Ketua Dewan Pers, Moh. Nuh mengatakan, Transformasi digital adalah satu keharusan yang mau tidak mau harus kita lalui. Yang harus kita lakukan menghadapi masa ini, kata Nuh, adalah harus terus membangun kebersamaan. Sudah jelas lawan kita, gempuran disrupsi digital.
semarak.co-“Media harus sustainability,” kata Nuh membuka Webinar Nasional tentang Jurnalisme Berkualitas: Menguatkan Keberlanjutan Profesi Wartawan dan Penerbitan Pers Guna Menyehatkan Demokrasi di Tengah Gempuran Disrupsi Digital dalam rangkaian Hari Pers Nasional (HPN) 2021 di Ancol Jakarta, Minggu (7/2/2021).
Untuk itu, lanjut Nuh, perlu terus dikuatkan. Kawan-kawan pers esensinya adalah penjahit. Namun, kadang kala pakaian itu sering melorot robek sebelahnya sehingga menjadi tidak bermanfaat. “Esensinya, pers harus terus menjahit sehingga tidak ada pakaian yang tidak bisa digunakan karena lengan sebelahnya, misalnya, copot,” ujarnya.
Jadi, tambahnya, tugas kita harus terus menjahit. Potensi kebangsaan dan kenegaraan harus terus dijahit supaya menjadi kuat. Fenomena kemestian harus sinergi. Dalam konvegensi tidak ada yang tidak bisa.
Hanya saja perlu dipikirkan kesahian, ketepatan, dan kualitas media. Ini adalah jalan yang benar. Keberlangsungan industri pers harus dijaga, dipastikan sustainabel. Perlindungan kepada wartawan harus disampaikan kepada pemerintah agar kesejahteraannya yang menjadi perjuangan yang tiada henti dapat terwujud.
Sebab, tambahnya, apa yang kita hadapi sekarang, mau tidak mau harus dijalani. Transformasi media adalah satu keharusan yang tidak terbantahkan. “Jangan kita terjebak pada merasa nyaman. Pandemi Covid-19 telah membawa banyak perubahan. Tak terkecuali transformasi teknologi. Saya berharap semua ini dapat kita lalui,” pungkasnya.
Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko yang turut menjadi narasumber mengatakan gempuran disrupsi digital, tidak saja dirasakan media mainstream namun turut dirasakan pula Kantor Staf Presiden juga mengalaminya.
Disrupsi digital sendiri menjadi tantangan besar buat nilai jurnalisme di Indonesia. Berita hoaks, palsu, disinformasi dan lainnya menyebar di jagad maya lewat media sosial dan aplikasi pengirim pesan tanpa ada saringan.
Mantan panglima TNI di era Presiden SBY ini menuturkan, fenomena seperti clickbait, judul, dan isi berita yang tidak sesuai juga menyebabkan kerap terjadinya misinformasi. Kemudian hadirnya news aggregator yang seolah menjadi portal berita yang tidak menjaga kualitas dan kode etik jurnalistik.
“Ketika naik dan terbaca oleh orang dan dijadikan referensi, nah bisa disinformasi, berita lama bisa muncul lagi dan tersebar di media sosial sehingga terjadi disinformasi di masyarakat,” kata Moeldoko.
Ia melanjutkan, disinformasi menjadi biang suburnya hoaks, dari Maret hingga Januari 2021 saja, ada 1.400 hoaks soal pandemi dan vaksin yang tersebar di media sosial. “Pemerintah pasti tak bisa jalan sendiri. Peran media ikut terlibat berpartisipasi untuk menanggulangi Covid-19 ini diharapkan,” ucapnya.
Ketua Umum PWI Pusat sekaligus Penanggung Jawab HPN 2021 Atal S. Depari mengajak semua insan pers untuk saling membangun, saling menopang, dan juga saling menguatkan dalam satu tujuan, menjaga negara kesatuan Republik Indonesia.
