Oleh Abdul Munif Rachman *)
Semarak.co-Jamaah Membludak, Magnet Al Azhar Idul Adha 1446 H di Masjid Agung Al Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Jumat (6/6/2025) menjadi momen yang luar biasa. Jamaah sholat Idul Adha tahun ini membludak jauh melebihi tahun-tahun sebelumnya.
Jika biasanya jumlah jamaah berkisar 10 hingga 12 ribu, kali ini diperkirakan mencapai 25 hingga 27 ribu orang. Pemandangan di pagi hari itu sangat berbeda: areal sholat yang biasanya cukup di halaman dan lapangan, kini penuh sesak hingga ke bagian belakang.
Bahkan area masjid di lantai dua yang jarang dibuka, akhirnya harus digunakan demi menampung lautan jamaah. Fenomena ini berdampak pada masjid-masjid di sekitar Kebayoran Baru yang mengalami kekosongan jamaah.
Banyak yang memilih berbondong-bondong menuju Al Azhar, bahkan sejak usai Subuh, shaf sudah mulai terisi. Tak sedikit yang datang dari luar Jakarta, rela menempuh perjalanan jauh demi bisa mendengarkan khutbah Anies Baswedan secara langsung.
Media sosial pun ramai dengan kisah dan testimoni para jamaah. Di Facebook, akun @RahmatHidayat menulis, “Baru kali ini sholat Idul Adha di Al Azhar sampai harus naik ke lantai dua. Saya datang jam 5 pagi, parkiran sudah penuh. Luar biasa antusiasme masyarakat.”
Di Instagram, akun @aisyah.familia mengunggah foto keluarga kecilnya di pelataran masjid dengan caption, “Demi khutbah Pak Anies, kami sekeluarga berangkat dari Depok jam 4 pagi. Alhamdulillah, dapat tempat meski harus duduk di belakang. Worth it!”
Sementara di X (Twitter), akun @rizkypratama menulis, “Masjid-masjid sekitar Kebayoran kosong, semua ke Al Azhar. Ternyata benar, khutbah Pak Anies memang beda. Singkat, padat, tapi penuh makna.”
Testimoni-testimoni ini menegaskan bahwa kehadiran Anies sebagai khatib bukan hanya menarik, tapi benar-benar menjadi magnet yang menggerakkan ribuan orang untuk datang dan merasakan langsung atmosfer spiritual dan intelektual yang ia hadirkan.
Dua Komponen Utama: Rasio dan Rasa
Khutbah Anies terdiri atas dua komponen utama. Pertama, materi konseptual yang mengulas tema besar: kesetaraan manusia, keadilan sosial, kota sebagai pusat peradaban, serta Islam sebagai agama urban yang membangun masyarakat adil dan makmur.
Kedua, bagian doa yang sarat emosi—mengungkapkan harapan, potret kondisi masyarakat, kritik sosial, dan ungkapan cinta kepada Allah SWT. Kedua komponen ini membentuk simfoni antara akal dan hati.
Bagi mereka yang haus akan intelektualitas dan nuansa sastra, bagian pertama memuaskan dahaga dengan argumentasi rasional dan referensi keilmuan. Sementara bagi mereka yang mencari kelembutan dan sentuhan emosional, bagian doa menjadi oase yang menyejukkan jiwa.
Kesetaraan Manusia di Hadapan Allah: Refleksi Haji
Anies dengan cerdas mengangkat momentum haji sebagai simbol kesetaraan manusia. Dalam khutbahnya, Anies menegaskan bahwa di padang Arafah, tak ada perbedaan antara kaya-miskin, pejabat-rakyat, kulit putih-hitam.
Semua mengenakan ihram, berdiri sama di hadapan Allah. Konsep ini bukan sekadar retorika, tapi menjadi kritik sosial yang relevan di tengah ketimpangan dan ketidakadilan yang masih terjadi di masyarakat urban Indonesia.
Bobot Keilmuan: Merujuk Ibnu Khaldun dan Al-Farabi.
Keistimewaan khutbah Anies juga terletak pada kedalaman referensi keilmuan. Ia mengutip Ibnu Khaldun, bapak sosiologi Islam, yang menegaskan bahwa kota (madinah) adalah indikator kualitas peradaban. Kota yang adil dan makmur adalah cerminan masyarakat yang beradab.
