“Politik Pendudukan melalui Otsus dan DOB, Pembunuhan, Perampasan Sumber Alam dan Rasisme yang merendahkan martabat rakyat Papua adalah prakondisi Jakarta untuk menghilangkan satu bangsa besar yaitu etnik Papua Melanesia”. Jangan mancing kami keluar menjadi hari mau.”
semarak.co-Kalimat di atas adalah petikan Herusbeno Arief dalam wawancara wartawan senior FNN dengan aktivis hak azazi manusia (HAM) Natalius Pigai, Sabtu (18/06/22) dilansir fnn Senin, 20 Juni 2022 08:56:04 WIB.
Rupanya candaan Kopi Susu dari Ketua umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri memantik kemarahan aktivis HAM Natalius Pigai. Apa yang sebenarnya terjadi, mengapa Bung Pigai menjadi enggak nyaman dengan guyonan semacan ini? Berikut petikan wawancara Hersubeno Arief dengan Natalius Pigai.
“Ini sobat lama saya yang rupanya uring-uringan berkaitan dengan guyonan Bu Megawati soal kopi susu, yakni menggambarkan orang salah satu Wakil Menteri asal Papua yang disebutnya hitam seperti kopi dan Mega seperti susu,” kata Hersubeno Arief, wartawan senior FNN dalam kanal Hersubeno Point, Sabtu (18/6/2022).
Kenapa anda merasa bahwa Bu Mega ini kok rasis gitu, tanya Herusbeno kepada Pigai.
Lalu dijawab Pigai, “Begini, Bu Mega itu negarawan ya tokoh bangsa, tokoh Indonesia. Jadi apapun pernyataan yang dikeluarkan oleh Bu Mega bisa semua penuh makna atau seorang presiden itu sebuah sinyal politik gitu. Jadi tidak asal ucapan sesaat begitu saja yang mengatakan bahwa kopi susu itu sama saja dengan kamu.”
“Itu diperkuat juga oleh Hasto Kristiyanto dalam konteks kopi itu hitam, susu itu putih. Ibu Mega itu tidak tahu atau Hasto itu tidak tahu. Justru orang kulit hitam di dunia itu korban rasisme. Sampai sekarang lebih dari 700 tahun itu karena kata warna itu, warna hitam ketika orang Portugis dan Spanyol masuk di Afrika Barat ya mereka temukan orang berkulit gelap, maka disebut negro,” keluh Pigai lagi.
Negro itu, terang Pigai, bahasa Latin Spanyol untuk penyebutan hitam. Kemudian di Amerika dalam perkembangannya Black Man dalam bahasa Inggris yang tadi dalam bahasa Spanyol adalah negro. Kemudian orang Anglo saxon atau orang Eropa berbahasa Inggris menggunakan kata blackman.
“Jadi negro dan Blackman itu adalah warna nama, warna kulit sama dengan yang sekarang Hasto sudah menyatakan bahwa kopi susu itu adalah warna. Berarti ini sama saja dengan orang Spanyol, orang-orang berbahasa Inggris maupun juga orang Indonesia yang bernama Ibu Mega dan tokoh nasional,” paparnya.
Termasuk Hasto itu melabeli pihaknya itu kulit berwarna. Padahal, kata dia, di Amerika sudah tidak lagi orang-orang yang berkulit seperti kami ini menerima apa yang namanya Negro atau Blackman karena itu penghinaan, karena itu mereka lebih sebut African-American.
African-american, bukan Negro atau bukan Blackman. Karena itulah menurut saya, memahami kopi susu itu biasanya lebih terorientasi pada segregatif, rahasialistik, diskriminatif, dan merendahkan martabat atau mempertegas perbedaan bahwa kamu itu warna lain dengan kami begitu.
Berbeda kalau ketika Ibu Megawati bilang pelangi Indonesia, pelangi Indonesia itu kata-katanya lebih pluralistik sejalan dengan maintream integrasi sosial di seluruh dunia.
Mainstream integrasi sosial di seluruh dunia itu pakai mosaik atau pelangi. Lambang pelangi itu persoalan integrasi sosial. Tapi, kalau kopi susu itu ke perbedaan, mempertegas perbedaan bahwa kamu dengan kami. Begitu Ibu Mega menyatakan kami orang Papua itu berbeda dengan dia begitu. Dia berbeda dengan kami.
Sedangkan Indonesia itu ada 700 suku dan 1.013 bahasa, kalau dia dalam konteks kebangsaan, maka dia harus pakai pelangi Indonesia yang dimana menyebut ini salah satu warna dari 13 abad 700 suku tersebut yang disebut pelangi bangsa atau kebhinekaan bangsa.
