Wudhu Melatih dan Menimbulkan Kesadaran Semiotik

Oleh Subakti Mas Babak

semarak.co– Tentu saja, kita harus membedah terlebih dahulu semiotika sebagai unsur penting dari tag ini. Yang pertama seorang ahli filsafat Amerika Charles Sanders Peirce (1839-1914) dengan begitu yakin mengatakan bahwa kita hanya dapat berpikir dengan sarana tanda

Bacaan Lainnya

Sudah pasti bahwa tanpa tanda kita tidak dapat berkomunikasi. Sebenarnya kata semiotika sudah digunakan oleh filsuf Jerman Lambert pada abad XVIII sebagai sinonim kata logika.

Berikutnya Ferdinand de Saussure (1857-1913) yang terkenal dengan pertanyaannya yang mengganggu; Apakah sebenarnya bahasa itu? Baginya bahasa adalah sistem tanda ?! Semiotika memang tak mudah untuk dipahami.

Tapi sudahlah, bagi saya yang terpenting adalah bagaimana mewujudkan semua teori tersebut sebagai rujukan yang memiliki korelasi dalam kaitan wudhu (membersihkan diri lahir batin sebelum menghadap pada Allah Ta’ala). Memang sangat personal sekali….

Yang pertama tentu kita harus sepakati bersama apa esensi wudhu sebagai fase awal dari ibadah utama dalam disiplin Islam. Rasulullah bersabda: Miftaahul jannatiss shalat- kunci surga adalah shalat.

Dan Al-Qur’an pun menjawab: mahaafazo allalkhomsi biikmaali tuhuuriha wamawaakiitiha kanatlahu nuurouwa burhanan yau’malqiamati wamandoyya ‘ahha husyiro ma’a firaunna waahamanna (Barang siapa menjaga shalat lima waktu dengan menyempurnakan wudhunya dan waktu-waktunya, maka sholat itu akan menjadi nur dan bukti iman baginya nanti pada hari kiamat.

Dan barang siapa menyia-nyiakan shalat-shalat itu, maka ia akan dikumpulkan bersama Fir’aun dan Haman. Mengimani hal di atas, wudhu pun menjadi begitu penting dalam kontruksi ibadah paling utama dalam keimanan Islam: Shalat.

Seperti diriwayatkan Abu Hurairah, “Barangsiapa berwudhu, ia menyempurnakan wudhu-nya.Kemudian keluar dgn sengaja untuk shalat,maka ia dianggap berada dlm keadaan sholat,selama ia masih berniat untuk shalat.

Setiap ayunan langkahnya dicatat sebagai kebaikan baginya dan dgn ayunan langkahnya yang lain dihapus satu kesalahan darinya. Karena itu apabila salah seorang diantara kalian mendengar iqamat, maka tidak seyogyanya menunda-nunda waktu.

Sesungguhnya yg paling besar pahalanya diantara kalian adalah yg paling jauh rumahnya. Orang-orang bertanya; kenapa begitu wahai Abu Hurairah ? Abu Hurairah menjawab : Karena banyak ayunan langkahnya.

Jadi jelas,wudhu menjadi teramat penting dari pondasi bangunan shalat dlm konteks kesatuan yg menyeluruh. Sekarang kita bicara perihal perspektif saya tentang kesadaran semiotik dlm ritual Wudhu.

Syarat utama untuk memahami tulisan ini tentu adalah pemahaman tentang semiotik yg bersinergis dgn keikhlasan iman dan kesadaran akan keharusan mewarisi ilmu yg maslahat sebagai pendamping.

Kronologisnya: Tentunya dimulai ketika kita melangkah menuju masjid dgn keikhlasan,seketika mendengar azan merengkuh langit, menggetarkan telinga sekaligus membisiki lembut hati nurani untuk segera memandang wajah Allah Azza wa Jalla. Berikutnya, kita mulai menstimuli kesabaran,ketika kita harus nenunggu giliran mengambil air wudhu.

Setelah itu kita pun mulai ber-wudhu dengan air suci yang dihibahkan Allah bagi hambanya. Lantunkanlah zikir dalam hati sebab kita telah mendapat barokah dariNya (Air dalam keyakinan sufistik adalah wujud kedua yang diciptakan Allah setelah nur).

Fase selanjutnya adalah ritual wudhu yang menimbulkan kesadaran semiotik. Dimulai dengan basmalah, dilanjutkan dengan membasuh membersihkan kedua telapak tangan. Serta merta imajinasi ikhlas yang kita miliki akan melahirkan nalar yang lalu menstimuli kesadaran semiotik dengan berbisik lirih, bahwasanya;

Kita diharamkan melakukan kezholiman pada sesama melalui kedua telapak tangan yang kita miliki. Lalu, kedua telapak tangan kita hendaknya selalu hangat oleh semangat silahturahim yang tulus. Kedua tangan kita hendaknya digunakan untuk menggenggam kekuatan guna memperjuangkan amar ma’ruf nahi munkar (menegakkan kebenaran-mencegah kemunkaran).

Dan kedua tangan kita hendaknya siap menjadi perangkat bagi tegaknya filosofi universal Islam; Rahmatan Lil Alamien. Ritual berikutnya adalah membasuh membersihkan rongga mulut: Dan nalar semiotik yang muncul adalah disiplin untuk menjaga ucapan yang mungkin dpt melahirkan konflik, fitnah serta bentuk-bentuk kezholiman lain melalui kata dan kalimat.

Selanjutnya,membersihkan dgn membasuh wajah secara menyeluruh,sambil berdoa; Saya ber-wudhu dgn ikhlas kerena Allah semata. Nalar semiotik yang muncul adalah kesadaran bahwa wajah adalah cermin dari eksistensi seseorang. Dan manifestasinya  adalah dia harus terhindar dari kekotoran duniawi.Tak boleh ada topeng yang melekatinya.

Dia mutlak bersih sebersih-bersihnya, terutama dalam kaitan sosial. Berikutnya; membersihkan kepala secara menyeluruh. Nalar semiotik yang mendasar adalah kesadaran yg muncul untuk mensinergikan kecerdasan intelektual,emosional dan spiritual yang dihibahkan Allah Ta’ala, agar dapat bermanfaat bagi masyarakat luas dgn mengeliminir segala hasrat mudharot.

Dengan begitu,spirit ibadah akan melingkupinya untuk melahirkan gagasan serta kebijakan bagi bangsa dan negara. Kemudian ritual penutup dgn membasuh membersihkan kedua kaki dgn takzim; nalar semiotik yang hadir adalah desakkan semangat ibadah untuk selalu kedua kaki menuju arah kemaslahatan sekaligus berada pada alur dan ruang ibadah yang diridhoi Nya.

Dan tentu bagi mereka Para Penentu Kebijakan setiap langkah haruslah merupakan cermin dari kebenaran dan keadilan sesuai tuntunan Allah Ta’ala dan Rasulnya.

Nah, sahabat FB dimanapun. Bulan Ramadhan penuh berkah ini tentunya menjadi moment penting untuk menjadi landasan bagi setiap mukmin mewujudkan nalar semiotik dari ritual wudhu, tentunya sesuai perspektif maslahat berbasis keikhlasan dalam ruang ibadah yg kita miliki. Personal sekali: Insha Allah – La haula walla quwwata illa bilahil aliyil adzimmi.

 

sumber: akunfacebook subakti mas babak (post 16 Mei 2020)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *