Pernyataan Presiden Prabowo bahwa Indonesia bukan kacung negara lain kembali dipertanyakan banyak pihak menyusul ditandatanganinya kesepakatan dengan China baru-baru ini yang merugikan Indonesia.
semarak.co-Kesepakatan asimetris ini dibungkus dalam kerangka kerja sama bilateral Indonesia-Cina dalam kunjungan tiga hari Presiden Prabowo ke Beijing. Kritik mengemuka terutama dalam kaitan dengan pengakuan secara tidak langsung Indonesia terhadap klaim wilayah Cina di Laut Cina Selatan.
Cina menjadi negara pertama yang dikunjungi Prabowo setelah pelantikannya menjadi Presiden dalam rangkaian lawatan luar negerinya. Prabowo dan Presiden Cina Xi Jinping meneken kesepakatan investasi yang menunjukkan kerja sama bilateral yang semakin kuat.
Dilansir KBA News dari stasiun televisi Pemerintah Cina CCTV, penandatanganan kesepakatan kerja sama ini termasuk investasi Cina di Indonesia yang juga dihadiri oleh sejumlah perusahaan terkemuka Cina.
Kerja sama ini mencakup berbagai bidang termasuk konservasi air, sumber daya maritim, dan pertambangan. Kantor Kepresidenan Indonesia mengatakan perjanjian investasi ini bernilai total 10 miliar dolar AS.
Dengan semakin menguatnya kerja sama tersebut, pengamat tenaga kerja maupun aktivis buruh mengingatkan Prabowo untuk belajar dari berbagai konflik terkait keberadan maupun serbuan tenaga kerja Cina di Indonesia selama pemerintahan Jokowi.
Prabowo juga diingatkan akan pernyataannya dalam acara Deklarasi Gerakan Solidaritas Nasional di Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu, 2 November 2024. “Saya katakan kepada mereka, kita ingin menjadi tetangga yang baik, kita ingin jadi mitra yang baik,” kata Prabowo.
“We want to be your friend, we want to be your partner, but we will not be your pion. Kita tidak akan menjadi kacung kalian!” demikian Prabowo menambahkan seperti dilansir kbanews.com, 11 November 2024 1:42 pm.
Pernyataan tersebut, menurut Prabowo, tak lain karena Indonesia ingin menjadi mitra yang baik untuk semua negara, namun tidak ingin dijadikan pion maupun kacung. Pernyataan itu juga sudah disampaikannya ke negara-negara lain.
Kesepakatan dengan Cina ini mencakup bidang-bidang utama seperti lithium, kendaraan energi baru, energi hijau, pariwisata, konservasi air, sumber daya maritim, dan pertambangan.
Prabowo memilih Cina sebagai negara pertama yang dikunjunginya yang menunjukkan komitmen Jakarta untuk memperkuat hubungan strategis dengan Beijing.
Kedua negara berencana untuk bekerja sama lebih erat pada sektor pertambangan, memanfaatkan kemampuan sumber daya dan kapasitas produksi masing-masing.
Dalam upaya menghidupkan kembali dan melampaui tingkat pariwisata pra-pandemi, kedua negara akan memperkenalkan langkah-langkah visa baru, termasuk visa jangka panjang multi-masuk, dan mendorong lebih banyak rute penerbangan langsung dan tujuan berdasarkan permintaan.
Kedua belah pihak menandatangani kesepakatan kerja sama di bidang perumahan dan ekspor kelapa segar dari Indonesia ke Cina. CCTV melaporkan, kedua belah pihak bersama-sama menerbitkan pernyataan tentang Mempromosikan Kemitraan Strategis Komprehensif dan Membangun Komunitas Tiongkok-Indonesia dengan Masa Depan Bersama.
Presiden Xi Jinping mengatakan kepada Prabowo pada Sabtu pekan lalu bahwa Tiongkok bersedia bekerja sama dengan pemerintah Indonesia yang baru demi kepentingan bersama kedua negara.
“Tiongkok bersedia untuk meningkatkan pertukaran dan kerja sama dengan Indonesia di bidang-bidang termasuk pengurangan kemiskinan, obat-obatan, budi daya biji-bijian dan industri perikanan,” kata Jinping ke Prabowo.
CCTV memberitakan, Prabowo menyambut baik niat perusahaan-perusahaan Cina untuk berinvestasi di Indonesia. “Di bawah situasi global yang rumit saat ini, Indonesia berharap untuk lebih memperkuat koordinasi strategis menyeluruh dengan Tiongkok, dan menjadi mitra strategis komprehensif yang lebih dekat dengan Tiongkok,” lapor CCTV mengutip pernyataan Prabowo.
