Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga)/BKKBN kembali ke peran utamanya dalam upaya penurunan prevalensi stunting melalui intervensi perubahan perilaku. Kita fokus khususnya tentang perubahan perilaku yang menjadi penyebab stunting.
Semarak.co – Hal ini ditegaskan Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Mendukbangga)/Kepala BKKBN Wihaji dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi IX DPR RI bersama Menteri Kesehatan, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan Kemendukbangga/BKKBN di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Selatan, Selasa (1/7/2025).
Dalam paparannya, Mendukbangga/BKKBN Wihaji menyampaikan bahwa upaya penurunan stunting tidak dapat hanya berfokus pada aspek penanganan, tetapi harus menyasar penyebab utama (hulu) stunting seperti sanitasi, akses air bersih, pernikahan dini, dan gizi keluarga.
Mendukbangga Wihaji menggarisbawahi pentingnya pendekatan berbasis keluarga dengan menggunakan data Keluarga Risiko Stunting (KRS). Dari 72 juta keluarga di Indonesia yang terdata oleh Kemendukbangga/BKKBN dalam Pendataan Keluarga, tercatat sebanyak kurang lebih 8,6 juta keluarga.
Termasuk dalam KRS, terdiri dari 3,7 juta keluarga tidak memiliki jamban; 1,9 juta keluarga tidak memiliki akses air minum layak; 4,3 juta pasangan usia subur (PUS) termasuk dalam kategori 4T (terlalu muda menikah, terlalu tua melahirkan, terlalu dekat jarak kelahiran, terlalu banyak anak).
“Data inilah yang saya kira nanti akan menjadi fokus utama dalam penanganan supaya tidak stunting. Jadi, tidak penanganan stuntingnya, tapi yang kita sebut dengan mencegahnya,” jelas Mendukbangga Wihaji dirilis humas usai acara melalui WAGroup Jurnalis Kemendukbangga/BKKBN, Rabu siang (2/7/2025).
Strategi lain yang digunakan oleh Kemendukbangga/BKKBN adalah menyesuaikan program dan rencana kerja dengan kondisi demografi, karena setiap daerah memiliki keunikan dan cara tersendiri untuk penyelesaiannya.
“Jangan bawa cara-cara Jakarta ke lokal, tidak masuk. Saya kumpulkan pastor, romo, kiai—mereka ini yang didengar masyarakat. Edukasi tidak bisa hanya lewat seminar, tapi harus masuk ke hati,” imbuh Mendukbangga Wihaji.
* Kolaborasi dengan Stakeholder dan K/L
Kemendukbangga/BKKBN kini mengerahkan lebih dari 602 ribu pendamping yang bergabung dalam Tim Pendamping Keluarga (TPK), memyebar di seluruh Indonesia, terdiri dari unsur bidan, kader KB, kader kesehatan.
Dalam kerja sama dengan Badan Gizi Nasional (BGN), TPK berperan mendistribusikan Makanan Bergizi Gratis (MBG) kepada kelompok prioritas seperti ibu hamil, ibu menyusui, dan balita non-Paud. Data terkini menunjukkan ibu hamil yang telah menerima MBG sebanyak 15.345 dari 259.000 sasaran (0,28%).
Selanjutnya ibu menyusui tercatat 25.000 dari 332.000 sasaran; sementara balita non-Paud sebanyak 68.000 sasaran telah disentuh. “Memang capaiannya belum tinggi, dan perlu menjadi pekerjaan bersama,” sambungnya.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memuji bahwa kolaborasi ini didukung Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang tidak hanya berfokus pada prevalensi stunting tapi juga jumlah balita stunting. Sehingga ketika daerah padat penduduk yang memiliki prevalensi rendah namun jumlah stuntingnya tinggi.
“Yaitu seperti Jawa Barat dan angkanya dapat ditekan, maka ini akan mempengaruhi penurunan stunting yang signifikan dalam skala Nasional. Kalau kita mengejar yang prevalensinya tinggi, tapi tidak mengejar yang angkanya tinggi, gak akan turun stuntingnya,” ungkapnya.
Dalam rangka penurunan angka pernikahan dini, Kemendukbangga/BKKBN juga bekerjasama dengan Kementerian Agama untuk fasilitasi calom pengantin (catin) dengan ELSIMIL (Elektronik Siap Nikah Siap Hamil)
* Komisi IX Dorong Optimalisasi Peran Kementerian dan Daerah
Walaupun masih menunggu revisi Perpres 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting, Kemendukbangga/BKKBN menyatakan komitmennya untuk terus bekerja menggunakan acuan data, ProPN (Program Prioritas Nasional), dan kerangka kerja RPJMN.
Menteri Wihaji juga menekankan pentingnya integrasi kebijakan stunting ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). “Jangan sekadar laporan administratif. Kita harus tahu siapa? mengerjakan apa? dan di mana? Supaya intervensi fokus dan tepat sasaran,” ujarnya.
* Rekomendasi Komisi IX DPR RI
Menutup rapat kerja, Pimpinan Komisi IX DPR RI menyampaikan beberapa poin rekomendasi kepada Kementerian Kesehatan, Kemendukbangga/BKKBN, BGN, dan BPOM. Antara lain mengkoordinasikan kolaborasi lintas sektor dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Lalu Kementerian Keuangan (Kemenkeu) guna menyelaraskan kebijakan dan penganggaran di tingkat pusat dan daerah, serta menyampaikan secara terbuka alokasi anggaran dan lingkup program dari masing-masing kementerian/lembaga untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas.
Selain itu, meningkatkan konvergensi intervensi spesifik dan sensitif di tingkat kabupaten/kota melalui koordinasi antar Organisasi Perangkat Daerah dan penguatan tata kelola local, Memberikan perhatian khusus terhadap enam provinsi dengan jumlah balita stunting tertinggi.
Serta daerah yang mengalami lonjakan prevalensi di atas 5%. Termasuk mempercepat capaian indikator seperti konsumsi TTD, ASI eksklusif, MP-ASI, dan imunisasi dasar lengkap. Rekomendasi lainnya adalah memperluas cakupan edukasi calon pengantin (catin).
Baik laki-laki maupun perempuan, melalui kemitraan dengan tokoh masyarakat, karang taruna, dan institusi keagamaan, sebagai bagian dari upaya preventif jangka panjang. (hms/smr)