Tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar dalam kasus dugaan korupsi pengadaan pesawat dan kerugian operasional dinilai melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
semarak.co-Perkara ini sebelumnya telah disidangkan sehingga berdasarkan asas nebis in idem, kasus yang sama tidak dapat disidangkan dua kali. Bahkan dalam kasus genosida, asas nebis in idem tetap berlaku, apalagi dalam kasus korupsi.
Monang Sagala, Kuasa Hukum Emirsyah Satar menanggapi tuntutan JPU di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Kamis (27/6/2024). Diketahui JPU mengajukan tuntutan pidana penjara selama 8 tahun terhadap Emirsyah Satar, selain uang denda dan uang pengganti.
Dikatakan Monang Sagala, fakta-fakta mengenai pengadaan pesawat Bombardier CRJ 1000 dan ATR 72-600 serta kerugian operasionalnya sudah terungkap dalam penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2018 dan telah diperiksa dalam sidang tahun 2020-2021.
“Subyek dakwaan, lokasi, dan waktu kejadian sama dengan kasus yang sekarang,” kata Monang Sagala dalam keterangan pada wartawan usai sidang di PN Jakpus, Kamis (27/6/2024) seperti dirilis yang diterima redaksi semarak.co, Jumat (28/6/2024).
Pada sidang 2020-2021, terang Monag, Emirsyah Satar telah dikenakan uang pengganti sebesar USD2,1 juta Singapura serta denda sebesar Rp1 miliar yang telah dibayarkan. Emirsyah juga telah dikenakan Pasal 65 KUHP tentang perbarengan atau concursus.
Sehingga seluruh hukuman terkait pengadaan dan kerugian operasional tersebut sudah terserap dan tidak boleh dihukum ulang. Fakta persidangan menunjukkan bahwa hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menjadi dasar dakwaan ternyata salah hitung.
Diskon tiket penumpang yang seharusnya menjadi variabel pengurang digunakan sebagai variabel penambah sehingga hasil perhitungan BPKP salah total. BPKP juga mengesampingkan fakta bahwa pengadaan pesawat dilakukan untuk mewujudkan Undang-undang No. 17 tahun 2007.
Yaitu tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025 jo Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025.
“Saksi mantan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Marie Elka Pangestu menyatakan bahwa pada tahun 2011 Garuda Indonesia diminta membantu membuka jalur penerbangan baru dan meningkatkan pariwisata sesuai program MP3EI,” kutip Monang.
“Pesawat Bombardier CRJ 1000 dan ATR 72-600 sangat membantu pemerintah pada saat itu, dan Emirsyah Satar aktif dalam rapat dan diskusi dengan Tim MP3EI yang dipimpin Marie Elka Pangestu,” demikian Monang menambahkan.
Selain itu, terbukti selama Emirsyah Satar menjabat sebagai Dirut, Garuda selalu mencatat keuntungan. Meskipun operasional pesawat Bombardier CRJ 1000 dan ATR 72-600 merugi, secara keseluruhan Garuda tetap untung berkat subsidi silang dari rute utama.
Dukungan Garuda dalam membuka rute-rute baru di daerah terpencil meningkatkan konektivitas dan pertumbuhan ekonomi sebagai wujud fungsi sosial BUMN. Dalam sidang menurut Monang, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin Prof. Juajir Sumardi menjelaskan, jika tidak ada fakta dan perbuatan baru pasca putusan berkekuatan hukum tetap, maka perkara ini adalah nebis in idem.
Mantan Jaksa Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) RI Prof. Widyo Pramono, Kembali Monang mengutip, juga menyatakan hal serupa bahkan menyebut ini sebagai suatu penzaliman.
Prof. Juajir Sumardi menambahkan, kutip Monag lagi, dalam perkara suap yang menjerat Emirsyah Satar di KPK tahun 2020-2012 sudah terkandung unsur penyalahgunaan kewenangan (Pasal 3 UU Tipikor) dan kerugian negara (Pasal 2 UU Tipikor).
“Terbukti bahwa Emirsyah Satar telah dihukum membayar uang pengganti sehingga kasus ini adalah nebis in idem. Pengadilan sebagai benteng terakhir dapat memberikan putusan seadil-adilnya” harap Monang. (smr)