah perkotaan, yaitu 27,8 persen dibandingkan dengan perempuan yang tinggal di daerah perdesaan, yaitu 23,9 persen.

Namun demikian, angka ini mengalami penurunan dari tahun 2016, yaitu 36,3 persen di perkotaan dan 29,8 di perdesaan. Selain itu, prevalensi kekerasan fisik dan/atau seksual lebih banyak dialami oleh perempuan dengan pendidikan SMA ke atas dan juga perempuan yang bekerja.

Pada 2021, terjadi penurunan kekerasan seksual, emosional, ekonomi, dan pembatasan aktivitas yang dilakukan oleh pasangan terhadap perempuan berusia 15-64 tahun. Akan tetapi, angka kekerasan fisik oleh pasangan berada pada angka 2 persen, angka ini meningkat dari data SPHPN Tahun 2016, yaitu 1,8 persen.

“Tuntutan ketersediaan data, khususnya data kekerasan menjadi sangat penting karena ini merupakan satu-satunya sumber data terkait pravelensi kekerasan terhadap perempuan,” tutup Ratna. (smr)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *