Seperti diketahui, pada amar putusan Mahkamah Konstitusi yang dibacakan pada hari Rabu (11/12), Ketua MK Anwar Usman mengabulkan sebagian permohonan dari ICW dan Perludem.
semarak.co -Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang.
Anwar menyatakan Pasal 7 Ayat (2) Huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada bertentangan dengan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dengan demikian, MK mengabulkan permohonan adanya masa tunggu bagi mantan terpidana selama 5 tahun sebelum mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Selanjutnya, seorang calon kepala daerah yang merupakan mantan narapidana harus mengumumkan latar belakang dirinya sebagai seorang mantan napi. Adapun permohonan ICW dan Perludem mengenai waktu masa tunggu selama 10 tahun, tidak dikabulkan.
Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Kupang Ahmad Atang menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberikan ruang bagi mantan narapidana koruptor untuk ikut dalam kontestasi pilkada sebagai putusan yang kontraproduktif.
“Putusan MK tersebut menjadi kontraproduktif di tengah kuatnya semangat dan upaya pemberantasan korupsi di satu pihak dan di pihak lain mantan koruptor diberi angin segar dalam ruang politik,” kata Ahmad Atang, di Kupang, Kamis (12/12/2019).
Ahmad Atang mengemukakan hal itu berkaitan dengan putusan MK yang membolehkan mantan napi koruptor mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Menurut Ahmad Atang, dalam konteks political right, putusan MK yang membolehkan mantan koruptor ikut pilkada merupakan bagian dari hak politik rakyat.
Dengan demikian, suka atau tidak suka, konstitusi telah menjamin mantan koruptor mempunyai hak dipilih. Oleh karena itu, nasibnya sangat tergantung pada partai politik dan masyarakat yang mempunyai hak pilih, kata mantan Pembantu Rektor I UMK itu.
Analis politik dari Universitas Diponegoro (Undip) Teguh Yuwono memandang perlu pendidikan politik bagi rakyat supaya mereka tidak memilih eks narapidana koruptor pada Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2020.
“Bicara idealisme membangun pemerintahan yang bersih, kalau dari segi hukum, eks koruptor tidak bisa disetop atau dikurangi, tentu dari segi pendidikan politik didorong supaya orang-orang tidak memilih eks napi koruptor,” kata Teguh Yuwono di Semarang, Kamis pagi (12/12/2019).
Teguh yang juga Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) menilai apa yang diajukan aktivis itu bertujuan supaya pemilih lupa akan orang itu atau mulai dari nol.
“Akan tetapi, kepentingan politik selalu bermain. Bahkan, di semua keputusan hukum selalu ada keputusan politik itu,” ujar Teguh yang pernah sebagai Ketua Program Magister Ilmu Politik FISIP Undip
Soal eks narapidana kasus korupsi masih berpeluang menjadi calon kepala daerah/wakil kepala daerah pada Pilkada Serentak 2020, menurut Teguh, sebetulnya ini bergantung pada perspektifnya.
“Jadi, kalau lembaga pemasyarakatan dinilai sebagai lembaga yang ditujukan untuk memasyarakatkan orang, membuat orang lebih baik, siapa pun yang jadi narapidana, ya, bisa menjadi calon karena itu hak konstitusional,” katanya.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar mengatakan bahwa Peraturan KPU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang ditetapkan pada 2 Desember 2019 dapat disusun kembali menyesuaikan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
“Jika sudah ada putusan MK, peraturan teknis (PKPU) dapat disusun sesuai dengan putusan MK,” kata Bahtiar dalam rilisnya yang diterima wartawan di Jakarta, Rabu (11/12/2019).
Hal itu, kata dia, cara menjadi penyelenggara negara yang benar. Bahwa dalam pembatasan hak seseorang, berdasarkan Pasal 28 J Ayat (2) Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, harus dilakukan melalui undang-undang, bukan melalui peraturan teknis.
