Oleh Geisz Chalifah *)
Semarak.co – Rumah saya tak jauh dari kompleks angkatan bersenjata bernama Yon Angrat. Atau nama sekarang Yon Bekang- resimen logistik dan kebutuhan lain. Kadang saya melihat para tentaranya berlari pagi dalam barisan rapi; langkah sama, napas sama.
Awal 2019, seorang prajurit datang ke rumah, mengabarkan bahwa komandannya ingin bertemu. Saya tak tahu untuk apa. Esoknya, sang komandan – perwira muda, Letnan Kolonel Danny Hardiatito – datang bersama asistennya, Pak Sirait dan Pak Rundi.
Pak Danny bercerita bahwa para prajurit keleleran; barak tidak mencukupi; sebagian harus kos di luar, dan Bapak tahu sendiri betapa mahalnya kos di Jakarta. Saya paham betul kondisi itu.
Saat membangun Masjid Nurul Hikmah di kompleks tersebut – dari musala menjadi masjid – bersama seorang prajurit bernama Pak Karni, saya melihat sendiri buruknya fasilitas yang ada. Saya bolak-balik ke dalam kompleks selama pembangunan masjid, berdiskusi berbagai hal.
Jadi saya paham situasinya. Pak Danny meminta saya membantu agar mereka bisa memperoleh dana hibah dari Pemprov DKI – untuk membangun rumah susun dan memperluas masjid. Saya setuju. Saya minta Pak Sirait mengurus semua berkas.
“Semuanya ikuti prosedur dari bawah, kata saya. Saya akan bicara dengan Pak Gubernur dan Wakil Ketua DPRD Jakarta, M. Taufik.”
Sebelum mereka pamit, saya menatap Pak Danny dan berkata sangat tegas – berulang-ulang. “Pak Danny, saya akan bantu maksimal karena ini soal kemanusiaan, kelayakan hidup bagi prajurit. Tapi ada syaratnya: Jangan pernah memberi saya apa pun, apalagi uang. Saya tidak mau, dan kalau diberi, saya batalkan semua.”
Saya tidak mau dirugikan. Sebelumnya saya membangun masjid di situ bersama Pak Karni. Kalau sekarang saya menerima uang, itu sama saja menghilangkan pahala sebelumnya – itung-itungan akhiratnya rugi. Proyek itu nilainya puluhan miliar. Pak Danny terkejut, lalu tersenyum:
“Siap, Pak. Akan kami laksanakan.”
Semua prosedur ditempuh. Pak Sirait melapor setiap tahapan. Dalam sebuah acara buka puasa bersama, saya bertemu M. Taufik. Sambil bercanda saya berkata, “Lu mau jalur cepat ke surga nggak?”
Ia tertawa. Saya lalu ceritakan kondisi barak dan proposal hibah. “Kalau suratnya sampai ke DPRD, gue setujuin. Pengajuan tetap harus lewat pemprov. Gampang, nanti gue bantu.”
Saya juga menyampaikan kepada Gubernur Anies Baswedan. Beliau setuju dan menegaskan bahwa semua harus melalui prosedur resmi. Bantuan seperti itu memang lazim – Pemprov DKI sering membantu lembaga negara: kepolisian, TNI; kadang bangunan, kadang kendaraan.
Proses berjalan panjang. Hampir tiap minggu saya koordinasi dengan Pak Sirait. Hingga suatu hari, setelah beberapa bulan, Pak Sirait mengabarkan bahwa Pak Komandan ingin datang ke rumah. Saya bertanya, “Ada hambatan?”
“Tidak, Pak. Beliau hanya ingin menghadap.”
Istilah “menghadap” membuat saya tidak enak hati. “Kalau begitu saya saja yang datang,” kata saya.
Dia komandan, seorang perwira. Saya yang lebih pantas mendatangi. Pak Sirait bingung – karena dalam aturan militer, prajurit mengikuti perintah komandan tanpa tawar-menawar. Pada hari yang ditentukan, Pak Danny datang. Rautnya gembira. “Dana hibah sudah disetujui DPRD, Pak.”
Beberapa prajurit yang menyertainya kemudian membawa masuk kardus boks. Saya bertanya, “Ini apa?”
Dengan agak canggung Pak Danny menjawab, “Mohon diterima, Pak. Saya orang Jawa. Saya tau bapak tidak mau terima uang. Tapi rasanya nggak pantas datang tanpa membawa apa-apa. Ini cuma anggur.”
Saya membuka kotak berupa boks kardus – berisi anggur hijau. Bulan berlalu. Pak Danny dipindahkan ke wilayah lain di wilayah Bogor. Pembangunan rusun dan masjid dimulai setelah ia tak lagi bertugas – resimen itu sudah dipimpin komandan baru.
Ketika bangunan selesai, saat peresmian Anies tidak hadir; bahkan saat ground breaking pun beliau tidak hadir. Hanya diwakili pejabat Pemprov. Saya bertanya, ini proyek cukup besar, kenapa tak diresmikan sendiri dan jadi berita?
Anies menjawab, tugas pemerintah adalah bekerja dan melayani, bukan pamer yang tak perlu. Biarkan warganya sendiri yang bicara; jangan kita katanya. Beberapa waktu kemudian, warga yang terindikasi penyembah “berhala” bilang: “Rumah susun untuk prajurit dan masjid itu bantuan dari Jokowi.”
Dari mulut ke mulut, lalu sampai ke telinga saya. Untuk hal seperti itu – saya tidak ikhlas. Kami bekerja senyap, tidak ingin jadi pahlawan, tidak ingin pamer. Tapi rasanya tetap ngeselin kalau ada yang mengaku-ngaku, padahal tak pernah terlibat barang sedetik.
Polanya sama persis seoerti ketika JIS menjelang selesai. Fadzlur Rahman Jubir Jokowi mengatakan JIS terwujud karena adanya kontribusi Jokowi. Saya membalas; JIS terbangun berkat kontribusi Jan Pieterszoon Coen.
Begitulah mereka; ada yang pandai menunggang isu, membalik arah angin, dan mengklaim pekerjaan orang lain – seakan jejak yang sah bisa dihapus hanya dengan satu kalimat berisi kebohongan: “Bantuan Jokowi.”
*) penulis adalah pegiat media social dan loyalis Anies Baswedan
Sumber: WAGroup KAHMI Nasional (postSabtu6/12/2025/geiszchalifah)