Tapi kalau disebut kopi susu di kampung-kampung juga sama. Kkalau waktu dulu misalnya saya jalan dengan seorang perempuan yang, katakanlah orang di luar Papua, mereka sebut kopi susu. Atau misalnya ada orang kulit hitam, orang Papua jalan dengan orang lain disebut kopi susu. Kopi susu itu konotasi negatif.
Kemudian Herusbeno menimpali, “Ok. Saya baru tahu.”
“Iya, bisa lebih cenderung menyindir, menyindir yang dimaksud itu, kamu kok berani kopi susu. Kamu kok bisa kopi susu itu. Karena itulah, menurut saya, alam bawah sadar Ibu Megawati sebenarnya menyatakan adanya diskriminasi atau rasionalistik,” demikian Pigai membalas.
Itu adalah kecenderungan teror kata-kata yang berorientasi pada rasialistik. Bayangkan seorang anak Soekarno aja alam bawah sadar itu mengungkapkan perbedaan. Karena kan rasialisme itu muncul yang pertama itu dari kata-kata seperti tadi, negro.
Di Amerika selanjutnya setelah kata-kata itu, yang berikutnya adalah ada ideologi yang muncul yaitu segregasi perbedaan, atau perwujudan dari ideologi segregasi tersebut, maka dilakukan kebijakan politik di apartheid misalnya, di Afrika Selatan atau Amerika, sekolah dibedakan.
Setelah itu selanjutnya adalah mempertegas perbedaan sosial. Jadi, pertama itu dimulai dari pikiran, yang kedua menyebutkan warna atau mengucapkan, yang ketiga, itu menjadi sebuah ideologi yang tertanam di dalam kalbu setiap orang. Orang kulit putih atau orang kulit berwarna.
Kemudian, berikut menjadi setelah jadi ideologi diwujudnyatakan di dalam kebijakan politik dan pemerintahan, kebijakan ekonomi, dan kebijakan sosial oleh pemerintah resmi seperti Afrika Selatan dan Amerika yang terjadi sejak dulu sebelum tahun 1960-an ke bawah.
Lalu yang berikutnya adalah dampak-dampak yang muncul dalam berbagai aspek itu ya karena itu kalau alam bawah sadar Megawati menyatakan kopi susu, di saya meyakini karena Megawati itu adalah tokoh politik nasional di PDIP.
Jadi, itu sudah pasti ada yang pertegas kebijakan menjadi sebuah ideologi yang mempertegas dan melaksanakan, apa yang menjadi pemikiran dasar Ibu Mega itu, menurut saya, nyatanya bayangkan orang Papua saja hanya Wakil Menteri. Masih mending Gus Dur dulu, masih mending SB. Ini Wakil Menteri, itu ecek-ecek.
Maaf saja jauh itu anak Soekarno lo. PDI Perjuangan yang kita kasih itu bukan hanya satu. Kita kasih sumberdaya luar biasa. Kemudian kami juga bergabung dengan Negara ini dengan emas, uranium, plutonium, californium, semua kita kasih.
Jadi dia anggap itu hebat, kasih wakil ke saya saja saya tolak semua jabatan itu. Saya bilang, kecil ecek-ecek kok jadi. Maksudnya itu tidak dalam konteks pemberian dan penghargaan posisi dan jabatan dan sumberdaya. Belum lagi persoalan sumber daya, belum lagi persoalan politik, dan konflik.
Jadi bisa saja saya berpandangan bahwa kebijakan operasi militer di Papua, kebijakan ada politik pendudukan, melalui pemekaran di Papua itu dilakukan sebenarnya di atas bangunan pemikiran dasar yang namanya rasialisme, rasialistik, orientasi.
Dan titik terakhir dampak utama dari kebijakan rasialistik itu adalah Jono Said menghilangkan suku, menghilangkan sebuah bangsa dan kata-kata itu tidak hanya diucapkan oleh Ibu Mega, Mensos Tri Rismaharini juga menyatakan hal yang sama.
Jokowi sampai sekarang orang Papua jadi menteri itu tidak ada. Kebijakan separatis Jono Said, kemudian sumber daya alam di Papua dibangun di luar Papua seperti smelter, kantor private di Jakarta itu bisa dipandang sebagai bagian dari kebijakan segregatif, rasialistik itu.
Jadi ungkapan Ibu Mega ini menurut saya satu sisi memang kami kecewa karena kami sakit hati. Karena itu ungkapan menyakitkan, tapi saya sebagai intelektual yang saya merasa ya inilah potret Indonesia dan kemungkinan sulit orang Papua menerima dan tidak akan bercak percaya sampai dunia kiamat, enggak bakal selesai perbedaan itu, sudah dilakukan pemimpin-pemimpin bangsa kok.
