Pangkas Sanksi Agen Travel, Omnibus Law Berpotensi Tinggi Rugikan Jamaah Haji dan Umrah

Ilustrasi pelaksanaan ibadah umrah dan haji.foto: humas Pegadaian

Muatan Omnibus Law terkait Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (UUPIHU) berpotensi mengancam dan sangat merugikan jamaah haji dan umrah. Sedangkan pada saat yang sama, muatan Omnibus Law sangat mengistimewakan pelaku usaha.

semarak.co -Ketua Komnas Haji dan Umrah Mustolih Siradj memaklumi usaha keras pemerintah untuk menyederhanakan izin investasi bagi investor di segala sektor bidang usaha sehingga ekonomi yang saat ini lesu dapat menggeliat.

Bacaan Lainnya

“Cara merombak berbagai peraturan perundang-undangan melalui Rancangan Undang-undang Cipta Lapangan Kerja atau popular dikenal Omnibus Law, satu Undang-Undang merombak banyak Undang-Undang,” ungkap Mustolih saat menanggapi Omnibus Law di Jakarta, Senin pagi (24/2/2020).

Namun demikian, kata Mustolih, salah satu yang sektor yang terdampak Omnibus Law adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang UUPIHU yang baru beberapa bulan lalu disahkan DPR.

Dalam urusan haji, kata dia, ancaman pidana 10 tahun yang semula dikenakan kepada Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) yang secara sengaja menyebabkan penelantaran jamaah dan gagal berangkat maupun pulang dari dan ke tanah suci dihapus.

“Ancaman pidana itu diganti dengan sanksi administrasi dan kewajiban mengembalikan uang kepada jamaah,” ujar Pengajar Hukum Bisnis Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta.

Hal yang sama juga akan diberlakukan terhadap Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU).  Ketentuan ancaman 10 tahun penjara bagi travel yang menelantarkan dan menyebabkan jamaah gagal berangkat dan pulang dari dan ke tanah  suci dikonversi menjadi sanksi administrasi dan kewajiban mengembalikan uang kepada jamaah.

“Pasal 126 ayat 1 Undang-Undang Penyeleggaraan Haji dan Umrah yang akan diubah oleh RUU Omnubus Law terletak pada bagian Keagamaan Paragraf 14. Perubahan pasal juga dikenakan pada Pasal 125 ayat 1,” kutipnya.

Pencabutan ancaman dan sanksi pidana terhadap PPIU dan PIHK tersebut, nilai dia, dikhawatirkan akan kembali menyuburkan praktik bisnis nakal oknum-oknum travel karena perlindungan hukum terhadap jamaah haji dan umrah dilemahkan.

“Padahal masih belum lama dari ingatan publik atas peristiwa dan terjadi memilukan, yaitu ratusan ribu jamaah umrah gagal berangkat dan uangnya raib tidak kembali karena dikerjain beberapa travel nakal. Sampai sekarang tidak jelas nasib mereka,” terangnya.

Pemerintah pun tidak mau bertanggung jawab, lanjut dia, karena itu, jika pemerintah bermaksud ingin memudahkan izin berusaha di sektor haji dan umrah, ia menyarankan agar pemerintah mengevaluasi Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 8 Tahun 2018 yang selama ini mengganjal dan menghambat investasi.

“Karena dalam PMA tersebut ada aturan bila ingin izin PPIU dari Kemenag, maka harus memiliki izin operasi sebagai biro perjalanan wisata umum dari dinas pariwisata yang berusia minimal 2 tahun,” katanya.

Dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Perjanan Ibadah Umrah terdapat pasal yang menghambat investasi, yaitu Pasal 5 ayat 2 huruf f yang menyatakan: Untuk memiliki izin operasional sebagai PPIU, …………..: harus memenuhi persyaratan telah beroperasi paling singkat 2 (dua) tahun sebagai biro perjalanan wisata yang dibuktikan dengan laporan kegiatan usaha.

Untuk menjadi penyelenggara haji plus (PIHK), kata dia, penyelenggara seharusnya tidak perlu menjadi PPIU lebih dulu. Semestinya, jika ingin pangkas birokrasi, keduanya dapat langsung diproses secara bersamaan sehingga cepat dan efesien dan menarik perhatian investor. “Maka keliru bila arah Omnibus Law justru melemahkan perlindungan hukum terhadap jamaah haji dan umrah,” kata Mustolih.  (net/lin)

 

sumber: nu.or.id/WA Group Jurnalis Kemenag (post: 26/2/2020).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *