Wamendikdasmen Fajar Sebut Pendidikan Berperan Penting Tumbuhkan Kepercayaan Sosial

Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Wamendikdasmen) Fajar Riza Ul Haq.

Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Wamendikdasmen) Fajar Riza Ul Haq menegaskan, pendidikan memiliki peran penting dalam menumbuhkan kepercayaan sosial di tengah dunia yang semakin terpolarisasi.

Semarak.co – Hal ini disampaikan Fajar pada Panel 1 konferensi International Cross-Cultural Religious Literacy (ICCRL) yang diselenggarakan  Leimena Institut bekerja sama dengan Kemendikdasmen di Jakarta pada 11-12 November 2025.

Bacaan Lainnya

Fajar mengingatkan kembali apresiasi Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela saat menjamu kunjungan Indonesia pada 1997.  Mandela memuji kemampuan Indonesia menjadikan keragaman sebagai kekuatan.

“Indonesia memiliki modal sosial yang sangat kuat, dan itulah semangat besar konferensi ini: bagaimana pendidikan bisa menumbuhkan kepercayaan sosial di tengah dunia yang terpolarisasi,” katanya, dirilis humas usai acara melalui WAGroup Mitra BKHumas Fortadik, Rabu (12/11/2025).

Ia juga menyampaikan bahwa jutaan anak Indonesia setiap hari belajar berdampingan dengan teman yang berbeda agama, budaya, dan bahasa. Dalam konteks ini, pendidikan menjadi wadah alami untuk membangun rasa saling percaya.

Fajar mengatakan bahwa hasil penelitiannya bersama Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, tentang praktik pendidikan inklusif di wilayah mayoritas nonmuslim seperti Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Kalimantan Barat.

Penelitian tersebut, yang menghasilkan buku Kristen Muhammadiyah, menemukan bahwa sekolah-sekolah Muhammadiyah di daerah-daerah tersebut dapat diterima dengan baik oleh masyarakat setempat bahkan mendidik anak-anak Katolik dan Protestan.

Fajar menjelaskan bahwa arah pendidikan Indonesia kini diperkaya dengan pendekatan pembelajaran mendalam yang bukan sekadar kurikulum baru, melainkan upaya memuliakan manusia.

“Hakikat pendidikan adalah memanusiakan manusia. Di tengah tantangan digitalisasi dan kecerdasan buatan, kita perlu menegaskan kembali apa arti menjadi manusia,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa pendidikan abad ke-21 harus menekankan soft skills seperti berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, komunikatif, dan empati yang termasuk nilai-nilai yang juga menjadi inti dari 8 Dimensi Profil Lulusan. “Soft skill bukan tambahan, melainkan inti dari kompetensi kemanusiaan,” ujarnya.

Fajar kemudian berbagi pengalaman pribadinya saat studi di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Pengalaman tersebut mengajarkan pentingnya menumbuhkan literasi lintas budaya dan keberagamaan sejak dini, termasuk melalui seni dan budaya. “Beragama membutuhkan hati, dan seni adalah bagian dari memperhalus kemanusiaan,” katanya.

Wamendikdasmen juga menyoroti tantangan baru dunia pendidikan, terutama terkait pengaruh besar media sosial terhadap generasi muda. “Anak-anak hari ini cenderung kehilangan kepercayaan terhadap teman sebaya maupun institusi pendidikan. Bahkan agama kini ditantang relevansinya dalam memberi makna hidup,” ujarnya.

Plt. Wakil Menteri bidang Keuangan, Departemen Pendidikan Filipina, Edson Byron K. Sy, yang turut hadir dalam panel yang sama menjelaskan bahwa saat ini Filipina tengah menghadapi bencana super topan yang merusak sedikitnya 1.500 ruang kelas, namun semangat pendidikan tetap tidak surut.

“Di Filipina, ukuran kepercayaan tidak diukur pada hari yang tenang, melainkan di tengah badai. Ketika topan datang, yang menyelamatkan kami bukan hanya kekuatan atap, tetapi keyakinan bahwa seseorang akan membantu,” ujarnya.

Ia mencontohkan seorang guru yang membuka sekolah sebagai tempat berlindung, atau tetangga yang berbagi beras saat persediaan menipis. “Kepercayaan adalah infrastruktur tak kasat mata yang mempersatukan rakyat ketika segalanya runtuh,” tuturnya.

Edson juga menegaskan bahwa Departemen Pendidikan Filipina terus memperkuat pendidikan nilai dan moral, memperluas pendidikan inklusif, serta memperkenalkan mata pelajaran baru seperti global citizenship, civil engagement, dan community action dalam kurikulum menengah atas yang diperbarui.

“Kompetensi tanpa nurani adalah kehampaan. Karena itu, kami ingin melahirkan pelajar yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berempati dan berperikemanusiaan,” tegas Edson.

“Pendidikan bukan sekadar membangun pikiran yang terinformasi, tetapi juga hati yang berbelas kasih. Di kawasan yang majemuk seperti ASEAN, literasi lintas agama dan budaya bukanlah kemewahan, melainkan bahasa perdamaian dan tata bahasa kepercayaan,” tambahnya. (hms/smr)

 

 

Pos terkait