Saya, bapak saya itu, selama 30 tahun, saya itu pembela kemanusiaan. Saya bisa saja sekarang, besok bisa jadi warga negara Amerika, bisa di Australia, bisa Eropa, bagi saya tidak ada pengaruh. Tapi bagi orang Papua selain saya, itu pengaruhnya besar dengan sebuah pernyataan itu.
Karena itu apa yang saya bicara ini untuk melindungi rakyat, melindungi kepentingan orang-orang kecil, orang-orang lemah, orang-orang tidak berdaya di Papua. Begini saja, Ibu Mega tidak usah pakai mewakili sekretaris, juga tidak usah mewakili menteri-menterinya untuk menyampaikan.
Biarlah dia sendiri yang menyampaikan apa yang dimaksud dengan kopi susu itu karena di Amerika sekalipun kalau dia bilang misalnya blackman, negros. Seorang misalnya Joe Biden keluarkan pernyataan itu pasti diserang habis-habisan.
Tapi kalau di Indonesia dianggap pahlawan, pahlawan bagaimana? Produksi rasialisme itu muncul dari mereka kok. Ya sebentar dulu pelan-pelan dulu nih, saya sampai ini rupanya kelihatannya serius sekali Anda menganggapnya. Karena saya tadinya konteksnya ini saya mohon maaf.
Kalau Anda kemudian menilai saya juga jadi rasialis, saya membacanya ini tadinya ketika nemu cuitan Anda, saya mencari sumbernya apa sih, saya sih menurut. Tadinya saya anggap juga ibu Mega sekedar candaan dan kemudian menyatakan bangga karena sepatu kadernya pun dari Papua begitu. Bukankah begitu konteks seharusnya Bung Pigai.
Iya jadi begini. Kalau persoalan saya itu tidak ia menganggap orang luar Jawa itu cuma rasionalistik nggak, kita kan mendikte sekarang ini karena tokoh politik nasional, tokoh besar, saya pelajari buku pertama itu tentang negros, Negroid History yang ditulis oleh E Dubois, Profesor di Harvard University tahun 1912.
Dia yang menuliskan buku tentang sejarah panjang waktu disertasi S3 di Harvard University. Saya sudah baca semua perjalanan sejarah penderitaan orang kulit hitam di seluruh dunia.
Karena itu kenapa saya respon begini, karena ini masalah serius. Contoh tiba-tiba ada seorang jenderal bintang empat polisi waktu menjadi Kapolda dia bilang, kalau kamu malas saya kirim ke Puncak Jaya Papua sana.
Terus ada seorang menteri dari PDI Perjuangan Ibu Risma menyatakan, kalau kamu ini saya kirim ke Papua. Papua dijadiin sebagai sebuah tempat sampah. Kemudian dulu waktu Ali Moertopo menyatakan, orang Papua itu sebaiknya tinggal di Pasifik sana. Padahal dia tidak tahu bahwa Papua itu Pasifik South.
Pacific kami itu Pasifik, bukan Pasifik yang di Hawaii sana, bukan. Kami ini Pasifik atau Luhut Binsar Pandjaitan juga pernah menyatakan hal yang sama. Hendropriyono juga mau pindahkan orang Papua ke Maluku.
Jadi kalau dilihat dari tokoh-tokoh bangsa seperti ini orang Papua itu ada kesabaran. Jadi saya mau ingin sampaikan terakhir bahwa sebelum Bung sampaikan sama saya atau ajukan pertanyaan orang Papua itu adalah bangsa terakhir yang teraniaya lebih dari 700 tahun atas nama rasialisme sampai detik ini.
Dan saya mendengar dari orang Afrika, orang Amerika, orang Eropa, orang Afrika Latin yang terutama African-American, Afrika-European, mereka cerita hal yang sama. Kamu itu bangsa terakhir yang masih menghadapi rasialisme serius.
Diplomaship terstruktur dan terencana. Jadi artinya tidak semua, ada juga orang yang empati gitu, orang yang punya kemanusiaan ada di luar Papua Salah satunya adalah misalnya Bung Hersu. Juga ada banyak yang baik.
Tetapi menjadi pertanyaanku dan lebih dari 10 tokoh nasional dan tokoh bangsa mengeluarkan pernyataan yang sifatnya segregatif dan rasionalistik itu, berarti itu sangat serius begitu. Karena itu maka jangan mancing kami keluar menjadi harimau, karena ada berjuta-juta orang yang tinggal hidup dan makan di kampung halaman kami.
Kamu juga harus mengasihani, jangan sampai terjadi konflik horizontal yang lebih luas. Padahal kita bukan itu. Ingat Suriname. Itu merdeka, tapi orang-orang dari rantauan Suriname itu tidak pernah diganggu.
Mereka jadi warganegara New Caledonia itu merdeka. Tapi orang-orang yang rantauan dijadikan sebagai bagian dari kekuasaan penjajah, juga dijadikan pemimpin India EVg, misalnya Inggris dengan baik orang-orang India ke Vg akhirnya juga jadi presiden di sana.
