Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Syaifullah Tamliha menyoroti aksi penangkapan teroris yang kerap baru dilakukan polisi setelah aksi terornya terjadi.
semarak.co-Pencegahan aksi terror, nilai Tamliha, sebenarnya bisa dilakukan karena regulasi yang ada saat ini telah memberikan ruang pada polisi untuk menangkap orang yang terindikasi akan melakukan aksi teror.
“Kami berharap pencegahan terhadap tindak pidana terorisme itu bisa dilakukan sedini mungkin, tanpa lebih dulu mereka melakukan terror. Karena konstitusi sudah memberikan kewenangan kepada polisi untuk melakukan penangkapan jika dia terindikasi melakukan perbuatan teror,” kata Tamliha di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Kamis (1/4/2021).
Mengutip CNN Indonesia | Jumat, 02/04/2021 00:49 WIB, Ia menerangkan kewenangan kepada polisi untuk menangkap orang yang terindikasi akan melakukan aksi teror telah diberikan DPR dan pemerintah lewat revisi Undang-undang Pemberantasan Terorisme tahun 2018.
Kendati demikian, lanjutnya, regulasi tersebut masih menyisakan masalah hingga saat ini. Pasalnya, aturan turunan yang mengatur soal pelibatan TNI dalam penanganan terorisme belum rampung. Tamliha mengungkapkan rancangan Peraturan Presiden (Perpres) Pelibatan TNI dalam Penanganan Terorisme belum diteken Presiden Jokowi.
Ia pun menyatakan komisinya menolak salah satu isi rancangan regulasi itu yang mengatur bahwa anggaran untuk TNI melakukan operasi militer selain perang yang menyangkut tindak pidana terorisme dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan sumber lain yang tidak mengikat.
“Yang jadi masalah, itu bagian dari masalah, akhirnya perpresnya sampai sekarang komisi I belum menerima finalnya seperti apa, kalau TNI digunakan untuk operasi militer selain perang, konsekuensinya anggaran kan mesti ditambah, sementara untuk 2021 anggaran Kemhan dan TNI turun dari Rp137 triliun,” ujarnya.
Untuk diketahui, dua serangan teror terjadi di Indonesia dalam kurun waktu kurang dari sepekan. Serangan pertama terjadi di depan Gereja Katedral Makassar berupa aksi bom bunuh diri yang dilakukan pasangan suami istri berinisial L dan istrinya YSR pada Minggu (28/3/2021). Keduanya disebut masih berusia sekitar 26 tahun.
Tiga hari berselang, seorang perempuan berinisial ZA berusia (25) yang diduga teroris beraksi sendiri (lone wolf) menyerang Mabes Polri. ZA langsung ditembak mati petugas di lokasi, Rabu (31/3/2021). Ia menodongkan senjata api ke sejumlah petugas polisi yang tengah berjaga.
Tak lama pelaku dilumpuhkan hingga tewas di tempat. Perempuan berinisial ZA itu meninggal setelah terkena tembakan di bagian jantung. Aksi teror ini masih dalam penyelidikan polisi.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyebut pelaku berideologi ISIS. Hal itu menurutnya berdasarkan pengecekan unggahan akun media sosial milik pelaku. Aksi teror di kantor polisi bukan baru kali ini terjadi.
Berikut ini sejumlah serangan teror secara langsung maupun tak langsung yang dialami pihak kepolisian di markasnya sendiri dalam lima tahun terakhir.
Serangan di Karanganyar. Pada Juni 2020 lalu, rombongan polisi di Karanganyar, Cemoro Kandang, Jawa Tengah diserang seorang pria tak dikenal. Pelaku kemudian tewas di tempat setelah ditembak anggota polisi.
Tak hanya itu, dalam insiden ini seorang anggota polisi juga terluka setelah terkena serangan sabit pria tersebut. Pelaku itu merupakan pria asal Madiun, Jawa Timur bernama Karyono Widodo, residivis yang baru keluar penjara tahun 2019.
Bom Polrestabes Medan. Akhir 2019 lalu, terjadi aksi bom bunuh diri di Polrestabes Medan. Aksi tersebut terjadi setelah sejumlah aparat kepolisian melakukan apel pagi di halaman Markas Polrestabes Medan sekitar pukul 08.00 WIB.
Saat itu, secara tiba-tiba terdengar suara ledakan keras di halaman kantor operasional Markas Polrestabes Medan, tepatnya dekat kantin dan halaman parkir. Dalam pemeriksaan aparat diketahui pelaku bom bunuh diri di Mapolrestabes Medan, Kota Medan, Sumatera Utara, mampu melewati pemeriksaan petugas dengan melilitkan bom di pinggang.
Kerusuhan Mako Brimob Depok. Kerusuhan terjadi di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, pada 2018 lalu. Kerusuhan diduga terjadi akibat cekcok antara petugas lapas dengan napi di salah satu sel. Rutan pun sempat dikuasai oleh para napi yang terdiri dari sejumlah napi teroris.
Serangan di Polrestabes Surabaya. Bom bunuh diri terjadi di kantor Polrestabes Surabaya, Jawa Timur, pada 14 Mei 2018. Atas serangan itu, empat pelaku tewas, empat polisi dan enam warga terluka.
Polda Riau Diserang. Dua hari selang serangan di Surabaya, Dalam kejadian ini seorang polisi tewas, dua anggota lainnya mengalami luka. Sementara empat pelaku tewas. Serangan tersebut dilakukan lima orang yang diduga merupakan anggota Negara Islam Indonesia (NII).
Bom di Polresta Surakarta. Serangan bom bunuh diri terjadi di Polresta Surakarta, Jawa Tengah, pada 5 Juli 2016. Pelaku diduga bagian dari jaringan Jamaah Anshar Daulah Khilafah Nusantara. Seorang polisi terluka dalam kejadian itu, sementara pelaku tewas.
Teror Serangan Pesan Beruntun. Selain serangan secara langsung, pihak kepolisian juga sempat menerima pesan berantai bernada teror dan ancaman ke kepolisian. Teror itu beredar melalui aplikasi pesan WhatsApp. Pesan itu beredar pasca penangkapan 22 tersangka teroris jaringan Jamaah Islamiyah di wilayah Jawa Timur. (net/cnn/smr)