Ketua Umum PWI Pusat, Atal S Depari maupun Wakil Ketua Dewan Pers, Hendry Ch Bangun sama-sama membahas berbagai daerah yang melibatkan wartawan baik sebagai terlapor maupun pelapor di kepolisian.
Padahal wartawan tidak memiliki legal standing atas hal itu. Sebagai contoh bila terjadi sengketa pemberitaan bukan urusan wartawan. Baik Atal S Depari maupun Hendry Ch Bangun sepakat hal itu diatur Pasal 12 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Legal standing sengketa itu ada pada penanggung jawab.
Hendry mengungkapkan Dewan Pers telah melakukan MoU dengan Kompolnas menyangkut penanganan sengketa pers. Nantinya diharapkan ada pelatihan dan sosialisasi terkait sengketa yang melibatkan pers agar paham legal standing atas kasus sengketa pemberitaan maupun sensor atau penghalangan saat kegiatan jurnalistik.
Pasal 18 ayat (2) dengan jelas mengatakan apabila ada pelanggaran terhadap Pasal 5 ayat (1), Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 13 yang bertanggung jawab, adalah perusahaan pers, bukan wartawan.
Sebaliknya bila ada pelanggaran terhadap Pasal 18 ayat (1) legal standing juga berada pada perusahaan pers yang diwakili oleh penanggung jawab perusahaan pers, sesuai Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU Pers.
Ketua Komisi Kompetensi PWI Pusat Kamsul Hasan menambahkan, UU Pers memang menganut sistem pertanggungjawaban korporasi bila melihat pidana pers pada Pasal 18 yang terdiri dari tiga ayat.
“Tidak ada satu ayat pun pada Pasal 18 yang mengarah ke wartawan atau organisasi profesi kewartawanan. Semuanya diwakili penanggung jawab perusahaan pers,” tegas Kamsul Hasan yang juga seorang dosen.
Perlindungan hukum terhadap wartawan yang tengah menjalankan profesi jurnalistik seperti diatur Pasal 8 dan penjelasannya tidak terkait pidana pers pada Pasal 18 UU Pers. Bila wartawan ingin gunakan UU Pers maka harus didukung perusahaan pers tempatnya bekerja sesuai Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3).
Perusahaan pers sesuai standar perusahaan pers yang diatur Dewan Pers harus mendukung. Apakah organisasi profesi kewartawanan memiliki legal standing atas Pasal 18 ayat (1)? Jawaban sudah barang tentu tidak. Silakan baca dengan cermat kaitan antara pasal itu.
Namun demikian kata Kamsul dia sangat mendukung bila organisasi profesi kewartawanan melakukan advokasi atau pendampingan bagi anggota yang yang berhadapan dengan hukum, tetapi bukan sebagai pelapor.
Wartawan sebagai warga negara bisa gunakan haknya sesuai Pasal 8 dan penjelasannya dengan gunakan hukum lain di luar UU Pers. Begitu juga organisasi profesi dapat memiliki legal standing dan menjadi pelapor apabila materi hukum atau alat buktinya jelas menyerang kehormatan institusinya.
Pasal yang mungkin digunakan adalah 335 KUHP atau 351 dan 353 KUHP serta Pasal 170 KUHP. Penyerangan kehormatan dan atau pengancaman dengan gunakan media elektronik dapat gunakan UU ITE.
Topik lainnya yang dibahas terkait revenue sharing, bagi hasil pendapatan kotor Google dan atau perusahaan asing sejenisnya dengan perusahaan pers di Indonesia. “Indonesia perlu membuat UU terkait pola bagi hasil seperti Google dengan perusahaan pers di Indonesia. Selama ini tidak jelas,” kata Atal.
Saat ini perusahaan pers di Indonesia sedang mempelajari hal serupa yang diberlakukan di Inggris, Perancis dan Australia. “Versi Indonesia disesuaikan dengan kondisi setempat,’ tegas Atal. (net/smr)
sumber: koin24.co.id di WAGroup Guyub PWI Jaya