Jadi tidak ada namanya sebuah negara setelah sebuah negara itu Merdeka. Orang-orang yang dimanja atau orang-orang keturunan penjajah misalnya itu tidak diberi kesempatan, tuh tidak ada. Non sense tidak mungkin satu bangsa, satu warna, satu kelompok yang berasal dari Bumiputera bisa berdiri sendiri, tidak mungkin.
Karena itu hati-hati, Jakarta bisa mendorong konflik sosial. Itu menurut saya begitu karena Papua itu. Saya ingin sampaikan terakhir bahwa Papua tidak ditentukan oleh Jakarta. Ini kata saya, ini nasib Papua tidak ditentukan oleh Jakarta, wong Jakarta saja tidak dikenal orang Indonesia, tidak tahu bahasa Inggris, presiden tidak dikenal.
Orang Papua punya bangsa satu Ras dunia, memiliki sebuah semangat karena mengalami trauma dan penderitaan yang panjang soal rasisme di seluruh dunia, jadi jangan main-main. Belum lagi yang kedua misalnya.
Saya menanggapi ini ada kemarahan Anda. Biasanya kalau kita ngobrol Anda itu sangat analitis, argumentatif tapi sekarang ini saya agak terkejut ketika Anda kelihatan emosional.
Iya saya soal rasisme sudah pasti saya sakit hati. Karena saya sudah baca, saya sudah belajar dari segala. Keluarga saya 200 orang di kampung dibunuh oleh para pendatang hanya dalam dua bulan, dan itu ada disertasi S3-nya di Belanda, Frey Universitas Amsterdam. Karena itu sudah pasti soal suara rasis itu kita pasti sakit.
Anda membayangkan 400 orang pendatang, di luar Minang, di Papua, suami anak 2019 dibantai, hampir mendekati 400 orang pendatang. Tapi kita tahu kekuasaan negara dialihkan seakan-akan orang Minang yang kena. Padahal 7 restoran orang Minang di Wamena itu sama sekali tidak kena.
Kembali Hersbeno bertanya, “Poinnya apa anda ceritakan tentang 7 restoran orang Minang yang tidak diapa-apakan itu?”
Artinya begini, jujur saja, boleh saya jujur enggak, apa adanya, kalau konflik sosial terjadi mayoritas berasal dari asal yang sama dengan orang-orang yang berkuasa di Republik ini.
Karena sudah ketakutan, saya tidak boleh sebut nama tempatnya, tapi bisa mengerti, Jakarta ketakutan. Karena itu mau tidak mau dialihkan kepada orang Minang yang sama sekali tidak ada, tapi memiliki ikatan persatuan yang sama untuk menyerang pas membangun opini.
Kan yang mati itu bukan orang Minang. Yang mati dibunuh di Wamena 2019 itu orang yang agak sedikit sama dengan pemimpin penguasa republik ini. Karena itu imbasan dari Surabaya, dari Malang. Jadi, maksudnya hati-hati soal begini karena soal rasisme itu sangat sensitif.
Keduanya, kalau saya itu akan atas nama kemanusiaan supaya tidak boleh terjadi. Itu bukan persoalan memunculkan konflik. Kalau memunculkan konflik, ngapain gue, kasih saja 1 miliar Koperasi di lapangan tapi kan saya tidak pernah. Sampai detik ini apalagi saya pembela kemanusiaan.
“Jadi sebenarnya di poinnya bukan persoalan Ibu Mega atau siapapun begitu? Kebetulan saja sekarang ini Ibu Mega yang mengucapkan. Artinya Anda ingin menyampaikan pesan ini kepada terutama para pemimpin-pemimpin bangsa kita?” tanya Hersbeno.
Terutama ibu Mega itu, selain pemimpin bangsa kami sering ucapkan yang terakhir ini ke Ibu Mega harus menyampaikan secara terbuka secara jantan. Beliau pakai Sekretaris Jenderal Hasto Kristiyanto, klarifikasi pakai kulit.
Justru saya bilang tadi malah hitam. Negro itu bahasa Spanyol. Kalau orang Inggris negro menjadi bahasa Blackman. Kalau di Indonesia pakai hitam. Jadi klarifikasi kan begitu.
Diakhir Hersbeno menyimpulkan. “Oke poinnya sudah kita tangkap. Saya kira ini penting juga buat yang lain ya? Buat viewer, terutama FNN lebih sensitif bicara ini. Mungkin Anda bermaksud tidak menghina, tetapi itu bisa menunjukkan di bawah sadar, tanpa sadar kita ada semacam tadi, secara berpikir yang sergrefatif, seperti yang dipersoalkan oleh Bung Natalius Pigai. Terima kasih.” (mth/sws/net/fnn)