Partai Idaman menghadirkan saksi ahli dalam sidang pemeriksaan lanjutan kasus pelanggaran administratif pemilu untuk perkara nomor 002/ADM/BWSL/PEMILU/X/2017, di kantor Bawaslu, Jakarta, jumat (10/11). Partai Idaman menggugat KPU ke Bawaslu setelah bersama 12 Partai Politik (parpol) lain dinyatakan tidak memenuhi syarat menjadi peserta pemilu 2019.
Salah satu saksi ahli dalam sidang Partai Idaman itu hadir Chusnul Mar’iyah. Presiden Direktur Center for Election and Political Party University Link, FISIP Universitas Indonesia, dan dosen Ilmu Politik FISIP UI ini mengatakan, sebagai penyelenggara administrasi pemilu yang bebas dan jujur, KPU harus memiliki prinsip adil. Tidak boleh membuat keputusan yang kreatif dan argument akurasi melalui IT Sipol.
“Namun dalam praktiknya terjadi ketidakadilan bagi partai politik tertentu. Diperlukan sosialisasi dan pemahaman fungsi IT KPU Sipol untuk bisa publik terlibat partisipasi apakah data-data yang diupload partai politik calon peserta pemilu tersebut sudah benar atau tidak? Adakah manipulasi dengan bahasa mesin,” ujar Mar’iyah yang tampil terakhir pada sidang di gedung Bawaslu, Jakarta, Jumat (10/11).
Bagaimanakah sistem untuk memperbaiki kesalahan sistem Sipol IT KPU tersebut, lanjut Mar’iyah, SOP tersebut harus pula difahami penyelenggara, peserta dan pemilih (publik). “KPU harus melihat kembali keperuntukan IT Sipol tersebut sebagai alat mencoret partai politik ataukah sebagai alat untuk transparansi dan akuntabilitas kinerja administrasi pemilu,” tanyanya.
Sebaiknya, pinta dia, KPU tidak menggunakan IT Sipol untuk mencoret calon peserta pemilu (partai Politik) karena belum tuntasnya sistem tersebut dalam implementasinya (bukan untuk fashion atau politik “genit” dalam penggunaan IT Sipol ini), namun untuk transparansi dan akuntabilitas politik administrasi penyelenggaraan pemilu yang mendasarkan diri pada Konstitusi dan Undang-Undang yang berlaku.
Lebih jauh Mar’iyah meminta Bawaslu untuk melakukan proaktif dari setiap tahapan pemilu membuat evaluasi dan analisa kepada peraturan KPU agar tidak terlambat dalam memberikan keputusan. UU penyelenggaraan Pemilu untuk pemilu serentak 2019 memberikan kewenangan yang besar pada lembaga Bawaslu. Oleh karena itu Bawaslu dapat menggunakan kewenangan tersebut untuk penyelenggaraan pemilu yang demokratis dan adil.
Dalam sidang Bawaslu sebelumnya, Partai Idaman mempersoalkan Sipol yang amburadul dan menjadi penentu lolos atau tidaknya parpol. Bambang Eka Cahya Widodo selaku saksi ahli berpendapat bahwa KPU tidak mempertimbangkan kesenjangan digital parpol dalam mengisi data lewat Sipol. “Berkaitan dengan sistem informasi, KPU juga perlu mempertimbangkan aspek digital divided,” katanya.
Di wilayah Indonesia yang sangat luas ini sangat besar kemungkinan terjadi kesenjangan digital. Selain itu, lemahnya sosialisasi penyelenggara pemilu kepada calon peserta pemilu semakin memperburuk kondisi. Bambang mengatakan, seharusnya ada pelatihan bagi operator maupun admin parpol sehingga dapat melakukan proses input data maupun mengunggah dokumen dalam Sipol.
Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI periode 2008-2012 ini juga mengungkapkan kelemahan dari sipol yang tidak bisa membedakan antara dokumen yang absah dan dokumen yang diunggah sekadar untuk memenuhi persyaratan. Ketidakmampuannya itu menunjukkan tingkat keandalan Sipol sebagai sistem informasi untuk mengambil keputusan, masih rendah.
Bambang menyimpulkan, apabila Sipol bisa ditipu dengan dokumen kosong maka kemungkinan besar pengambilan keputusan yang dilakukan oleh KPU merupakan keputusan yang salah. Sebab, keputusan KPU didasarkan pada informasi salah yang dihasilkan oleh Sipol.
Dalam Sidang Bawaslu sebelumnya, Komisioner KPU hasyim Asyari menyebut bahwa 10 parpol yang menggugat KPU tidak punya dalil yang kuat untuk melaporkan KPU. “KPU telah membangun seperangkat sistem teknologi canggih yang baik dan semaksimal mungkin. KPU telah mengembangkan sejak jauh hari, sebelum tahapan pemilu dimulai,” ujar Hasyim Asyari. (kpc/lin)