Bahtiar mengatakan bahwa keputusan MK setingkat dengan UU dan bersifat final dan mengikat. “Keputusan MK setingkat dengan UU dan sifatnya final dan mengikat. Jadi, tidak boleh membatasi hak warga negara hanya melalui atraksi rekayasa peraturan teknis yang melampaui UU atau sekadar membangun opini publik,” ujar Bahtiar.
Sebelumnya, Bahtiar yang juga Kepala Pusat Penerangan Kemendagri itu dalam keterangannya mengatakan bahwa Pasal 4 PKPU No. 18/2019 soal persyaratan calon kepala daerah, tidak ada larangan bagi mantan terpidana korupsi untuk maju dalam pilkada.
Penambahan norma Pasal 3A ayat (3) dan (4) dalam PKPU, menggunakan subkata “mengutamakan” yang berarti norma persyaratan dan tidak mengikat, norma yang bersifat imbauan.
Sublema “mengutamakan” bukan berarti melarang calon pasangan kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang memiliki latar belakang mantan narapidana kasus korupsi untuk mengikuti seleksi calon kepala daerah. Hal itu sepenuhnya adalah kewenangan partai politik jika tetap ingin mengajukan calon mantan narapidana korupsi tersebut.
Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menegaskan bahwa partainya tidak akan mencalonkan mantan terpidana kasus tindak pidana korupsi sebagai calon kepala daerah dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020.
“Partai Gerindra kemarin melalui Ahmad Muzani selaku Sekjen dan juga juru bicara partai telah menegaskan sikap resmi partai adalah tidak akan mencalonkan mantan napi koruptor di Pilkada,” kata Dasco di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa.
Dia mengatakan DPP Partai Gerindra telah menginstruksikan kepada seluruh DPD dan DPC Partai Gerindra untuk membuka penjaringan calon kepala daerah. Namun menurut dia, seleksi awal di tingkatan DPC adalah yang paling tahu calon yang diusung Gerindra dalam kontestasi Pilkada. “Seleksi pertama awal di tingkatan DPC yang paling tahu, seleksi pertama adalah mantan napi koruptor tidak bisa mencalonkan di Pilkada,” ujarnya.
Selain itu Dasco juga mengomentari terkait Peraturan KPU (PKPU) Nomor 18 Tahun 2019 tentang pencalonan kepala daerah yang tidak mencantumkan aturan larangan mantan terpidana kasus korupsi.
Dia menilai, dalam UU tidak tercantumkan larangan tersebut sehingga kalau PKPU mencantumkan aturan tersebut maka rentan dilakukan uji materi. “Karena di aturannya tidak tercantum sehingga memang nanti rentan apabila dicantumkan dalam PKPU, itu rentan memang di judicial review,” ujarnya.
Dasco menilai bagaimana masing-masing partai politik memenuhi harapan masyarakat agar ada calon yang integritasnya benar-benar sudah teruji. Sebelumnya, KPU membuat PKPU nomor 18 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas PKPU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Wali kota dan Wakil Wali kota.
KPU hanya mengatur larangan bagi dua mantan terpidana ikut dalam Pilkada yaitu bukan Mantan Terpidana bandar narkoba dan bukan Mantan Terpidana kejahatan seksual terhadap anak, yang tertuang dalam Pasal 4 ayat H.
KPU menambahkan satu pasal dalam PKPU yang mengimbau partai politik untuk mengutamakan bukan mantan terpidana korupsi, aturan itu dituangkan dalam pasal 3A ayat 3 dan 4.
Pasal 3A ayat 3 disebutkan bahwa Dalam seleksi bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengutamakan bukan mantan terpidana korupsi.
Lalu dalam Pasal 3A ayat 4 disebutkan bahwa Bakal calon perseorangan yang dapat mendaftar sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota diutamakan bukan mantan terpidana korupsi. (net/lin)
sumber: indopos.co.id