Tenaga Kerja Cina di Indonesia
Keberadaan perusahaan Cina termasuk kehadiran pekerjanya di Indonesia telah menjadi isu serius di Indonesia selama hampir satu dekade terakhir.
Dalam catatan KBA News dirangkum dari berbagai sumber, selain isu serbuan pekerja Cina di Indonesia yang gajinya jauh lebih besar dari pekerja Indonesia, kasus keberadaan mereka sempat pula diwarnai konflik fisik yang sangat mencolok dengan pekerja Indonesia di fasilitas PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) di Morowali, Sulawesi Tengah.
Insiden tragis itu mengakibatkan kematian seorang pekerja Indonesia dan seorang pekerja Tionghoa. Bentrokan terjadi pada 14 Februari 2023 usai pemogokan tiga hari yang digelar pihak Serikat Pekerja Nasional (SPN).
Pengamat hak-hak buruh Indonesia dan serikat pekerja mengatakan insiden tersebut menunjukkan adanya persoalan serius pada dunia tenaga kerja di tanah air. Ini karena Jokowi terus mengesahkan Undang-Undang “cipta kerja” yang lebih menguntungkan investor daripada pekerja.
Dimiliki oleh Jiangsu Delong Nickel Industry Company, PT GNI didirikan pada 2019 dan diresmikan oleh Jokowi pada 2021. PT GNI tidak hanya menambang tetapi juga melebur dan memurnikan nikel.
Selain dua kematian itu, bentrokan itu juga mengakibatkan beberapa lusin cedera dan hancurnya tujuh mobil dan 100 kamar asrama. Sedikitnya 500 petugas militer dan polisi bersiaga di PT GNI sehari setelah acara, dan mereka menangkap total 71 orang.
Mengingat parahnya bentrokan tersebut, banyak organisasi buruh dan aktivis menunjuk pada sejarah eksploitasi dan pelecehan di PT GNI dan lampu hijau untuk praktik yang diberikan pemerintahan Jokowi sebagai alasan utama di balik tragedi itu.
Timboel Siregar, Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), menunjuk “kerahasiaan” fasilitas PT GNI sebagai alasan mengapa pengawasan dan penegakan hukum sulit dilakukan di sana. Menurutnya, dinas tenaga kerja harus menjadi instansi kunci untuk pengawasan.
Sebuah laporan baru-baru ini oleh China Labor Watch, yang telah melakukan percakapan dengan pekerja Cina di PT GNI, menunjukkan bahwa tuntutan SPN sama sekali tidak sampai di kalangan orang Cina.
Hal ini karena ketidakmampuan mereka untuk membaca tulisan Indonesia. Perbedaan ini memungkinkan manajemen GNI untuk menciptakan citra “kita” Tiongkok versus “mereka” Indonesia.
Seperti dikemukakan Eli Friedman, seorang sarjana perburuhan Tiongkok, aktivis buruh seharusnya berpihak pada pekerja, bukan pada negara-bangsa yang bahagia menikah dengan modal transnasional.
Bahaya Klaim Cina atas Kepulauan Natuna
Profesor Hikmahanto Juwana, seorang akademikus dan peneliti hukum internasional terkemuka Indonesia, mempertanyakan Joint Development (Pengembangan Bersama) lewat Joint Statement (Pernyataan Bersama) yang dikeluarkan Prabowo dan Jinping di Beijing pada 9 November 2024.
Guru Besar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang kini menjabat Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani sejak 17 April 2020 ini kemudian merujuk klaim kepemilikan Cina atas Laut Cina Selatan.
“Menjadi pertanyaan mendasar apakah yang dimaksud dengan overlapping claims ini terkait klaim sepuluh garis putus oleh Cina yang bertumpang tindih dengan klaim Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Natuna Utara?” tanya Hikmahanto lewat siaran persnya yang diterima KBA News.
Jika benar, lanjutnya, berarti kebijakan Indonesia terkait klaim sepihak Cina atas Sepuluh Garis Putus telah berubah secara drastis, dan merupakan perubahan yang sangat fundamental serta berdampak pada geopolitik di kawasan.
Untuk diketahui, hingga berakhirnya pemerintahan Jokowi, Indonesia memilki kebijakan untuk tidak mengakui klaim sepihak Sepuluh (dahulu Sembilan) Garis Putus dari Cina. Ini karena klaim Sepuluh Garis Putus tidak dikenal dalam UNCLOS di mana Indonesia dan Cina adalah negara anggota.
Terlebih lagi, Permanent Court of Arbitration pada 2016 telah menegaskan klaim sepihak Cina tersebut memang tidak dikenal dalam UNCLOS. Namun dengan adanya Joint Statement pada 9 November 2024, berarti Indonesia telah mengakui klaim sepihak China atas Sepuluh Garis Putus.