Islam, menurut Anies, sejak awal adalah agama urban—Nabi Muhammad SAW membangun Madinah sebagai kota yang menegakkan keadilan sosial dan solidaritas. Tak hanya itu, Anies juga menyinggung Al-Farabi, filsuf besar Muslim yang menyebut kota sebagai “al-madinah al-fadilah” (kota utama), tempat kebajikan dan keadilan ditegakkan.
Dengan mengutip dua pemikir besar ini, Anies menunjukkan bobot intelektual khutbahnya—sesuatu yang jarang ditemukan dalam khutbah Idul Adha pada umumnya.
Nuansa Halus dan Emosional dalam Doa
Bagian doa dalam khutbah Anies menjadi klimaks emosional. Dengan suara bergetar, ia mendoakan negeri ini agar dijauhkan dari pemimpin zalim, agar rakyatnya diberi kekuatan untuk saling membantu, dan agar Allah menanamkan cinta serta keikhlasan dalam setiap tindakan.
Doa tersebut bukan sekadar permohonan, tetapi juga potret kondisi bangsa: adanya ketimpangan, kebutuhan akan pemimpin adil, dan harapan akan perubahan. Doa ini disampaikan dengan kelembutan, tanpa amarah, namun tetap menyentil nurani. Di sinilah letak kekuatan khutbah Anies—ia mampu menyentuh hati tanpa harus menggurui atau menghakimi.
Efisiensi Luar Biasa: 19 Menit yang Penuh Makna
Salah satu kehebatan khutbah Anies Baswedan adalah kemampuannya menyampaikan konsep yang begitu lengkap dan mendalam, serta doa puitis yang sarat pesan sosial dan semangat juang, hanya dalam waktu 19 menit.
Durasi ini jauh lebih singkat dibandingkan khutbah-khutbah pada umumnya yang sering kali berlangsung hingga 40 menit, bahkan lebih. Namun, justru dalam keterbatasan waktu itulah keistimewaan Anies terlihat. Ia mampu merangkum dan mengemas materi yang padat, mendalam, dan menyentuh, tanpa bertele-tele.
Setiap kalimat terukur, setiap pesan tersampaikan dengan jelas dan efektif. Tidak ada pengulangan yang tidak perlu, tidak ada retorika kosong. Inilah kemampuan yang jarang dimiliki oleh kebanyakan khatib: menyampaikan pesan besar dalam waktu yang ringkas, namun tetap mendalam dan membekas di hati pendengarnya.
Khutbah yang Berbeda: Simfoni Intelektual dan Spiritual
Jika dibandingkan dengan khutbah Idul Adha pada umumnya yang seringkali bersifat normatif dan repetitif, khutbah Anies menawarkan sesuatu yang segar. Ia tidak hanya mengulang-ulang kisah Nabi Ibrahim dan Ismail, tetapi mengaitkannya dengan realitas sosial kontemporer.
Ia tidak hanya mengajak bersyukur, tetapi juga mengajak berpikir kritis dan bertindak nyata. Khutbah ini menjadi dahsyat bukan karena Anies seorang orator ulung, tetapi karena ia mampu menggabungkan kekuatan nalar dan rasa, intelektualitas dan spiritualitas, kritik dan harapan. Ia mengajak jamaah untuk tidak hanya menjadi pendengar pasif, tetapi pelaku perubahan.
Penutup: Anies, Magnet Umat dan Pembaharu Khutbah
Pujian terhadap khutbah Anies Baswedan bukanlah pujian kosong. Ia layak diapresiasi karena menghadirkan khutbah yang berbasis ilmu, refleksi sosial, dan spiritualitas yang mendalam—semua itu disampaikan secara ringkas dan efisien.
Ia membuktikan bahwa khutbah Idul Adha bisa menjadi ruang edukasi, motivasi, sekaligus kontemplasi yang membangkitkan semangat perubahan. Kehadiran puluhan ribu jamaah, perjuangan mereka datang dari berbagai penjuru, hingga testimoni yang membanjiri media sosial, menegaskan satu hal: Anies Baswedan adalah magnet bagi umat.
Ia bukan sekadar khatib, tetapi pembaharu khutbah yang mampu menggerakkan hati, pikiran, dan langkah umat menuju masyarakat yang lebih adil dan beradab—dan semua itu, luar biasanya, dapat dihadirkan hanya dalam 19 menit yang penuh makna.
*) Pemerhati Sosial Keagamaan
Sumber: WAGroup PERUBAHAN YANG LEBIH BAIK (postJumat13/6/2025/)