Direktur Utama RNI B Didik Prasetyo menyebutkan, kontribusi laba tersebut disokong dari beberapa sektor yang mengalami peningkatan. Di antaranya, sektor farmasi dan alat kesehatan sebesar Rp108 miliar (setelah pajak), dari sebelumnya Rp83 miliar. Lalu, sektor perdagangan yang sebesar Rp42 miliar dari tahun sebelumnya sebesar Rp22 miliar. Sementara itu, untuk sektor industri gula mengalami penurunan laba dari sebelumnya berada di angka Rp209 miliar, turun menjadi Rp98 miliar.
“Pertumbuhan kinerja ketiga sektor tersebut mampu menutup pencapaian sektor perkebunan yang masih minus Rp94 miliar. Pada tahun buku 2016, RNI meraih kinerja yang lebih baik dengan mencapai laba konsolidasi Rp247 miliar,” klaim Didik di Kantor gedung RNI, kawasan Mega Kuningna, Jakarta Selatan, Selasa (14/3).
Tahun ini, lanjut Didik, perseroan menargetkan penjualan meningkat 25 persen menjadi Rp 6,3 triliun dari Rp 5 triliun pada 2016. RNI juga menargetkan pada 2017 labanya dapat naik sebesar 6% dari 2016, sebesar Rp247 miliar menjadi Rp263 miliar. Target ini akan ditunjang dengan target laba di sektor industri gula yang akan naik 2% sebesar Rp147 miliar, di sektor perdagangan naik 11% dengan nilai Rp29,4 miliar. Kemudian, di sektor farmasi dan alat kesehatan sebesar naik 31 persen atau menjadi Rp82,1 miliar.
“Kontribusi yang paling besar ditargetkan ada di sektor perkebunan yang akan meningkat 56 persen yang menjadi senilai Rp3,8 miliar. RNI akan mempertajam perannya sebagai investment holding melalui peningkatan daya saing anak perusahaan melalui sinergi antar anak perusahaan. Salah satunya dengan mendorong sinergi melalui Integrated Supply Chain (ISC). Di samping optimalisasi bisnis inti dan aset, RNI juga akan melakukan pengembangan bisnis berbasis kompetensi inti,” ujar Didik didampingi empat direktur lainnya.
Di sisi lain, ia juga memperhitungkan target capaian operasional di sektor industri agro, yang terdiri dari gula sebesar 346 ribu ton, kelapa minyak mentah (crude palm oil/CPO) sebesar 51 ribu ton, teh 4,7 ribu ton, serta 1,1 ribu ton. Sedangkan penjualan non-industri agro terdiri dari obat-obatan dan alat kesehatan (alkes) senilai Rp2,43 triliun, lalu di perdagangan dan lain-lain senilai Rp1,69 triliun.
Sementara itu, total aset yang dipunya ditargetkan naik 13 persen menjadi sebesar 11,88 triliun, yang mana terdiri dari jumlah utang sebesar Rp6,62 triliun dan ekuitas sebesar Rp5,26 triliun. Sebelumnya, pada 2016 total aset ada sebesar Rp10,5 triliun dengan nilai utang Rp5,44 triliun dan ekuitas Rp5,06 triliun. “Kalau investasi kami targetkan dari anak perusahaan yang masuk secara rutin akan sebesar Rp508 miliar dan ada dari pengembangan kami targetkan ada sebesar Rp1,138 triliun,” tuturnya.
Sementara itu pada 2017, rinci dia, RNI menargetkan belanja modal atau capital expenditure (capex) sebesar Rp1,6 triliun. Angka ini meningkat 159 persen dibanding capex 2016. Pada kinerja tahun ini pihaknya ada tiga prioritas, yaitu pertama, dalam sektor agro farmasi dan alat kesehatan, agto industri, lalu ketiga terkait perdagangan dan distribusi. “Kita kan punya empat pilar. Sektor properti baru embrio. Agro industri, farmasi dan alkes (alat kesehatan), perdagangan dan distribusi kan sejak berdirinya sudah ada. Kita fokusnya menjadi tiga itu. Sebetulnya semua priorititas,” katanya.
Sesuai urutan tingkat prioritas, sektor farmasi dan alkes menjadi peringkat pertama, hal itu karena banyak program pemerintah yang terkait dengan kemandirian bahan baku obat. Selain itu, kemandirian obat itu juga telah tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) No. 6/2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan. “Dalam waktu dekat pada 2019 sudah tidak boleh lagi impor. Semua harus berproduksi di dalam negeri. Sehingga, kita mengupayakan tarik mereka yang biasanya impor untuk inves di sini,” ujar Didik.
Upaya lainnya dalam menunjang target kinerja industri farmasi dan alkes ini yaitu dengan mengakuisisi pabrik obat yang ada di dalam negeri. Pihaknya saat ini masih melakukan penjajakan. Pada tahun ini diharapkan dapat final.
Kemudian sektor kedua, adalah ketahanan pangan untuk gula atau masuk dalam sektor industri agro. Pihaknya ingin mendongkrak pertumbuhan produksi industri gula untuk mencapai swasembada.
“Kita yang namanya swasembada gula dari dulu kan enggak pernah tercapai terus. Dulu 2016 dengan kondisi iklim yang berat, rendemen jatuh, produksi gula nasional turun. Dari BUMN saja produksi gula 2016 hanya 1,2 juta ton dari 1,5 juta ton pada 2015. Sektor terakhir, perdagangan dan distribusi,” tutupnya. (lin)