Perlu dipahami, Joint Development hanya terjadi bila masing-masing negara saling mengakui adanya zona maritim yang saling berktumpang tindih,” tegas Hikmahanto.
Pengakuan klaim sepihak Sepuluh Garis Putus jelas tidak sesuai dengan perundingan perbatasan zona maritim yang selama ini dilakukan oleh Indonesia di mana Indonesia tidak pernah melakukan perundingan maritim dengan Cina.
Menurut Hikmahanto, hal ini karena dalam peta Indonesia dan dalam Undang-undang Wilayah Negara, tidak dikenal Sepuluh Garis Putus yang diklaim secara sepihak oleh Cina. Pemerintah Indonesia selama ini konsisten untuk tidak mau melakukan perundingan, apa lagi memunculkan ide Joint Development dengan Cina.
“Jika memang benar area yang akan dikembangkan bersama berada di wilayah Natuna Utara maka Presiden Prabowo seharusnya melakukan konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat,” kata Hikmahanto.
“Terlebih lagi bila Joint Development ini benar-benar direalisasikan, maka banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia yang dilanggar. Bila memang benar Indonesia hendak melakukan Joint Development dengan Pemerintah Cina, maka ini akan berdampak pada situasi geopolitik di kawasan,” lanjutnya.
Negara-negara yang berkonflik dengan Cina sebagai akibat klaim sepihak Sepuluh Garis Putus seperti Vietnam, Malaysia, Filipina dan Brunei Darussalam akan mempertanyakan posisi Indonesia, dan bukan tidak mungkin memicu ketegangan di antara negara-negara ASEAN.
Belum lagi negara-negara besar yang tidak mengakui klaim sepihak Cina karena berdampak pada kebebasan pelayaran internasional, seperti Amerika Serikat dan Jepang, akan sangat kecewa dengan posisi Indonesia.
Tentu ini akan mengubah peta politik di kawasan. Bila Joint Development dengan Cina di area Natuna Utara benar-benar direalisasikan maka yang justru mendapat keuntungan besar adalah Cina.
China bisa mengklaim bahwa Indonesia telah jatuh di tangannya, suatu hal yang tidak sesuai dengan pernyataan Prabowo dalam pidato pertama sebagai Presiden Indonesia di depan MPR RI bahwa Indonesia tidak akan berada di belakang negara adidaya yang sedang berkompetisi.
Adapun klaim Prabowo bahwa ia harus mengantisipasi penjajahan gaya baru asing yakni Cina ke Indonesia sudah bergaung lama sejak pilpres 2019. Pada 17 April 2019, salah satu topik hangat yang diperdebatkan antara pendukung dua kandidat yakni kubu presiden petahana Jokowi dan penantang Prabowo adalah poros ekonomi yang tampaknya mengarah ke Tiongkok.
Kubu Prabowo mengkritik keputusan Jokowi dengan alasan itu merupakan ancaman serius bagi kedaulatan dan keberlanjutan ekonomi Indonesia.
Di bagian lain sebelumnya diberitakan bahwa Koordinator Kajian Politik Merah Putih Sutoyo Abadi mengatakan, komunis Xi Jinping sudah menunjukkan sikapnya terhadap Indonesia seluruh political economic policy harus di bawah kekuasaannya.
Xi Jinping menunjukkan sikap bahwa Indonesia sudah tidak berdaulat secara diplomatic dan substansial. Sutoyo juga mengatakan, tujuan jangka pendek Prabowo menang itu untuk meng-backup melindungi Jokowi, keluarganya dan kroni-kroninya dari sidang pengadilan rakyat.
Tujuan jangka panjang renstra politik China Komunis untuk kuasai Indonesia. “Apabila Prabowo melawan Xi Jinping, mantan Danjen Kopassus itu akan tumbang dan dihabisi sesuai watak komunis melawan dibunuh,” ulas Sutoyo kepada redaksi suaranasional.com, Rabu (1/5/2024).
Analisa di atas diprediksi Prabowo menjabat presiden tidak akan sampai 5 tahun. Karena di tengah perjalanan kesehatannya Prabowo dibuat tidak kondusif karena disinyalir Prabowo akan memberontak kepada Xi Jinping, Prabowo pun akan diselesaikan oleh China.
Xi Jinping sudah lama menyiapkan pengganti Jokowi harus tetap berhaluan komunis untuk menguasai Indonesia tanpa perang fisik. Salah satu misi dan tujuan terbesar RRC China Komunis melalui Prabowo tidak lepas dari program Belt and Road Initiative (BRI) dulu bernama proyek OBOR (One Belt One Road). (net/kba/sua/smr)