Telah Diingatkan Tak Lagi OTT di Kaltim, OTT Bupati Kutai Timur Hasil Penyadapan Usai Berlakunya UU KPK Baru

gedung KPK. Foto: internet

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mewanti-wanti agar kegiatan operasi tangkap tangan (OTT) tidak terulang kembali di wilayah Kalimantan Timur (Kaltim).

semarak.co– Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango mengingatkan, Oktober 2019 KPK melakukan OTT di Kaltim dan menetapkan tiga orang sebagai tersangka dugaan suap terkait pengadaan proyek jalan di Provinsi Kaltim 2018-2019.

Bacaan Lainnya

“Kami ingatkan agar di Kalimantan Timur jangan terjadi lagi OTT, sedapatnya tidak terjadi lagi. Tapi nyatanya seperti ini,” ujar Nawawi dalam jumpa pers di Gedung KPK Jakarta Selatan, Jumat malam (3/7/2020).

Peringatan itu, kata Nawawi, dalam kegiatan koordinasi dan supervisi yang digelar di Balikpapan pada 11 Maret 2020 lalu. Saat itu, dirinya mewanti-wanti agar tidak ada permainan-permainan terkait pengadaan barang dan jasa.

“Ancaman itu disampaikan di hadapan para pejabat pemerintahan maupun para kontraktor yang ada di Kalimantan Timur. Ancaman ini malah kami sampaikan kepada pejabat pemerintahan maupun para kontraktor di Kaltim. Nyatanya seperti yang kita lihat sekarang,” kata Nawawi.

KPK pada Jumat (3/7/2020) melakukan OTT di tiga tempat berbeda, yakni Jakarta, Samarinda, dan Kutai Timur Kaltim. Dari hasil pengembangan OTT tersebut, KPK menetapkan tujuh orang tersangka dalam kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait pekerjaan infrastruktur di lingkungan pemerintah kabupaten Kutai Timur tahun 2019 – 2020.

KPK menetapkan Bupati Kutai Timur Ismunandar, Ketua DPRD Encek Unguria, Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Musyaffa, Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Suriansyah dan Kepala Dinas Pekerjaan umum Aswandini sebagai tersangka penerima suap.

Sedangkan sebagai tersangka pemberi, KPK menetapkan AM (Aditya Maharani) selaku rekanan dan DA (Deky Aryanto) selaku rekanan. Dalam OTT, ditemukan uang tunai sebesar Rp170 juta, beberapa buku tabungan dengan total saldo Rp4,8 miliar, dan sertifikat deposito sebesar Rp1,2 miliar.

Penerimaan sejumlah uang tersebut diduga karena Ismunandar selaku bupati menjamin anggaran dari rekanan yang ditunjuk agar tidak mengalami pemotongan anggaran dan Encek selaku Ketua DPRD Kabupaten Kutai Timur melakukan intervensi dalam penunjukan pemenang terkait dengan pekerjaan di pemkab setempat.

Musyaffa selaku kepercayaan Bupati juga melakukan intervensi dalam menentukan pemenang pekerjaan di Dinas Pendidikan dan Pekerjaan Umum di Kutai Timur.

Sementara itu, Suriansyah selaku Kepala BPKAD mengatur dan menerima uang dari setiap rekanan yang melakukan pencairan termin sebesar 10 persen dari jumlah pencairan. Selanjutnya, Aswandini selaku kepala Dinas PU mengatur pembagian jatah proyek bagi rekanan yang akan menjadi pemenang.

Para tersangka penerima disangkakan melanggar pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP, dengan ancaman penjara minimal 4 tahun dan maksimal seumur hidup dan denda minimal Rp200 juta maksimal Rp1 miliar.

Sedangkan para pemberi disangkakan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP, dengan ancaman hukuman minimal satu tahun penjara dan maksimal lima tahun penjara dan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.

KPK mengklaim OTT yang menjerat Ismunandar merupakan hasil penyadapan pertama yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pasca-pemberlakuan Undang-undang Nomor 19 tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK. “Kasus ini malah dalam catatan kami ini adalah penyadapan pertama yang kami lakukan pasca revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019,” ujar Nawawi.

Dalam UU KPK yang mulai berlaku pada Oktober 2019 itu diatur mengenai mekanisme penyadapan yang baru, dimana fungsi penyadapan baru bisa dilaksanakan setelah mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas KPK.

Dewan Pengawas KPK telah terbentuk pada Desember 2019 dan diisi oleh lima orang anggota, yakni Tumpak Hatarongan Panggabean (Ketua), Artidjo Alkostar, Albertina Ho, Syamsuddin Haris, dan Harjono.

Nawawi mengatakan penyadapan pertama terkait kasus korupsi yang menjerat Ismunandar beserta sang istri yang juga Ketua DPRD Kutai Timur Encek Unguria itu dilakukan pada Februari 2020. “Jadi sekitar Februari kami melakukan penyadapan pertama atas dasar adanya informasi dari masyarakat,” kata Nawawi. (pos/smr)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *