Sastrawan Jawa Trinil S Setyowati mengklaim perkembangan Sastra Jawa akan terus bertahan di tengah pesatnya perkembangan teknologi digital, meski dengan peminat dari generasi muda era milenial yang sedikit.
semarak.co -“Peminat sastra bahasa Jawa sejak saya masih remaja dulu juga tergolong minoritas, meski belum ada penelitian tentang itu, saya kira peminat Sastra Jawa dari dulu memang sedikit,” kata Trinil ditemui di sela penyelenggaraan Festival Sastra Jawa di Surabaya, Sabtu (28/12/2019).
Trinil yang juga pengajar di Universitas Negeri Surabaya (UNS) bersama sejumlah sastrawan Jawa lainnya yang pernah terkenal di tingkat nasional pada era 1980 – 1990-an, seperti Budi Palopo dan Widodo Basuki, tampil membacakan sejumlah karya puisinya dalam festival yang digelar Dewan Kesenian Surabaya (DKS).
Trinil teringat dulu beberapa teman dan kerabat terdekatnya menilai dirinya membuat karya-karya puisi berbahasa Jawa yang hanya untuk dibaca oleh segelintir orang yang usianya sudah sepuh.
“Itu ada benarnya karena minat baca karya sastra yang berbahasa Indonesia saja dari dulu rendah, apalagi sastra berbahasa Jawa,” ucap perempuan kelahiran Surabaya, 27 Juli 1965 itu.
Trinil mengenang saat masih kecil dulu sering menonton pertunjukan wayang dan ludruk, yang saat itu mendominasi dunia hiburan di Tanah Jawa. “Saya suka dengan simbol-simbol dalam pertunjukan wayang dan ludruk. Pitutur Jawa dari pertunjukan-pertunjukan itu terdengar lembut dan indah. Itu mendorong saya untuk menulis puisi-puisi berbahasa Jawa,” katanya.
Ada sejumlah media berbahasa Jawa, seperti Majalah Jaya Baya dan Penjebar Semangat yang menampung ide-ide karya puisi atau tulisan-tulisan untuk diterbitkan yang dikirim oleh generasi muda di eranya. Sejumlah media berbahasa Jawa tersebut mendorong terjadinya regenerasi, yang terus melahirkan sastrawan Jawa hingga era 1990-an.
Regenerasi
Sekarang era telah berganti. Majalah Jaya Baya dan Penjebar Semangat, meski sampai sekarang masih terbit, telah menjadi media konvensional, karena semakin tergerus oleh pesatnya perkembangan teknologi yang melahirkan media digitial, yang sangat digandrungi oleh generasi milenial.
Sastrawan Jawa Widodo Basuki, yang juga bekerja sebagai redaktur di Majalah Jaya Baya, menyebut generasi muda yang mengirim tulisan-tulisan berbahasa Jawa ke medianya sejak beberapa tahun belakangan ini semakin menurun.
Peraih Hadiah Sastra Rancage tahun 2000 lewat karya-karya kumpulan sajaknya yang berjudul “Layang saka Paran” itupun mengkhawatirkan regenerasi Sastrawan Jawa kedepan yang bisa jadi bakal terhenti.
Bagi Trinil, pesatnya perkembangan teknologi yang menghadirkan media digital justru tidak masalah. “Itu justru bisa menjadi jalan untuk mengenalkan Sastra Jawa kepada generasi muda,” katanya.
Tinggal sekarang, dia menandaskan, butuh orang-orang yang peduli untuk menjadi penggerak mengenalkan sastra Jawa lewat media sosial seperti Youtube, Facebook, Twitter dan lain sebagainya.
Lewat media-media digital itu kita dorong generasi muda sekarang untuk mencintai bahasanya sendiri, menjadi tuan rumah di daerahnya sendiri. Tidak ikut-ikutan pakai bahasa ‘elu-elu guwe-guwe’, karena kita orang Jawa Timur. Itu bisa terus diupayakan lewat media sosial,” tuturnya.
Agenda DKS
Festival Sastra Jawa yang berlangsung di Kompleks Balai Pemuda Surabaya pada Jumat (27/12) malam merupakan bagian dari program rutin sastra bulanan yang sekaligus menutup rangkaian kegiatan Majelis Sastra Urban DKS di penghujung tahun 2019.
Ketua DKS Chrisman Hadi menyatakan akan menjadikan Festival Sastra Jawa sebagai agenda rutin yang akan diselenggarakan di tiap akhir tahun. “Persoalan Sastra Jawa juga terkait dengan ‘nation character building’ atau membangun budaya bangsa. Setidaknya Festival Sastra Jawa bisa menjadi pengenalan pada budaya lokal agar tidak hilang,” katanya.
Chrisman mengaku kegiatan Festival Sastra Jawa yang berlangsung kemarin telah memperoleh dukungan dari Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sehingga dipastikan akan terus berkelanjutan.
Dia memastikan untuk mengenalkan serta melestarikan kebudayaan Jawa kepada generasi muda di era milenial ini, tidak hanya Festival Sastra Jawa saja yang ke depan akan rutin digelar oleh DKS. “Saat ini kami sedang menggagas festival yang berkaitan dengan kebudayaan Jawa lainnya, seperti Festival Musik Jawa, misalnya, dan lain sebagainya,” ucapnya.
Karya sastra dibuat dalam rangka mengungkap realitas sosial yang terjadi di hadapan para penulisnya. Hal inilah yang dilakukan oleh Pramoedya Ananta Toer guna mengungkapkan gagasannya ketika ruang percakapan tidak lagi menampungnya. Keresahan dirinya atas peristiwa di hadapannya diungkapkan dalam karya sastra.
Karenanya, Pengajar Universitas Indonesia Saras Dewi mengungkapkan bahwa sastra memiliki misi edukasi sosial. Hal itu disampaikannya saat menjadi narasumber pada Bedah Buku Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer dan The Sand Child karya Taher Ben Jeloun di Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jalan Daksinapati Barat IV, Rawamangun, Jakarta, Rabu (4/12/2019).
Pramoedya, katanya, menulis untuk menegaskan bahwa suara tidak dapat dibungkam. Tulisannya tersebut menunjukkan semangat nasionalisme dan humanisme. Karyanya itu juga berisi tentang solidaritas melampaui etnis dan bangsa. “Semangat humanisme penting kebanggan sebagai orang Indonesia,” ujarnya.
Selain Saras, hadir pula Wakil Kepala Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia (AWCPH UI) Zacky Khairul Umam yang mengulas novel The Sand Child karya Taher Ben Jeloun.
Menurutnya, novel tersebut membuktikan bangsa Maroko setelah merdeka masih bermental maskulin sehingga mengategorikan perempuan sebagai warga negara kelas dua. “Dengan karyan sastranya, Taher membuktikan mentalitas bangsa Maroko masih memberikan dampak perempuan bangsa kelas dua,” jelas Zacky.
Pasalnya, hal tersebut ditunjukkan oleh kehadiran tokoh perempuan yang oleh orang tuanya dianggap sebagai laki-laki. Hal tersebut karena laki-laki menjadi kunci agar warisan keluarga tetap utuh di tangan keturunannya.
Sementara itu, sebuah keluarga kaya raya dalam novel tersebut memiliki tujuh anak dengan semuanya perempuan. “Demi untuk meneruskan warisan dari kekayaannya, harus ada anak laki-laki. Bagaimanapun caranya anak kedelapan harus laki-laki. Tetapi anak perempuan itu dilaki-lakikan,” katanya.
Anak perempuan yang dilaki-lakikan itu diberi nama Ahmed. Oleh orang tuanya, anak tersebut dibesarkan dengan pola asuh laki-laki, yakni dengan memasukkannya ke sekolah laki-laki, ikut bergaul dengan laki-laki, hingga di pemandian umum pun di tempatnya laki-laki.
Hal itulah, menurutnya, yang menunjukkan bahwa nasionalisme pascakolonial di sana masih bermental sangat laki-laki. “Menarik, kenapa justru lelaki Ahmed? Bentuk nasionalisme yang terungkap dari Maroko Pascakolonial adalah nasionalisme maskulin,” jelas kandidat doktor Universitas Freie Berlin, Jerman itu.
Lebih lanjut, Zacky juga menjelaskan bahwa sastrawan asal Maroko itu berbeda dengan sastrawan lainnya di sana, mengingat ia menulis dengan bahasa Perancis di tengah tumbuhnya semangat dekolonisasi pascamerdeka yang lebih banyak menggunakan bahasa Arab dan Berber.
“Barangkali dalam masa generasi saya, generasi sayalah yang akan menulis dengan bahasa Perancis. Yang tadinya bahasa literer cenderung bahasa Arab klasik dan modern, muncul juga bahasa Berber,” katanya.
Sementara itu, Kepala Pusat Pengembangan dan Pembianaan Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Hurip Danu Ismadi mengungkapkan bahwa dua karya sastra tersebut merupakan karya adiluhung.
Hal tersebut terbukti dengan setiap kali membacanya akan memunculkan inspirasi baru. “Semakin kita baca, semakin kita mendapatkan inspirasi baru. Itulah karya adiluhung,” katanya saat memberikan sambutan sebelum resmi membuka acara.
Kegiatan ini juga dimeriahkan dengan penampilan pembacaan nukilan Tetralogi Pulau Buru oleh Tri Wibowo dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan nukilan The Sand Child oleh Sarah Monica dari AWCPH UI. Diskusi ini dihadiri oleh ratusan peserta dari berbagai kalangan, mulai dari akademisi, peneliti, hingga mahasiswa dari wilayah Jabodetabek.
ERA digital telah memunculkan lahirnya fenomena sastra dalam bentuk platform baru. Hal itu ditandai dengan terjadinya pergeseran dalam penciptaan karya sastra. Dari semula karya sastra dibuat secara personal dalam arti karya sastra dibuat oleh hanya satu orang, menjadi karya sastra yg dibuat secara komunal (bersama).
Hal tersebut disampaikan Periset PR Institute Eriyanti Nurmala Dewi pada cara Gerakan Melestarikan (Gema) Sastra yang diselenggarkan mahasiswa Fikom Unisba, di Student Center Unisba, Jln. Tamansari Bandung, Senin (23/12/2019).
Dikatakan, penciptaan karya sastra bersama ini dilakukan dengan cara berantai menggunakan media secara online. Ada juga yang membuat karya sastra bersama dengan menggunakan aplikasi media sosial seperti whatshap (WA).
Hasilnya, berupa cerpen atau novel. Para pengarang ini bahkan ada dari kalangan dokter yang mempunyai minat pada dunia mengarang. Platform sastra seperti ini, menurut Eriyanti, menjadi potret perkembangan sastra saat ini dan di masa depan.
“Saya baru melihat semangat mengarangnya dan medianya yang bergeser, belum tahu nanti bagaimana hak penciptaannya, para pembacanya, dan lain-lainnya,” ujar Eriyanti dalam siaran persnya, Rabu (25/12/2019).
Jauh sebelum fenomena ini terjadi, pergeseran sastra juga terjadi dari ruang kerja para pengarang. Dulu, para pengarang cenderung mirip filsup, selalu menyepi, menulis karya sastra di ruang-ruang hening, dan pemikiran-pemikiran serta gagasannya selalu bernas dan ditunggu.
Kalau menerbitkan karya, dibahas dalam bentuk bedah karya sastra yang serius. Berbeda dengan sekarang, pengarang menulis karyanya di ruang ingar bingar seperti caffee. Kalau melounching karya sama dengan “meet and great” sehingga pengarang cenderung sama dengan selebriti.
Namun dari segi karya, cenderung mengarah pada karya sastra populer. Fenomena lain, lanjut Eriyanti, ekranisasi sastra (sastra yang diubah menjadi film) makin marak. Bukan hanya diambil dari karya populer tapi juga dari karya sastra serius seperti “Bumi Manusia”,
“Tenggelamnya Kapal van Der Wijck”, “Sang Penari”, dll. Film-film yang diangkat dari novel-novel populer lebih banyak lagi, seperti “Laskar Pelangi”, “Filosofi Kopi”, dan masih banyak lagi.
Selain talkshow, “Gema Sastra” Fikom Unisba diisi juga dengan lomba baca puisi, pamerah foto, dan pameran buku-buku sastra. Kegiatan ini menurut Ketua Pelaksana Gema Sastra Fadli Noor Alam, bertujuan untuk melestarikan sastra di kalangan mahasiswa dengan cara mengenalkan karya sastra dan pembahasannya. “Selain itu untuk memenuhi tantangan mata kuliah Pengelolaan Event,” ujarnya. (net/lin)