Daripada Holding BUMN, Cari Langkah Alternatif Penyelamatan Perusahaan Negara

Presiden RI Joko Widodo (paling kiri) didampingi Menteri BUMN Rini M. Soemarno (ketiga dari kiri), Menteri PUPR Basuki Hadimuljono (kedua dari kanan), dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo (kedua dari kiri) saat mendengarkan penjelasan Direktur Utama Telkom Alex J. Sinaga (paling kanan) mengenai Balai Ekonomi Desa (Balkondes) Tuksongo yang dibangun oleh Telkom Indonesia di Desa Tuksongo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Senin (18/8).

Rencana pemerintah membentuk induk perusahaan (holding) BUMN terus mendapat kritik dari sejumlah akademisi dan ekonom Indonesia. Pasalnya rencana Kementerian BUMN yang dipimpin Menteri Rini Soemarno dinilai memiliki banyak kelemahan dan tidak akan memberi dampak positif bagi masyarakat dan negara.

Ekonom Faisal Basri dengan tegas menyatakan, diteruskannya wacana membentuk holding BUMN hanya akan memperkecil penerimaan pajak Indonesia. Faisal mencatat, pemerintah sangat gemar memberikan penugasan kepada BUMN bahkan sebelum holding tersebut terbentuk. Jika holding sudah terbentuk, ia khawatir akan semakin banyak penugasan yang diberikan oleh negara.

“Semakin besar skala BUMN, maka akan semakin rendah pembayaran pajaknya. Ini tesis yang baru saja saya persiapkan,” kata Faisal dalam satu diskusi di Jakarta, Kamis (19/10).

PT Kereta Api Indonesia (KAI), lanjut Faisal, ditugaskan selain menjadi operator kereta light rail transit (LRT) juga menyuntik pendanaan LRT Jakarta yang membutuhkan dana Rp 21 triliun. Dalam kacamata Faisal, perusahaan-perusahaan pelat merah tersebut ditugaskan untuk investasi, padahal tidak memiliki uang. Hingga akhirnya mencari pinjaman yang membuat labanya turun semua.

Belum lagi, Pertamina diminta menjual harga BBM yang sama rata di Indonesia, atau PT Perusahaan Gas Negara (PGN) yang dipaksa menjual gas US$ 6 per MMBTU akhirnya harus menanggung penugasan itu dari kas sendiri. “Implikasinya, pembayaran pajak dan dividennya makin kecil,” jelas Faisal.

Faisal menilai, holdingisasi BUMN berdasarkan sektor bisnis yang dijalankan tidak tepat dilakukan karena hanya akan mempersempit ruang kompetisi bagi perusahaan-perusahaan swasta. Bagi Faisal, suatu pemerintahan bisa disebut berhasil jika bisa memperbesar peran swasta dalam pembangunan dan bukan sebaliknya.

“Misal harga beras bisa stabil tanpa ada campur tangan pemerintah, itu artinya pemerintah sudah bisa membuat pilar persaingan bisnis yang sehat. Bukan dengan memperbesar BUMN melalui monopoli yang menciptakan kaidah bisnis yang tidak sehat. Negara ini kok malah menuju state capitalism seperti Uni Soviet tahun 1980-an?” ungkapnya.

Wakil Dekan Bidang Keuangan, Aset dan Sumber Daya Manusia, Fakultas Ekonomika & Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Kusdhianto Setiawan menambahkan, permasalahan utama BUMN di Indonesia terletak pada kelemahan manajemen dan intervensi pemerintah. “BUMN yang berbentuk Persero itu tugasnya adalah berbisnis bukan menerima penugasan. Kalau untuk tugas khusus seperti itu kan ada BUMN berbentuk Perusahaan Umum (Perum) yang tidak mengedepankan profit,” kata Kusdhianto.

Skala Perusahaan Tidak Penting

Ia juga mengkritik alasan pemerintah menggabungkan beberapa perusahaan pelat merah yang bergerak di sektor bisnis yang sama untuk memperbesar skala perusahaan, sehingga bisa lebih mudah mencari pendanaan untuk keperluan ekspansi. Menurut pria berperawakan tinggi besar tersebut, dalam persaingan bisnis global saat ini ukuran perusahaan sudah menjadi syarat penting lagi dalam memenangkan kompetisi.

Ia mencontohkan, banyak perusahaan transportasi konvensional besar di Indonesia akhirnya kalah bersaing dengan perusahaan penyedia layanan transportasi online yang lebih inovatif dan peka kebutuhan masyarakat. “Lihat saja taksi konvensional tiba-tiba mati karena tidak siap dengan inovasi dan business model yang baru,” ujarnya.

Ia juga mengaku tidak yakin holdingisasi BUMN yang dilakukan pemerintah bisa mencapai tujuan efisiensi penggunaan dana investasi. Pasalnya, beberapa bidang usaha seperti minyak dan gas bumi (migas) memang membutuhkan investasi yang besar jika mau berkembang.

Kusdhianto mencontohkan wacana menggabungkan PGN dan Pertagas sebagai anak usaha Pertamina tidak akan mampu menciptakan efisiensi investasi. “Sekarang PGN dan Pertagas punya aset sendiri, lalu dengan digabungkan harapannya bisa efisiensi dan membuat struktur modal yang lebih baik. Tetapi efisiensi dalam operasi bisnisnya belum tentu. PGN sudah punya jalur distribusi sendiri, Pertagas juga. Kalau disatukan, asetnya tetap sulit digabungkan,” katanya.

Terlebih dengan status PGN sebagai perusahaan publik yang tercatat di Bursa Efek Indonesia. Kusdhianto mencatat sejak wacana penggabungan PGN dengan Pertagas, harga sahamnya terus merosot. Pada Januari 2016, harga saham PGN tercatat masih ada di level Rp 6.050 per saham.

“Saat sering diberitakan, muncul ketidakpastian bagi investor. Risiko pasarnya naik. Sehingga di November harganya turun jadi Rp 2.300 per saham. Ini akibat melempar wacana soal holdingisasi dan merger yang belum matang tetapi sudah dilempar ke publik,” tegasnya.

Sebelumnya, Menteri BUMN Rini Soemarno memastikan persiapan teknis pembentukan holding oleh Kementerian BUMN sudah mencapai tahap final. Ia menargetkan dua holding BUMN yang bergerak di sektor migas dan tambang akan terbentuk di kuartal empat 2017.

Selanjutnya pada 2018, Rini juga memastikan ada empat holding BUMN terbentuk yaitu perbankan, konstruksi, jalan tol, dan perumahan. Menurut Rini, hal yang menyebabkan pembentukan holding membutuhkan waktu lama adalah menyamakan pemikiran dan persepsi di antara perusahaan BUMN. (lin)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *