Terorisme di Indonesia: Akar Permasalahan dan Penanganannya

salah satu adegan dari aksi penyelamatan anggota TNI terhadap teroris di UMB. Foto: dok humas

Oleh Noor Huda Ismail *

semarak.co-Indonesia telah melewati serangkaian serangan teror mematikan dari para aktifis Islam yang bermimpi mendirikan Negara Islam (Islamic State) sejak awal tahun 2000an. Serangan teror mereka yang paling mematikan adalah pengeboman Bali pada tahun 2002 yang menewaskan 202 orang.

Bacaan Lainnya

Untuk mengatasi permasalahan ini, kita harus memahami terlebih dahulu akar permasalahan dan faktor-faktor pendorong lainnya yang terjadi belakangan ini. Untungnya, ada secercah harapan dalam penyelesaian dari peliknya masalah ini, jika kita benar-benar mendalaminya dengan seksama.

Akar masalah terorisme di Indonesia itu sangatlah dalam. Secara historis, kecewa dengan sistem pemerintahan Soekarno yang dinilai tidak mengakomodasi kepentingan umat Islam, tahun 1940an, Kartosuwirjo mendirikan negara Islam yang kemudian disebut dengan istilah Darul Islam (DI) atau negara Islam.

Puncaknya pada tahun 1950an, ketika Darul Islam (DI) itu berhasil menguasai beberapa wilayah seperti Aceh, Sulawesi Selatan dan Jawa Barat. Meski Darul Islam (DI) berhasil dinetralisir pada tahun 1960 an, sisa-sisa pendukung ideologi DI, seperti Jemaah Islamiyah (JI), masih terus berjuang mendirikan Negara Islam hingga hari ini.

Mimpi mendirikan negara Islam masih menyebar di lakangan masyarakat Indonesia pada umumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Pertahanan menunjukan bahwa 23% pelajar SMA dan Mahasiswa di Indonesia setuju dengan gagasan Negara Islam atau Khilafah untuk Indonesia.

Akar masalah yang begitu dalam ini semakin diperkuat oleh keberadaan gagasan-gagasan ekstrimis Salafi dari Timur Tengah belakangan ini. Gagasan-gagasan ini telah mengerus kebhinekaan yang sudah menjadi fondasi dari keragaman budaya dan toleransi beragama di Indonesia yang telah hadir sejak lama.

Ironisnya, gagasan radikal ini telah disebarkan lewat pengajian informal di rumah-rumah yang dihadiri oleh kelompok kecil terdiri dari 10 sampai 15 orang.

Metode ini dipilih oleh para pengusung negara Islam dan pendukungnnya lantaran pola pengajian seperti ini lebih sulit diawasi atau diatur oleh pemerintah, tidak seperti pesantrens ataupun sekolah.

Metode ini dianggap lebih aman untuk membentuk dan memobilisasi orang-orang yang dapat dipercaya oleh mereka karena peserta hanya mereka yang diundang lewat grup obrolan terbatas di Telegram.

Internet di satu sisi juga telah memperburuk keadaan. Kecepatan, kemudahan akses dan sifat dasar internet yang terdesentralisasi telah memperluas jangkauan propaganda ekstrimis (VE) kepada para sasaran potensial.

Persinggungan antara unsur online dan offline dari aktivitas propaganda dan rekrutmen para ekstrimis ini memungkinkan terciptanya identitas kolektif yang kuat.

Pada konteks ini, para kandidat yang akan direkrut terseret dalam dampak echo-chamber (efek kamar gema) yaitu mereka bertemu dan kemudian berbagai kekecewaan hidup dan kemudian dibungkusn dalam ideologi radikal.

Pada saat itulah, secara perlahan niat dan juga kemampuan mereka untuk melakukan tindakan terorisme muncul.

Meskipun internet di satu sisi menjadi salah satu pendorong utama dari masalah terorisme akhir-akhir ini, di sisi lain internet juga bisa menjadi solusi. Salah satunya dengan menodentifikasi individu yang memiliki potensi berisiko lewat postingan-postingan radikal mereka.

Namun metode online saja mungkin akan sulit dilakukan. Oeh karenanya upaya identifikasi ini perlu ditndaklanjuti melalui maupun intervensi offline. Untuk melakukan intervensi ini, salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan mendorong peran “credible voices” atau sosok yang layak dipercaya untuk menjadi ‘mentor’ atau pembimbing.

Tugas mereka adalah mendekati individu berisiko, membangun komunikasi dan membantu mereka yang terpapar faham radiikal ini meninggalkan lingkaran radikal mereka itu.

Intervensi semacam ini seyogyanya didasarkan pada tiga prinsip Heart (Hati), Hands (Tangan), and Head (Kepala) atau pendekatan  “Triple H”.  Pendekatan “Heart” bertujuan untuk membangun kepercayaan mereka kepada individu beresiko.

Pendekatan Hand bertujuan untuk membantu mereka menyalurkan energi mereka  kepada kegiatan dan arah yang baru serta melibatkan lingkaran sosial baru.

Pendekatan Head bertujuan untuk membujuk mereka untuk mempertimbangkan ideologi lama mereka dengan memberikan prioritas kehidupan yang berbeda dan menjauhkan mereka dari cara hidup radikal dan kekerasan mereka yang lama.

Pendekatan Triple H telah sukses diterapkan mantan narapidana terorisme yang sudah sadar. Salah satu contohnya adalah Arif Tuban – mantan teroris – yang membantu Syahrul, mantan kombatan ISIS dari Jawa Timur yang sudah kembali ke Indonesia karena kecewa dengan kebohongan ISIS dan perilaku mereka yang sangat mencerminkan Islam seperti memenggal kepala orang.

Di depan sidang pengadilan di Indonesia, Syahrul menyatakan bahwa perekrut ISIS memberitahu dirinya bahwa sebagai muslim yang baik, ia harus membantu saudara dan saudarinya yang tertindas. Selain itu, ia juga dijanjikan akan dibayar dan bisa pulang ke rumah dengan selamat setelah misi berhasil.

Setelah dibebaskan dari penjara, Syahrul dibantu Arif untuk perlahan – lahan kembali berintegrasi dengan masyarakat. Untuk menerapkan prinsip pertama bimbingannya, yaitu Heart, Arif mmperkenalkan dirinya sebagai  mantan teroris yang juga berjuang untuk memulai hidup baru.

Dengan cara ini, Arif bisa mendapatkan kepercayaan Syahrul karena mereka berbagi pengalaman hidup yang sama sebagai mantan teroris. Kemudian, Arif melangkah ke langkah selanjutnya yaitu prinsip Hand atau mengajarkan kemampuan sosial kepada Syahrul.

Dalam hal ini, Arif mendorong Syahrul untuk mengembangkan gagasan bisnisnya dengan membuat dan menjual permen baru.

Terakhir,setelah mengetahui bahwa Syahrul telah mengembangkan jaringan sosial yang baru, kemampuan teknis dan mengubah pemikirannya untuk benar – benar menjadi ayah, suami, pengusaha dan bagian dari masyarakat yang baik, Arif kemudian melangkah ke prinsip terakhir “Head” atau mengunjungi ulang ideologi lama.

Dalam hal ini, Arif meminta Syahrul untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial seperti mengajaknya dalam acara diskusi penanggulangan terorisme P/CVE (preventive/ counter violent extremism) dengan berbagai kampus, LSM (CSOs) yang aktif di penanggulangan terorisme P/CVE, dan organisasi desa.

Lewat keterlibatan publik ini, Arif mendorong dan memberikan kesempatan kepada Syahrul untuk menjadi pembicara tamu di berbagai kegiatan pencegahan terorisme, termasuk dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Arif juga membantu Syahrul dalam mengembalikan reputasinya di masyakarat dengan memperkenalkannya kepada polisi lokal dan melibatkannya dalam kegiatan asistansi bersama.

Ini membuka peluang bagi Syahrul dikenal sebagai tokoh masyarakat dan memiliki lingkaran sosial yang baru dan platform untuk menyalurkan aspirasinya dalam keterlibatan publik, baik secara offline maupun online.

Itu adalah cerita tentang dua individu, Arif dan Syahrul. Akan tetapi, ini merupakan cerita yang bisa direplikasi ratusan kali jika ada semacam program nasional untuk menerapkan hal serupa.

Jelas ada kebutuhan mendesak untuk memperkuat upaya deradikalisasi untuk menghindari rekrutmen kepada generasi muda, wanita dan anak – anak yang rentan baik secara online maupun offline seperti pengajian.

Di online, baik pemerintah dan perusahaan media sosial tidak cukup jika hanya melakukan pengawasan negative supply-side measures saja dengan menghapus atau menekan peredaran propaganda ekstimis violent extremism (VE) online.

Langkah tersebut, meskipun sedikit membantu, tidak menjawab akar masalah dari propaganda kekerasan yang terus berlanjut. Hal ini dikarenakan narasi propagan kelompok kekerasaan ini didukung dengan tasfir alternatif akan kondisi sosial yang ada.

Untuk itu, langkah ‘positive demand-side measures’ juga diperlukan untuk bisa secara proaktif melibatkan individu dan masyarakat memerangi ideologi ekstrimis.

Penggunaan mantan teroris di Indonesia dalam upaya ‘positive demand-side measures’ harus dikembangkan dan dievaluasi dalam skala yang lebih besar karena para mantan teroris ini memiliki potensi unik sebagai “credible voices” dalam menanggulangi ideologi ekstrimis.

Upaya di tingkat nasional yang sistematis untuk memprofilkan mantan teroris yang mampu dan layak sebagai “credible voices” sangat diperlukan karena mereka  bisa membantu upaya persuasif kepada kandidat yang akan direkrut untuk berpikir ulang sebelum bergabung dengan kelompok ekstrimis.

Dengan menjadikan upaya ini sebagai prioritas nasional, ancaman serangan terorisme di Indonesia bisa berkurang signifikan.

*) penulis dosen Tamu, S. Rajaratnam Institute of International Studies, Nanyang Technological University

 

sumber: WA Group Jurnalis Syariah (post Senin 26/10/2020)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *